18 August, 2007

Orang-Orang yang Merdeka

Setiap tanggal 17 Agustus, negara kita merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Yang mana di tahun ini usia kemerdekaan negara kita sudah menginjak usia yang ke 62 tahun. Seperti biasa, di setiap daerah diadakan berbagai kegiatan, dari mulai mencat pagar, bikin gapura, umbul-umbul, dan sederet kegiatan lainnya berupa perlombaan-perlomba an yang mencerminkan semangat juang yang tinggi, sebagaimana para pejuang dahulu.

Kemerdekaan adalah salah satu nikmat terbesar yang Allah karuniakan pada manusia. Derajatnya lebih tinggi daripada nikmat kehidupan. Allah SWT memberi nikmat kehidupan tidak hanya pada manusia, tapi juga pada hewan dan tumbuhan. Tidak demikian dengan nikmat kemerdekaan, nikmat ini khusus diberikan pada manusia.

Maka, dengan kemerdekaanlah, manusia memiliki kualitas hidup lebih tinggi dari makhluk lainnya. Dengan kemerdekaan pula, manusia berkesempatan mendapatkan nikmat Allah tertinggi, yaitu nikmat hidayah (keimanan), sehingga kedudukannya melambung tinggi melebihi malaikat.

Dan dengan kemerdekaan pula, kedudukan manusia bisa jatuh ke tempat yang paling rendah, lebih rendah dibanding hewan. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. " (QS. At-Tiin [95] : 4-6).

Hanya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh saja yang beruntung dan inilah orang-orang yang berkualitas. Oleh karena itu, tak usah heran bila orang-orang yang berkualitas ini lebih memilih terpenjara fisiknya, daripada terpenjara mental, emosi, atau ruhaninya. Yang mana, mereka menggunakan nikmat kemerdekaannya untuk tetap taat kepada Allah SWT, sehingga bagaimana pun kerasnya rintangan yang dihadapi dalam taat kepada Allah SWT, tidak akan mampu untuk mengalahkannya atau merubahnya. Sebagaimana kisahnya Yasir dan isterinya Sumayyah yang dibunuh secara keji oleh Abu Jahal.

"Abu Jahal yang kekar dan tinggi besar, berjalan tergopoh-gopoh menuju rumah Yasir. Ia sengaja datang kepada keluarga sederhana itu untuk melampiaskan kemarahannya. Setiba di rumah Yasir, segera Abu Jahal menghardik Yasir, mengumpatnya dan menyuruhnya untuk keluar dari agama Muhammad yang baru. Tetapi dengan tegar, Yasir yang mulai renta berkata tidak. Abu Jahal kian marah. Tetapi, Yasir tetap pada pendiriannya. Tidak, tidak mungkin baginya kembali kepada kemusyrikan, setelah Allah memberinya cahaya petunjuk yang sangat indah.

Akhirnya, kemarahan Abu Jahal sampai pada puncaknya. Dengan sekuat tenaga, Abu Jahal mencekik Yasir. Sesuatu yang terjadi sesudah itu bisa sangat dibayangkan, Yasir gugur syahid menemui ajalnya. Setelah itu, Abu Jahal bergegas mencari isteri Yasir, Sumayyah. Setelah bertemu, ia juga memaksa Sumayyah untuk keluar dari Islam. Tetapi, Sumayyah dengan tegas menolak. Abu Jahal semakin kesetanan. Tetapi, Sumayyah tetap tenang. Tidak mungkin baginya menjual ajaran tauhid yang baru saja ia rengkuh, dengan tunduk pada kepongahan Abu Jahal, sedetik pun. Hingga akhirnya, Abu Jahal menombak perut Sumayyah. Isteri Yasir itu pun gugur syahid, menjadi wanita pertama yang syahid dalam Islam." (Tarbawi, Edisi 41, Agustus 2002).

Atau juga kisahnya Nabi Yusuf AS, Bilal bin Rabbah, Imam Hanafi, Imam Ibnu Taimiyah, Sayyid Quthb, Zainab, Al-Ghazali, hingga Hamka di Indonesia, adalah sosok yang lebih suka terpenjara fisiknya, daripada terpenjara ruhaninya. Fisik mereka terpenjara, tapi hatinya merdeka.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, seorang ulama besar yang juga murid kesayangan gurunya (Ibnu Taimiyah), menukilkan sebuah senandung gurunya, "Apakah gerangan yang akan diperbuat musuh-musuhku kepadaku? Syurgaku dan kebunku ada di dadaku. Ke mana pun aku pergi, dia selalu bersamaku dan tidak pernah meninggalkanku. Sesungguhnya penjaraku adalah tempat khuluwatku, kematianku adalah mati syahid, dan terusirnya diriku dari negeriku adalah rekreasiku."

Dalam kehidupan sekarang ini, banyak orang yang merdeka fisiknya, tapi hidupnya terpenjara oleh hawa nafsunya dan jauh dari hidayah Allah SWT. Seorang ahli hikmah mengatakan, "Orang yang di penjara itu adalah orang yang terpenjara hatinya hingga tidak dapat mengenal Allah, dan orang yang tertawan itu adalah orang yang ditawan oleh hawa nafsunya."

Dan yang paling menyedihkan adalah orang yang terpenjara fisiknya juga terpenjara akal pikiran, emosi, serta hatinya. Na'udzubillah. Semoga Allah menjauhkan kita dari sifat seperti ini.

Sahabat-sahabat sekalian... Kemerdekaan adalah satu nikmat terbesar yang Allah karuniakan untuk kita. Oleh karena itu, mari kita isi kemerdekaan ini dengan lebih meningkatkan lagi kualitas hidup dan ibadah kita kepada Allah SWT. Dan mudah-mudahan, kita menjadi orang-orang yang lebih mensyukuri lagi nikmat Allah yang telah Allah berikan kepada kita, begitu pun dengan nikmat kemerdekaan ini.

Wallahu a'lam.


sumber : URL : http://kotasantri. com/mimbar. php?aksi= Detail&sid=420



Penulis : Abu Luthfi Ar-Rasyid

07 August, 2007

Jangan Malu Belajar Ilmu Agama

"Katakanlah, adakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui?" (Az-Zumar: 9).

Dari Ummu Salamah, dia berkata, Ummu Sulaim pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam seraya berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak merasa malu dari kebenaran. Lalu, apakah seorang wanita harus mandi jika dia bermimpi? Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Jika dia melihat air (mani)." Lalu, Ummu Salamah menutup wajahnya dan berkata, "Wahai Rasulullah, apakah wanita itu juga bisa bermimpi?" Beliau menjawab,"Ya, bisa. Maka, sesuatu yang menyerupai dirinya adalah anaknya." (Hadits Sahih, ditakhrij Ahmad 6/306, al-Bukhari 1/44, Muslim 3/223, at-Tirmizi, hadis nomor 122, an-Nasa'i 1/114, Ibnu Majah hadits nomor 600, ad-Darimi 1/195, al-Baihaqi 1/168-169).

Ummu Salamah datang kepada Rasulullah saw untuk belajar. Ia memulai dengan ucapan, "Sesungguhnya Allah tidak merasa malu dari kebenaran." Maksudnya, tidak ada halangan untuk menjelaskan yang benar, sehingga Allah membuat perumpamaan dengan seekor nyamuk dan yang serupa lainnya, seperti dalam firman-Nya, "Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu." (Al-Baqarah: 26).


Ummu Sulaim demikian pula, ia tidak malu untuk bertanya kepada yang lebih tahu perihal apa-apa yang mestinya ia ketahui dan pelajari, meskipun mungkin hal itu dianggap aneh. Sungguh benar perkataan Ummul Mukminin, Aisyah ra, "Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Tidak ada rasa malu yang menghalangi mereka untuk memahami agama." (Diriwayatkan al-Bukhari 1/44).

Ummu Sulaim bertanya, "Apakah seorang wanita itu harus mandi jika dia mimpi bersetubuh?" Nabi saw menjawab, "Jika dia melihat air." Maksudnya, ia harus mandi jika benar bermimpi dan ada bukti bekas air mani di pakaian. Namun, jika tidak, tidak perlu mandi. Setelah diberi jawaban yang singkat dan padat ini, Ummu Salamah langsung menutupi wajahnya seraya bertanya, "Apakah wanita itu juga bermimpi?"

Keheranan Ummu Salamah itu bukanlah sesuatu yang aneh. Hal yang sama Pernah terjadi pada diri Aisyah yang lebih berilmu, seperti disebutkan dalam suatu riwayat dia berkata, "Kecelakaan bagimu. Apakah wanita akan mengalami seperti itu?" Dia berkata seperti itu dengan maksud untuk mengingkari bahwa wanita juga bisa bermimpi. Keheranan Ummu Salamah dan Aisyah ra lebih disebabkan ketidaktahuan. Karena, tidak seluruh wanita bisa bermimpi, melainkan sebagian mereka. Namun, keheranan ini bisa dituntaskan oleh jawaban Nabi saw, "Na'am, taribat yaminuki," ("Benar, seorang wanita bisa bermimpi)." Kemudian ada bukti nubuwwah di akhir ucapan beliau: "Sesuatu yang bisa menyerupai dirinya adalah anaknya."

Ilmu pengetahuan modern telah membuktikan perkataan itu. Laki-laki dan wanita saling bersekutu dalam pembentukan janin. Benih datang dari pasangan laki-laki menuju indung telur dalam tubuh wanita. Lalu, keduanya bercampur, dalam pengertian separo sifat-sifat yang diwariskan kira-kira bersumber dari laki-laki dan separo lainnya kira-kira berasal dari perempuan. Kemudian bisa juga terjadi pertukaran dan kesesuaian, sehingga ada sifat-sifat yang lebih menonjol antara keduanya. Dari sinilah terjadi penyerupaan.

Pelajaran berharga yang bisa dipetik, selagi kita dikungkung rasa malu dan tidak mau mengetahui hukum-hukum din, maka ini merupakan kesalahan yang amat besar, bahkan bisa berbahaya. Ada baiknya kita membiasakan diri untuk tidak merasa malu dalam mempelajari hukum-hukum Islam, baik hukum yang kecil maupun hukum yang besar. Sebab, jika seseorang, terutama wanita, lebih banyak dikungkung rasa malu, dia terhalang untuk mengetahui sesuatu.

Mujahid Rahimahullah berkata, "Orang yang malu dan sombong tidak akan mau mempelajari ilmu." Sebuah nasihat berharga yang secara eksplisit menganjurkan orang-orang yang mencari ilmu agar tidak merasa lemah dan takkabur, sebab kedua hal tersebut dapat menghalangi semangat mencari ilmu.

Di antara kebaikan keislaman seseorang adalah jika dia mengetahui dinnya. Karena itu, Islam mewajibkan, baik kepada laki-laki maupun wanita untuk mencari ilmu. Bukankah Allah juga berfirman, "Katakanlah, adakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui?" (Az-Zumar: 9). Bahkan, terdapat ayat yang secara khusus ditujukan kepada ummahatul mukminin, berupa anjuran mempelajari kandungan Alquran sunah, "Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah." (Al-Ahzab: 34).

Karena perintah Allah inilah, para Sohabiyah merasakan keutamaan ilmu. Mereka pun pergi menemui Nabi saw dan menuntut suatu majlis belajar din bagi mereka. Diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri ra, dia berkata, "Para wanita berkata kepada Nabi saw, 'Kaum laki-laki telah mengalahkan kami atas diri baginda, maka buatlah bagi kami dari waktu baginda.' Maka beliau menjanjikan suatu hari kepada mereka. Pada saat itu beliau menemui mereka dan memberi wasiat serta perintah kepada mereka. Di antara yang beliau katakan kepada mereka adalah, 'Tidaklah ada di antara kamu sekalian seorang wanita yang ditinggal mati oleh tiga anaknya, melainkan anak-anaknya itu menjadi penghalang baginya dari neraka?' Seorang wanita bertanya, 'Bagaimana dengan dua anak?' Maka beliau menjawab, 'Begitu pula dua anak'." (Abu Zahrah, diadaptasi dari tulisan Majdi as-Sayyid Ibrahim).


sumber : http://www.tawakal.or.id/index.php?idn=322