04 October, 2007

Selamat Idul Fitri ala Rasulullah SAW

Diantara sekian banyak ungkapan atau ucapan selamat (arab: tahni’ah) dalam suasana hari ‘Ied Al-Fithr, nyaris semuanya tidak ada riwayatnya yang berasal dari Rasulullah SAW. Kecuali lafadz taqabbalallahu minaa wa minka, yang maknanya, "Semoga Allah SWT menerima amal kami dan amal Anda." Maksudnya menerima di sini adalah menerima segala amal dan ibadah kita di bulan Ramadhan.


Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar[Fathul Bari 2/446] : "Dalam "Al Mahamiliyat" dengan isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair, ia berkata (yang artinya) : Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya : Taqabbalallahu minnaa wa minkum (Semoga Allah menerima dari kami dan darimu)".

Ibnu Qudamah dalam "Al-Mughni" (2/259) menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad berkata : "Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bila kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain : Taqabbalallahu minnaa wa minka.

Beberapa shahabat menambahkan ucapan shiyamana wa shiyamakum, yang artinya puasaku dan puasa kalian. Jadi ucapan ini bukan dari Rasulullah, melainkan dari para sahabat.

.
Kemudian, untuk ucapan minal ‘aidin wal faizin itu sendiri adalah salah satu ungkapan yang seringkali diucapkan pada hari raya fithri. Sama sekali tidak bersumber dari sunnah nabi, melainkan merupakan ‘urf (kebiasaan) yang ada di suatu masyarakat.

Sering kali kita salah kaprah mengartikan ucapan tersebut, karena biasanya diikuti dengan "mohon maaf lahir dan batin". Jadi seolah-olah minal ‘aidin wal faizin itu artinya mohon maaf lahir dan batin. Padahal arti sesungguhnya bukan itu.
Kata minal aidin wal faizin itu sebenarnya sebuah ungkapan harapan atau doa. Tapi masih ada penggalan yang terlewat. Seharusnya lafadz lengkapnya adalah
ja’alanallahu wa iyyakum minal aidin wal faizin,
artinya semoga Allah menjadikan kami dan anda sebagai orang-orang yang kembali dan beruntung (menang).
Makna yang terkandung di dalamnya sebuah harapan agar Ramadhan yang telah kita jalani benar-benar bernilai iman dan ihtisab, sehingga kita saling mendoakan agar dikembalikan kepada kesucian, dalam arti bersih dari dosa-dosa.
Makna Kembali (aidin) adalah kembali seperti awal mula kita dilahirkan oleh ibu kita masing-masing, putih, bersih tanpa dosa.
Sedangkan makna faizin adalah menjadi orang yang menang atau beruntung. Menang karena berhasil
mengalahkan hawa nafsu, sedangkan beruntung karena mendapatkan pahala yang berkali lipat dan dimusnahkan semua dosa.

.
Di setiap negeri muslim, ungkapan-ungkapan ini bisa saja sangat berbeda, tergantung kreatifitas masyarakatnya sendiri.

Namun bila tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW, bukan berarti memberikan ucapan yang semikian menjadi terlarang atau haram. Sebab umumnya para ulama mengatakan bahwa masalah ini tidak termasuk perkara ritual ubudiyah, sehingga tidak ada larangan untuk mengungkapkan perasaan dengan gaya bahasa kita masing-masing.
Tapi bukankah lebih baik jika kita mencontoh Rasulullah SAW…..

Wallahu a’lam bish-shawab


sumber : http://rosyidi.com/selamat-idul-fitri-ala-rasulullah-saw/

03 October, 2007

Idul Fitri Bukan untuk Berbuat Mubazir

Dalam semangat umat Islam membuat berbagai persiapan untuk menyambut tibanya bulan Syawal, mungkin karena terlalu gembira, sebagian tidak sadar bahwa mereka telah melanggar prinsip murni ajaran Islam untuk tidak boros dalam berbelanja. Mereka mengeluarkan uang atau menggunakan barang secara berlebihan (mubazir).

Mubazir sangat dilarang sampai Allah menganggapnya sebagai saudara setan. Firman Allah: ''Sesungguhnya orang yang mubazir itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhan.'' (Surah al-Isra', ayat 27).

Larangan mubazir juga diriwayatkan dari al-Mughirah bin Syu'bah bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah mengharamkan kamu durhaka kepada ibu, mengubur anak perempuan hidup-hidup, enggan memberi miliknya tetapi meminta-minta milik orang lain, dan dilarang atas kamu tiga perkara, yaitu berbohong dalam cerita, banyak bertanya, dan mubazir harta." (Riwayat al-Bukhari).


Berdasarkan ayat Alquran dan hadis di atas, pemborosan dan mubazir adalah perbuatan keji dan patut ditinggalkan oleh orang yang mengaku diri mereka benar-benar beriman dengan Islam.

Serba berlebihan
Pemborosan yang sering dilakukan ketika membuat persiapan menyambut lebaran adalah dari aspek pakaian. Maksudnya membeli atau memesan pakaian yang berlebih-lebihan, hingga disediakan sepasang baju untuk dipakai di waktu pagi lebaran, dan di waktu sore apabila semakin banyak kawan dan sanak saudara datang berkunjung. Sepasang pakaian lagi untuk keesokan harinya apabila tiba giliran mereka untuk mengunjungi kawan dan saudara.

Selanjutnya disediakan pula berbagai pasang baju untuk menghadiri open house yang akan diadakan sepanjang bulan Syawal. Meskipun itu adalah hak golongan yang berada, tetapi pada hakikatnya Islam memandang perkara ini sebagai suatu pemborosan yang berlebihan yang membawa kepada mubazir. Bahkan itu telah melebihi batas cukup atau keperluan seseorang.

Rasulullah SAW walaupun menganjurkan kita berpakaian baru dan bagus pada Hari Raya Idul Fitri, namun jangan sampai terlalu boros hingga membawa kepada mubazir. Baginda sendiri melarang mubazir dan tidak pernah berbelanja berlebihan. Pemborosan juga berlaku dari aspek pembelian peralatan dan perhiasan rumah seperti hordeng dan perabot rumah tangga. Tidak salah jika kita ingin menjadikan Lebaran sebagai masa untuk mengganti peralatan dan perhiasan rumah, tetapi tidak perlu dilakukan setiap Lebaran. Ini karena Lebaran adalah waktu untuk mempererat hubungan silaturahmi dan yang paling penting adalah menyambut baik tamu yang datang.

Pemborosan juga terjadi dari aspek ingin menceriakan perasaan anak-anak. Ada segelintir orang tua yang menginvestasikan uangnya semata-mata untuk membeli petasan atau kembang api demi menggembirakan anak-anak di malam Lebaran. Selain mubazir, bermain petasan bisa mendatangkan bahaya dan keburukan bagi tubuh anak-anak.

Ingat fakir miskin
Kita perlu sadar bahwa Ramadhan yang telah kita lalui itu banyak mendidik kita agar selalu hemat dalam berbelanja. Berbekalkan didikan yang kita terima di bulan Ramadan ini, kita akan memanfaatkannya untuk mengarungi kehidupan dalam 11 bulan yang akan datang.

Sebenarnya harta kekayaan adalah di antara nikmat karunia Allah kepada seseorang. Secara tidak langsung, Allah juga menjadikan kekayaan itu sebagai ujian bagi hamba-Nya. Oleh karena itu, kita seharusnya membelanjakan harta kekayaan dengan baik tanpa dicemari dengan unsur pemborosan yang membawa kepada mubazir.

Berpedoman kepada ayat Alquran dan hadis, Islam tidak melarang umatnya berbelanja, tetapi Islam hanya mengajarkan umatnya tata cara berbelanja dengan benar, yaitu berbelanja secara sederhana. Ketika berbelanja menyambut Lebaran, kita juga seharusnya memikirkan nasib saudara seagama, yang menyambut Lebaran dalam keadaan serba lemah dan kekurangan.

Mereka juga ingin kegembiraan seperti orang lain. Oleh karena itu alangkah baiknya jika kita meninggalkan pemborosan yang keji itu dengan menggalakkan kebajikan seperti bersedekah. Sedikit bantuan atau sumbangan yang kita ulurkan kepada golongan yang tidak berada, disediakan ganjaran pahala di sisi Allah SWT.



Sumber: Republika online

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=269023&kat_id=411