20 January, 2008

Mencermati Kepemimpinan Rasulullah SAW

"Sesungguhnya terdapat dalam diri Rasul teladan yang baik bagi yang mengharapkan (ridha) Allah dan ganjaran di hari kemudian." (QS. Al-Ahzab : 21).

Keteladanan Rasulullah dalam memimpin tak diragukan lagi. Tindak-tanduk dan sepak terjang beliau dalam memimpin merupakan cermin pribadi mulia. Sebagai sosok pemimpin, beliau selalu mengedepankan nilai akhlak. Tataran ini kerap menjadi panutan generasi di masa dan sesudahnya.

Tataran akhlak yang ditampilkan Rasulullah bukan saja menjadi perisai kepribadian, melainkan juga mampu meluluhkan kekerasan hati siapa pun yang memusuhinya. Itulah sebabnya, Rasulullah dapat dikategorikan sebagai manusia istimewa. Keistimewaaan ini merupakan muara penyebarluasan rahmat bagi alam semesta.

Keistimewaan yang ada dalam diri Rasulullah dapat kita selusuri dari rangkaian ayat-ayat Al-Qur'an. Pada Al-Qur'an, kita temukan para nabi sebelum nabi Muhamad SAW selalu diseru oleh Allah SWT dengan nama-nama mereka, "Ya Adam..., Ya Musa..., Ya Isa..., dan sebagainya.

Tetapi terhadap nabi Muhamad SAW, Allah sering memanggilnya dengan panggilan kemuliaan, seperti "Ya ayyuhan Nabi..., Ya ayyuhar Rasul..., atau memanggilnya dengan panggilan-pangilan mesra, seperti "Ya ayyuhal muddatstsir, atau ya ayyuhal muzzammil (wahai orang yang berselimut). "

Kalau pun ada ayat yang menyebut namanya, nama tersebut dibarengi dengan gelar kehormatan. Perhatikan firman Allah dalam Al-Qur'an surat Ali Imran : 144, Al-Ahzab : 40, Al-Fath : 29, dan Al-Shaff : 6.

Dalam kaitan ini dapat dipahami mengapa Al-Qur'an berpesan kepada kita pada saat memanggil nama Rasul jangan seenaknya. "Janganlah kamu menjadikan panggilan kepada Rasul di antara kamu, seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian yang lain..." (QS. An-Nur : 63).

Keistimewaan lain yang dapat dipaparkan berkaitan dengan pola kepemimpinan Rasululluh. Pertama, pemimpin yang zuhud. Gambaran ini dapat kita simak dari salah satu riwayat, Rasulullah bersabda, "Tuhanku telah menawarkan kepadaku dengan menukar bukit-bukit di Mekkah menjadi emas. Tetapi aku mengatakan kepadaNya : Ya Allah, aku lebih suka makan sehari dan lapar pada hari berikutnya, jika aku dalam keadaan lapar, maka aku akan mengingatMu. Dan jika aku dalam keadaan kenyang, maka aku pun dapat memujiMu serta bersyukur atas nikmat-nikmatMu. "

Kedua, pemimpin yang amanah dan profesional. Rasulullah pernah bersabda bahwa pemimpin adalah pelayan umat. Sikap amanah dan profesional Rasulullah ini diikuti oleh khalifah Abu Bakar. Sebelum menjadi khalifah, Abu Bakar RA adalah seorang pedagang kain, beliau selalu sibuk dengan dagangannya itu. Setelah beliau baru dilantik menjadi khalifah, pada esok harinya dengan membawa beberapa helai kain di tangannya, beliau berjalan menuju pasar untuk berjualan seperti biasa.

Ketika itu beliau berjumpa dengan sahabat Umar RA. Umar bertanya kepadanya, "Mau pergi ke mana engkau?" Abu Bakar RA menjawab, "Saya akan pergi ke pasar." Lalu Umar berkata lagi, "Jika kamu menyibukan diri dalam perdagangan di pasar, maka siapakah yang akan menjalankan tugas-tugas khalifah?"

Kemudian Abu Bakar menjawab, "Lalu bagaimana saya harus membiayai keluarga saya?" Umar berkata, "Marilah kita menjumpai Abu Ubaidah RA (Julukan Rasululllah sebagai penjaga amanah Baitul Mal) agar ia menentukan uang gajimu." Keduanya pun menjumpai Abu Ubaidah RA lalu ditetapkan tunjangan gaji bagi Abu Bakar sama dengan yang biasa diberikan kepada seorang Muhajirin, tidak kurang dan tidak lebih.

Pada suatu hari, istrinya berkata kepada Abu Bakar RA, "Saya ingin membeli sedikit manisan." Abu Bakar menjawab, "Saya tidak memiliki uang yang cukup untuk membelinya." Istrinya berkata, "Jika engkau ijinkan, saya akan mencoba untuk menghemat uang belanja kita sehari-hari, sehingga saya dapat membeli manisan itu." Akhirnya Abu Bakar pun menyetujuinya.

Maka mulai saat itu, istri Abu Bakar menabung sedikit demi sedikit uang belanja mereka setiap hari. Beberapa hari kemudian, uang itu pun terkumpul untuk membeli makanan yang diinginkan oleh istrinya. Setelah uang itu terkumpul, istrinya menyerahkan uang itu kepada suaminya untuk dibelikan bahan makanan tersebut.

Namun Abu Bakar berkata, "Nampaknya dari pengalaman ini, ternyata uang tunjangan yang kita peroleh dari Baitul Mal itu melebihi keperluan kita." Lalu Abu bakar RA mengembalikan lagi uang yang sudah dikumpulkan oleh istrinya itu ke Baitul Mal. Dan sejak hari itu, uang tunjangan beliau telah dikurangi sejumlah uang yang dapat dihemat oleh istrinya.

Ketiga, Nabi SAW pemimpin yang dicintai Allah. Ada perbedaan yang signifikan antara sikap Allah terhadap kepemimpinan Nabi SAW dengan kepemimpinan Nabi-nabi sebelumnya. Perbedaan sikap itu dapat kita temukan dari beberapa ayat Al-Qur'an. Salah satu contoh. Nabi Musa AS Bermohon kepada Allah menganugerahkan kepadanya kelapangan dada, serta memohon agar Allah memudahkan segala persoalannya. "Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku dan mudahkanlah untukku urusanku." (QS. Thaha : 25-26).

Sedangkan Nabi Muhamad SAW memperoleh anugerah kelapangan dada tanpa mengajukan permohonan. Perhatikan firman Allah dalam surat Alam Nasyrah, "Bukankah kami telah melapangkan dadamu?" (QS. Alam Nasyrah : 1).

Akhirnya, mencermati keistimewaan Rasulullah sebagai pemimpin, seharusnya kita dapat memetik hikmah dari beliau dan diterapkan dalam kehidupan keseharian. [Swadaya-122007]

sumber : http://kotasantri. com/mimbar. php?aksi= Detail&sid=484

10 January, 2008

MENDENGAR TAPI TAK MENDENGAR

Barangkali kita pernah mendapati dalam kehidupan sehari-hari kasus
seorang ibu memarahi anaknya yang ketika dipanggil menjawab, "Ya bu," tapi
ia tidak segera datang menghadap sang ibu. Hingga akhirnya si ibu pun
berkata, "Kamu ini mendengar apa tidak sih?" Padahal dengan adanya jawab
sang anak "Ya bu," si ibu tentunya sudah paham bahwa anaknya itu
mendengar panggilannya. Ataupun ada seorang atasan yang memerintahkan kepada
karyawannya untuk melakukan pekerjaan tertentu, lalu dijawab oleh sang
karyawan, "Baik pak," tetapi tugas tersebut tidak segera dilakukan,
hingga tak mengherankan jika keluar ungkapan dari sang atasan, "Anda ini
mendengar apa tidak?"

Mendengarkan dan Taat
Allah subhanallahu wata'ala mengaruniakan kepada kita telinga dengan
fungsi untuk mendengarkan, sehingga dengan mendengar itu seseorang tahu
apa yang harus dia lakukan dalam kehidupan ini. Seperti dalam kasus di
atas, sang anak atau karyawan tentunya bukanlah orang yang tuli, bahkan
memiliki pendengaran (telinga ) yang normal. Tetapi ternyata
pendengaran yang dia miliki tersebut tidak dengan serta merta menjadikannya
merespon serta menanggapi kalimat yang telah dia dengar itu. Maka dari sini
dapat dikatakan bahwa yang dikehendaki dari mendengarkan bukanlah
semata-mata mendengar suara, tetapi mendengar dengan disertai pemahaman dan
kemauan mengikuti apa yang dia dengar itu.

Dalam istilah syara' mendengar yang disertai pemahaman dan kemauan
untuk mengikuti apa yang dia dengar disebut dengan taat, sam'an wa
tha'atan, sami'na wa atha'na. Oleh karena itu Allah subhanahu wata'ala sangat
mencela orang yang diberikan telinga (pendengaran) normal tetapi dia
justru berpaling, tidak mau mendengar kan dan menaati seruan Allah dan
rasul-Nya, Allah subhanahu wata'ala berfirman,


"Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar
(perintah-perintahnya)." (QS. al-Anfal: 20)


Makna ayat ini adalah bahwasanya Allah subhanahu wata'ala menyeru
hamba-hambaNya kaum mukminin yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, yang
membenarkan janji dan nacaman-Nya pada hari Kiamat dengan memerintahkan
mereka supaya taat kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya. Dan juga
melarang mereka dari berpaling padahal mereka mendengarkan ayat-ayat yang
dibacakan serta nasehat-nasehat yang disampaikan berulang ulang dalam
Kitabullah dan melalui lisan Rasul-Nya saw. Yang demikian ini disebabkan
karena pertolongan dan bantuan dari Allah adalah merupakan buah dari
ketaatan yang mereka lakukan. Jika seandainya mereka itu berpaling dan
bermaksiat, meninggalkan sikap wala' (loyal) kepada Allah subhanahu
wata'ala, maka tentu mereka tidak ada bedanya dengan orang-orang lain dari
kalangan kaum kafir dan ahli maksiat. (Aisar at-Tafasir hal 436-437).

Mendengar Tapi Tidak Mendengar
Orang yang mendengar seruan Allah subhanahu wata'ala tetapi ia
berpaling dan tidak mau menaatinya, maka jelas ada yang tidak beres dalam
dirinya. Lain halnya jika disebabkan karena kebodohan, ketidaktahuan atau
kekeliruan dalam memahami suatu perintah dan seruan, maka ia tidak
disebut dengan berpaling. Seseorang dikatakan berpaling jika dia enggan dan
menolak sebuah ajakan, perintah dan seruan sedangkan ia mengerti apa
yang dimaksudkan dari seruan itu. Jadi dalam hal ini bukanlah
telinga/indera pendengaran mereka yang tuli, tetapi hati dan akal mereka. Maka
orang yang seperti ini dikatakan oleh Allah subhanahu wata'ala sebagai
orang yang "mendengar tapi tidak mendengar". Mereka mendengarkan ayat-ayat
dan seruan Allah subhanahu wata'ala dengan telinga mereka namun akal
dan hati mereka tertutup tak mau mendengarkan, sehingga tidak dapat
mengambil manfaat dan faidah dari apa yang mereka dengar itu. Allah
subhanahu wata'ala befirman,


"Dan janganlah kamu menjadi sebagaimana orang-orang (munafik) yang
berkata, "Kami mendengarkan, padahal mereka tidak mendengarkan." (QS.
al-Anfal:21)


Dalam ayat di atas, Allah subhanahu wata'ala melarang kaum muslimin
mengikuti jalannya orang-orang kafir, musyrik dan munafik dalam hal
ketulian mereka dari mendengarkan ayat-ayat yang mengajak mereka kepada
kebenaran dan menyeru kepadanya. Juga bersikap menutup mata (berlagak buta)
dari melihat ayat-ayat Allah yang menunjukkan kepada ketauhidan
terhadap Allah subhanahu wata'ala. Mereka mengatakan, "Kami tidak mendengar
apa yang dikatakan oleh Muhammad, dan dari apa yang dia sebutkan dan dia
isyaratkan kami tidak melihatnya." Mereka juga mengatakan, "Kami
mendengarkan dengan telinga-telinga kami," tetapi mereka tidak mendengar kan
dengan hati mereka. Ini disebabkan karena mereka tidak mau mentadabburi
dan memikirkannya, sehingga meskipun mereka mendengar tetapi mereka
sama halnya dengan orang yang tidak mendengar. Dalam hal ini 'ibrah (yang
menjadi acuan atau ukuran) adalah as-sima' al intifa' (pendengaran
yang memberikan manfaat), bukan semata-mata mendengarkan suara dengan
telinga. (Aisar at-Tafasir hal. 437)

Seburuk-buruk Makhluk
Sikap mendengar tapi tidak mendengarkan ini rupanya masih banyak
menimpa sebagian kaum muslimin saat ini. Berapa banyak ayat-ayat yang mereka
dengar tentang haramnya judi, riba, minuman keras, dan lain-lain tetapi
ternyata semua jenis kemaksiatan itu tetap jalan terus seakan
ayat-ayat tersebut tak pernah mereka dengar. Berapa banyak mereka mendengarkan
panggilan hayya 'alash shalah (mari kita shalat), namun mereka tetap
tak bergeming sedikit pun dari kesibukan dunia mereka, seakan-akan
panggilan shalat itu hanyalah sekedar suara sebagaimana halnya suara-suara
lainnya. Jika mereka adalah orang yang memang tuli (telinganya tidak
berfungsi), maka bisa dimaklumi apabila ketika adzan dikumandangkan mereka
tidak mendatanginya. Tapi ini tidak demikian, telinga mereka berfungsi
normal, kaki mereka juga tidak cacat, dan mereka dalam keadaan sehat
wal afiat dan sejahtera. Apakah mereka akan menunggu sampai tiba suatu
waktu di mana mereka tak mampu lagi untuk bersujud, sebagaimana firman
Allah, artinya,


"Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka
mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah,
lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di
dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera." (QS.
al-Qalam: 42-43).


Orang-orang yang tuli lagi pekak ini dikatakan oleh Allah sebagai
"Syarra ad-dawab" seburuk-buruk makhluk melata di muka bumi -na'udzu billah
min dzalik-, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya, artinya,


"Sesungguhnya binatang (mahluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah
ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun.
Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah
menjadi kan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka
dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedangkan mereka
memalingkan diri (dari apa yang mereka-mereka dengar itu)." (QS.
al-Anfal: 22-23)


Memang demikianlah keadaan mereka, Allah subhanahu wata'ala menegaskan
bahwa mereka dikatakan tuli dan pekak bukan karena telinga mereka tuli
(tuna rungu), tapi disebabkan mereka adalah orang-orang yang tidak
berakal,. Perhatikanlah firman Allah subhanahu wata'ala ketika menyifati
orang-orang yang pekak dan tuli, yakni orang-orang yang tidak mengerti
apa-apa pun, yang dalam teks ayat disebut dengan "la ya'qilun' akalnya
tidak berfungsi. Bagaimana mereka dikatakan orang yang berakal sedangkan
mereka tidak mengenal siapa dirinya, siapa penciptanya, enggan
bersyukur dan bersujud kepada penciptanya, tidak mau menaati-Nya, bahkan justru
berpaling dari-Nya. Jadi mereka itu dihidupkan oleh Allah subhanahu
wata'ala, hanyalah untuk makan, tidur dan memuaskan hawa nafsu serta
syahwat belaka, tidak mau melaksanakan fungsi utama dan terbesar mereka
diciptakan, yakni untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah subhanahu
wata'ala.

Solusi Penyembuhan
Para ulama membagi hati manusia menjadi tiga klasifikasi, yakni qalbun
salim (hati yang sehat), qalbun maridh (hati yang sakit) dan qalbun
mayit (hati yang mati). Hati yang sehat senantiasa merespon setiap seruan
yang datang dari Allah dan rasul-Nya, sedangkan hati yang sakit adalah
hati yang kadangkala antusias menyambut seruan Allah subhanahu wata'ala
namun sering kali juga dikalahkan oleh syahwat dan hawa nafsu, jatuh
bangun dan pasang surut dalam melakukan ketaatan, bahkan bisa jadi suatu
ketika terpuruk dalam kemaksiatan. Adapun hati yang mati maka ia
adalah hati yang terkunci dan sangat sulit menerima petunjuk kebaikan,
kecuali jika Allah subhanahu wata'ala berkehendak.

Terapi dan solusi untuk menjadikan akal dan hati kita selalu hidup,
sehat dan berfungsi dengan baik tidak lain adalah "dengan memenuhi setiap
panggilan Allah dan Rasul-Nya". Allah swt berfirman dalam kelanjutan
ayat di atas, artinya,


"Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul
apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu,
dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan
hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan." (QS.
al-Anfal:24)


Yakni dengan menanamkan kesadaran bahwasanya perintah-perintah Allah
subhanahu wata'ala termasuk juga larangan-Nya tidak akan lepas dari apa
yang dapat memberikan kehidupan bagi orang mukmin, atau menambah
(kebaikan) dalam hidupnya atau memberikan penjagaan kepada mereka. Oleh karena
itu wajib bagi seorang mukmin untuk menaati Allah dan Rasul-Nya
semaksimal mungkin. Ayat ini juga menunjukkan bahwa orang-orang kafir dan
jahil adalah orang yang mati secara maknawi. Sehingga dapat dikatakan
bahwa dengan iman dan ilmu terdapat kehidupan dan sebaliknya tanpa keduanya
maka itu berarti kematian, walaupun jasad-jasad mereka masih hidup.
(Aisar at-Tafasir hal 438). Atau dengan istilah lain "Mati dalam
kehidupan dan hidup dalamkematian".
(oleh: Kholif Abu Ahmad)
Sumber: Aisar at-Tafasir

sumber :

http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatannur&id=459

04 January, 2008

Mewaspadai Lisan

Lisan, bentuknya memang relatif kecil bila dibandingkan dengan anggota tubuh yang lain, namun ternyata memiliki peran yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Celaka dan bahagia ternyata tak lepas dari bagaimana manusia memanajemen lidahnya. Bila lidah tak terkendali, dibiarkan berucap sekehendaknya, alamat kesengsaraan akan segera menjelang. Sebaliknya bila ia terkelola dengan baik , hemat dalam berkata, dan memilih perkataan yang baik-baik, maka sebuah alamat akan datangnya banyak kebaikan..

Di saat kita hendak berkata-kata, tentunya kita harus berpikir untuk memilihkan hal-hal yang baik untuk lidah kita. Bila sulit mendapat kata yang indah dan tepat maka ahsan (mendingan) diam. Inilah realisasi dari sabda Rasulullah sholallohu alaihi wasalam

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya ia berkata yang baik atau diam ( HR Muslim )


di samping itu kita pun harus paham betul manakah lahan-medan kejelekan sehingga lidah kita tidak keliru memijaknya. Kita harus tahu apakah sebuah hal termasuk dalam bagian dosa bagi lidah kita atau tidak? Bila kita telah tahu , tentunya kita bersegera untuk meninggalkannya.

Diantara medan-medan dosa bagi lidah kita antara lain..

Ghibah
Ghibah bila didefinisikan maka seperti yang diungkapkan oleh Rasulullah sholallohu alaihi wasalam
"Engkau menyebutkan tentang saudaramu, dengan apa-apa yang dia benci" terus bagaimana jika yang kita bicarakan tersebut memang benar-benar ada pada saudara kita? "Jika memang ada padanya apa yang engkau katakan maka engkau telah meng-ghibahinya, dan bila tidak ada padanya maka engkau telah berdusta" (HR. Muslim)

Di dalam Al quran , Allah ta'ala menggambarkan orang yang meng-ghibahi saudaranya seperti orang yang memakan bangkai saudaranya:
"Janganlah kalian saling memata-matai dan jangan mengghibahi antara satu dengan yang lain, sukakah kalian memakan daging saudaranya tentu kalian akan benci" ( Al Hujurat 12)

Tentu sangat menjijikkan makan daging bangkai , semakin menjijkkan lagi apabila yang dimakan adalah daging bangkai manusia , apalagi saudara kita sendiri. Demikianlah ghibah, ia pun sangat menjijkkan sehingga sudah sepantasnya untuk dijauhi dan dan ditinggalkan.

Lebih ngeri bila berbicara tentang ghibah, apabila kita mengetahui balasan yang akan diterima pelakunya. Seperti dikisahkan oleh Rasulullah sholallohu alaihi wasalam di malam mi'rajnya. Beliau menyaksikan suatu kaum yang berkuku tembaga mencakar wajah dan dada mereka sendiri. Rasul pun bertanya tentang keberadaan mereka, maka dijawab bahwa mereka lah orang-orang yang ghibah melanggar kehormatan orang lain.

Namimah
Kalau diartikan ia bermakna memindahkan perkataan dari satu kaum kepada kaum yang lain untuk merusak keduanya. Ringkasnya "adu domba". Sehingga Allah mengkisahkan tentang mereka dalam Al-Qur'an. Mereka yang berjalan dengan namimah , menghasut, dan mengumpat. Di sekitar kita orang yang punya profesi sebagai tukang namimah sangat banyak bergentayangan, dan lebih sering di kenal sebagai provokator-kejelekan. Namimah bukan hal yang kecil , bahkan para ulama mengkatagorikannya di dalam dosa besar . Ancaman Rasulullah bagi tukang namimah


" tidak akan masuk surga orang yang mengadu domba (HR Bukhari)

akibat ghibah ini sangat besar sekali, dengannya terkoyak persahabatan saudara karib dan melepaskan ikatan yang telah dikokohkan oleh Allah. Ia pun mengakibatkan kerusakan di muka bumi serta menimbulkan permusuhan dan kebencian.
Dusta
Dusta adalah menyelisihi kenyataan atau realita. Dusta bukanlah akhlaq orang yang beriman, bahkan ia melekat pada kepribadian orang munafiq
"Tiga ciri orang munafik, apabila berkata berdusta, apabila berjanji mengingkari dan apabila dipercaya berkhianat (HR Bukhari dan Muslim)

padahal orang munafik balasannya sangat mengerikan "di bawah kerak api neraka" Dusta pun mengantarkan pelakunya kepada kejelekan "Sungguh kedustaan menunjukkan kepada kejelekan dan kejelekan mengantarkan kepada neraka.

sumber : http://van.9f.com/lisan.htm