10 October, 2006

Puasanya Ummat Sebelum Kita

Penulis : Abi Abdullah


"Shaum" menurut makna lughawi (bahasa Arab) adalah menahan diri (imsak), baik dari makan & minum serta berbicara [1]. Adapun secara isthilahi (terminologi syari'at), bermakna Menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual, dan perbuatan-perbuatan maksiat, disertai dengan niat yang ikhlas, dari sejak terbit fajar sampai terbenam matahari (QS. 2/187, 19/26). Ibadah ini diwajibkan pada tahun ke-2 hijrah.

Puasa yang baik dan benar akan menjadi sarana bagi seorang mu'min untuk mencapai derajat taqwa, berdasarkan firmanNya : La'allakum tattaqun (QS. 2/183), dan bertaqwa sama artinya dengan proses pensucian diri seseorang (tazkiyyah nafs), berdasarkan QS. Asy-Syams, 91/7-10 (wa nafsin wamaa sawwaahaa, fa 'alhamahaa fujuuraha wa taqwaahaa). Oleh sebab itulah maka kita dapati bahwa syari'at puasa merupakan syariat yang telah diturunkan hampir setua umur manusia.

Kita akan dapati dalam paparan tentang syari'at shaum ummat sebelum kita tersebut, ada di antara mereka yang berpuasa dengan (selain tidak makan & minum) juga mereka tidak boleh berbicara, ada yang hanya boleh berbuka dengan sesauk air saja, dan ada yang istiqamah berpuasa selang sehari secara terus-menerus sepanjang masa.

Shaum di Zaman Ummat Nabi Zakaria, Maryam, dan Isa

"Maka makan, minum, dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah : Sesungguhnya aku telah bernadzar untuk berpuasa bagi Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini." (QS. Maryam, 19/26).

Berkata Imam Abu Ja'far Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya [2] sebagian mufassir menyatakan bahwa makna "shaumaa" dalam ayat tersebut yaitu : shaamat minat tha'aam wasy syaraab wal kalaam [3] (berpuasa makan, minum, dan bicara).

Imam Abul Fida' Ismail bin Umar bin Katsir Al-Quraisyi dalam tafsirnya [4] menambahkan bahwa riwayat tersebut selain dari Qatadah juga dari Anas, As-Suddy, dan AbduRRAHMAN bin Zaid. Hal tersebut karena bahwa syari'at mereka jika sedang berpuasa, maka haram makan, minum, dan berbicara.

Imam -muhyis sunnah- Abu Muhammad Al-Husein bin Mas'ud Al-Baghawi dalam tafsirnya [5] menambahkan bahwa Imam As-Suddi berkata bahwa syari'at puasa Bani Isra'il adalah : Barangsiapa yang ingin bersungguh-sungguh dalam berpuasa, maka tidak boleh makan dan berbicara sampai senja hari.

***

Shaum di Zaman Thalut dan Ummatnya

"Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata : Sesungguhnya ALLAH akan menguji kamu dengan suatu sungai, maka siapa di antara kamu meminum airnya, ia bukanlah pengikutku; dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menciduk seciduk tangan, maka dia adalah pengikutku. Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata : Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya. Maka orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui ALLAH, berkata : Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin ALLAH dan ALLAH beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah, 2/249).

Berkata Imam Abu Ja'far At-Thabari dalam tafsirnya [6] bahwa ALLAH menguji mereka untuk mengetahui ketaatan mereka dengan menahan diri mereka (berpuasa, pen) tidak meminum dari air sungai tersebut, dan menjadikan perbuatan tersebut (puasa minum) itu menjadi tolok ukur keimanan mereka kepada ALLAH dan Hari Akhir [7].

Dari atsar Wahab bin Munabbih [8] berkata : Ketika Thalut dan balatentaranya berangkat maka pasukannya berkata : Kita tidak membawa air, maka berdoalah kepada ALLAH agar kita bisa menempuh perjalanan kita ini dan senantiasa melewati sungai! Maka berkata Thalut : Sesungguhnya ALLAH kelak akan menguji kalian dengan sungai tersebut.

Imam Bukhari dalam shahihnya menyatakan bahwa jumlah orang-orang yang mampu bertahan dalam ujian ALLAH tersebut hanya berjumlah 309 orang saja, yaitu sama jumlahnya dengan jumlah pasukan kaum muslimin yang ikut dalam perang Badr [9].

***

Shaumnya Nabi Daud

"Dari Ibnu Umar berkata (dari hadits yang panjang) : Bertanya Nabi : Bagaimana kamu berpuasa? Jawabku : Setiap hari. Tanya beliau lagi : Bagaimana kamu mengkhatamkan Al-Qur'an? Jawabku : Setiap malam. Lalu sabda beliau : Puasalah 3 hari setiap bulan dan khatamkan Al-Qur'an 1 kali setiap bulan! Maka aku berkata : Aku kuat berpuasa lebih dari itu. Sabda Nabi : Puasalah 3 hari setiap pekan! Sabda Nabi : Berbukalah 2 hari dan berpuasalah 2 hari. Aku berkata lagi : Aku kuat berpuasa lebih dari itu. Sabda beliau : Puasalah sebaik-baik puasa, yaitu puasa Daud, puasa sehari dan berbuka sehari." [10].

Dalam hadits di atas disebutkan tentang puasa (sunnah) yang paling utama, yaitu puasanya NabiyuLLAAH Daud yang syari'at puasanya adalah berpuasa selang sehari sepanjang masa.

Semoga ALLAH merahmati beliau, alangkah beratnya syari'at puasa beliau ini. Seandainya hal ini diwajibkan kepada ummat kita, niscaya akan banyaklah yang bermaksiat karena tidak mampu melaksanakannya.

***

Syari'at Puasa Ummat Terdahulu adalah Tidak Ada Makan Sahur

"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. ALLAH mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu ALLAH mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan ALLAH untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan ALLAH, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah ALLAH menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia, supaya mereka bertakwa."

Imam Al-Bukhari dalam shahihnya meriwayatkan beberapa hadits shahih [11] berkaitan dengan sabab-nuzul (sebab turunnya) ayat ini, yaitu bahwa syari'at puasa sebelum turunnya ayat tersebut di atas, dimana kaum muslimin apabila sudah tidur maka mereka tidak boleh lagi makan dan minum sampai bertemu buka puasa pada keesokan harinya, hingga saat seorang sahabat yang bernama Qays bin Shirmah Al-Anshary, setelah ia bekerja seharian, maka saat tiba waktu berbuka puasa ia pun tertidur karena kelelahan, maka ia pun tidak boleh makan dan minum (berbuka), hingga ketika keesokan harinya saat tengah hari ia pun jatuh pingsan. Lalu diceritakanlah hal tersebut pada Nabi Muhammad, maka turunlah ayat ini : "Dihalalkan untuk kalian pada malam hari di bulan puasa... dan seterusnya."

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany dalam syarahnya atas hadits Barra' [12] di atas menyatakan bahwa larangan ini berlaku terkait dengan tidur sebelum berbuka. Adapun jika setelah berbuka, maka boleh makan & minum sampai tibanya waktu Isya. Jika telah lewat waktu Isya, maka tidak boleh lagi makan & minum. Ini juga disepakati oleh Imam Al-Kasymiry dalam syarahnya atas hadits tersebut [13] dan beliau menambahkan bahwa sebelum ayat ini diturunkan maka kaum muslimin dilarang untuk berhubungan suami istri selama sebulan Ramadhan.

Demikianlah beratnya syari'at shaum ummat sebelum kita, sehingga disebutkan dalam hadits-hadits shahih bahwa perbedaan antara shaum ummat kita dan ummat sebelum kita adalah adanya makan Sahur [14]. Oleh sebab itu Nabi kita mensunnahkan dengan sangat (mu'akkadah) kepada ummatnya untuk melakukan sahur, sekalipun (karena sangat mengantuk & lelahnya) hanya sahur dengan seteguk air (wa law bijur'atin min maa'in) [15].

ALLAAHu a'lamu bish Shawaab...

---

[1] Lisanul Arab, XII/350-351.
[2] Tafsir Jami'ul Bayan fi Ta'wilil Qur'an, XVIII/183.
[3] Sanadnya dari Hasan bin Yahya dari AbduRRAZZAQ dari Ma'mar dari Qatadah.
[4] Tafsir Al-Qur'an al-'Azhim, V/225.
[5] Tafsir Ma'alimut Tanzil, V/228.
[6] Tafsir Al-Jami'ul Bayan, V/339.
[7] Ibid, V/341.
[8] Sanadnya dari riwayat Ibnu Humaid dari Salamah dari Ibnu Ishaq.
[9] Al-Jami'us Shahih, hadits no. 3957-3959.
[10] HR. Bukhari, XV/477 no. 4664. Hadits-hadits tentang puasa Nabi Daud ini, ditakhrij juga dalam bab-bab lain dalam shahih Bukhari, yaitu pada juz VII/95-96, XI/228, XIX/319; Juga oleh Imam Muslim VI/41,45,49,50,51,55; dan juga ditakhrij oleh selain kedua Imam Muhadditsain tersebut.
[11] Al-Jami'us Shahih, VI/490-491 dan XIII/448.
[12] Fathul Bari', VI/160.
[13] Faydhul Bariy Li Syarhil Bukhariy, VI/238.
[14] Shahih Muslim V/388; Abu Daud VI/287; Tirmidzi III/144; Nasa'i VII/335-336; Ahmad XXXVI/164; Al-Baihaqi dlm Al-Kubra' IV/703; Ad-Darimi V/188.
[15] Hadits Shahih riwayat Ibnu Hibban XIV/450 hadits no. 3545. Dan dishahihkan juga oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa Tarhib, I/258 hadits no. 1071; juga dalam Shahih Al-Jami' XII/203 hadits no. 2945. Ada lafzh shahih yang lain dalam riwayat As-Suyuthi dalam Jami' Shaghir yaitu dengan lafzh : Wa law bil ma', lihat Shahih Al-Jami' XII/202 hadits no. 2944.

*) Serial TAZKIYYAH-NAFS : Puasanya Ummat Sebelum Kita

URL : http://kotasantri.com/mimbar.php?aksi=Detail&sid=319

0 comments: