28 December, 2006

SEBAB-SEBAB HATI TERHIJAB

JASAD batin atau ruh yang selalu kita artikan sebagai hati, mempunyai kemampuan memandang dan mengenal sesuatu, merasakan kesenangan dan kesusahan, mengetahui yang lahir maupun yang batin khususnya mengetahui keberadaan Allah SWT.
Itulah kelebihan manusia daripada makhluk lain yaitu mempunyai hati yang dapat mengenal Allah dengan sebenar-benarnya sehingga menjadi hamba Allah yang benar-benar takut pada Allah. Sebagaimana difirmankan oleh Allah :
Terjemahannya : Apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati-hati mereka.(Al Anfaal : 2)


Hati yang terang-benderang seperti itu dimiliki oleh para ‘ariffin, muqarrobin dan solehin. Hati mereka dapat melihat dan betul-betul mengenal sifat-sifat keagungan Allah. Karena itu mereka benar-benar dapat menghambakan diri kepada Allah SWT. Sebaliknya ada juga manusia yang hatinya gelap (buta) tidak dapat melihat dan mengenal Allah. Hal itu juga difirmankan oleh Allah SWT : Terjemahannya : Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama seperti orang yang buta (mengetahui)? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.(Ar Ra’d : 19)

Firman Allah lagi :Terjemahannya : Mereka itulah orang-orang yang hatinya, pendengarannya dan penglihatannya telah dikunci oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang lalai.(An Nahl : 108)

Dari Umar Al Khattab, Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud :"Cap penutup hati tergantung di kaki arasy. Bila seseorang melanggar larangan Allah (menghalalkan yang diharamkan oleh Allah) maka Allah akan menutup hati mereka dengan cap penutup hati tersebut."

Bila hati sudah buta, atau sudah dikunci mati oleh Allah SWT, maka hati tidak dapat lagi mengenal Allah. Begitulah hati orang-orang kafir dan munafik yang menyebabkan mereka menolak kebenaran.

Namun bukan hanya hati orang kafir dan munafik saja yang sudah buta, kita sebagai umat Islam pun masih banyak yang hatinya buta. Buktinya adalah kita masih sering membuat dosa (kecil atau besar). Orang yang masih membuat dosa adalah orang yang tidak takut pada Allah. Orang yang tidak takut pada Allah adalah orang yang tidak kenal siapa Allah. Jika tidak kenal Allah menandakan bahwa hati telah buta.

Sabda Rasulullah SAW : Terjemahannya : Sesungguhnya seorang mukmin apabila ia melakukan dosa maka terjadilah satu bintik hitam di hatinya. Jika dia bertaubat dan berusaha membuangnya (bintik hitam tersebut) maka akan selamatlah hatinya. Kalau dosanya bertambah maka hatinya akan semakin terkunci.

Sabda baginda lagi yang maksudnya :Orang yang membuat satu dosa hilanglah sebagian akalnya untuk tidak kembali lagi selama-lamanya.

Kalau mata kita buta, maka kita tidak dapat melihat, tidak dapat mengenal bahkan tidak dapat berjalan lagi. Begitulah kalau hati kita buta, kita tidak dapat mengenal Allah dan tidak dapat menempuh jalan syariat lagi. Kita tidak takut, tidak redha, tidak tawakal, tidak yakin, tidak berharap kepada Allah, tidak cinta, tidak yakin dengan janji-Nya yaitu Syurga, Neraka, Hari Hisab, siksa kubur, dan lain-lain lagi. Bila perasaan tersebut sudah tidak ada di hati kita maka datanglah penyakit hati.

Firman Allah :Terjemahannya : Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta. (Al Baqarah : 10)

Mereka akan tersiksa di dunia dan di Akhirat. Di dunia mereka akan merasa kecewa, putus asa, berkeluh kesah, dan tidak tenang. Di akhirat tentulah lebih tersiksa lagi.

Penyakit hati yang Allah maksudkan itu diantaranya ialah iri dengki, dendam, buruk sangka, serakah, cinta dunia, bakhil, pemarah, penakut, riya', ujub dan sombong.

Langkah pertama yang wajib ditempuh untuk mengobati penyakit hati kita ialah dengan mengobati hati yang buta itu. Bila hati sudah tidak buta maka penyakit-penyakit hati lainnya akan hilang dengan sendirinya.

Kalau mata kita sakit atau buta, maka kita akan pergi ke dokter mata. Mungkin mata kita akan dibersihkan, dibedah dan sebagainya. Begitupun kalau hati kita yang buta, maka kita mesti memberi pengobatan yang sesuai.

Untuk itu mari kita lihat dulu apakah yang menyebabkan hati terhijab? Di antaranya adalah:

a. Memakan makanan haram dan makanan syubhat, baik sadar atau tidak.

Bersabda Rasulullah SAW yang maksudnya:

"Hati itu dibina dengan apa yang dimakan."

Hati kita adalah segumpal darah yang mengandung sel-sel darah merah dan zat-zat besi. Sel dan zat-zat itu berasal dari makanan yang kita makan. Kalau makanan kita bersih (halal mengikut syariat Islam) maka sel dan zat itu juga bersih sehingga hati kita juga akan bersih. Sebaliknya kalau makanan yang kita makan itu kotor (haram dan syubhat) baik benda itu haram atau uang yang digunakan untuk membelinya haram, maka sel dan zat-zat besi, atau zat-zat yang membina hati kita itu kotor, busuk dan gelap.

Hati seperti wadah yang terbuka. Hati yang kotor tidak akan menerima taufik dari Allah sebab Allah tidak akan memberi taufik dan hidayah kepada hati yang kotor. Sama halnya kita tidak akan memasukkan makanan ke dalam piring yang kotor. Apalagi taufik dan hidayah dari Allah itu sangat tinggi harganya.

Bila hati tidak bisa melihat kebenaran maka tidak akan terasa kebesaran, kehebatan, kasih sayang dan didikan dari Allah, tidak terasa anugerah, penjagaan, pengawasan dan pembelaan Allah. Kalau hati tidak mendapat hidayah dan taufik lagi maka kita akan menjadi orang yang sesat dan selalu terlibat melakukan maksiat dan mungkar.

Bersabda Rasulullah SAW :

Terjemahannya : Dalam diri anak Adam itu ada segumpal daging. Bila baik daging itu baiklah seluruh anggota dan seluruh jasad. Bila jahat dan busuk daging itu jahatlah seluruh jasad. Ketahuilah, itulah hati.(Riwayat Al Bukhari & Muslim)

Firman Allah : Terjemahannya : Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman dengan-Nya. (Al Maidah : 88)

Perintah memakan makanan yang halal adalah wajib. Kalau kita makan makanan yang haram dalam keadaan sadar bahwa benda yang kita makan itu haram maka kita akan berdosa dan hati kita akan gelap. Tetapi kalau makanan yang haram dan syubhat itu kita makan, tanpa diketahui bahwa benda itu haram dan syubhat maka kita tidak berdosa tetapi hati kita yang dibina dari makanan itu tetap akan gelap.

Atas dasar itulah Sayidina Abu Bakar As Siddiq mengorek kembali makanan yang telah ditelannya hingga muntah-muntah, setelah dia mengetahui bahwa makanan itu sumbernya adalah syubhat. Amirul Mukminin itu merasa cukup takut bila makanan itu akan membutakan hatinya. Setelah mengorek makanan itu, dengan rasa bimbang bila saja ada sisa-sisa makanan tersebut yang masih ada dalam perutnya, maka beliau pun berdoa, "Ya Allah, jangan Engkau bertindak kepadaku akan apa yang telah jadi darah dagingku"

Begitulah Sayidina Abu Bakar menjaga hatinya. Sebab itu hatinya menjadi terang-benderang. Jadi, tidak mengherankan kalau keyakinan beliau cukup kuat dengan Allah.

Rasulullah SAW pun memuji beliau dengan sabda baginda : Terjemahannya : Kalau dibandingkan iman Abu Bakar dengan iman seluruh manusia kecuali Nabi dan Rasul niscaya imannya masih lebih baik.

Hal yang serupa terjadi pada Imam Nawawi. Semasa hidupnya ia tidak makan buah-buahan di Damsyik karena merasa buah-buahan itu syubhat. Beliau sangat menjaga hatinya.

Hati yang terang-benderang akan mempunyai basirah (pandangan batin) yang tajam yang dapat menembus alam gaib dan alam kerohanian. Bila alam gaib yang hebat itu bisa terlihat oleh kita maka alam yang lahir itu sudah tidak berarti apa-apa.

Perbandingannya seperti ini : Misalnya suatu hari kita diundang menjadi tetamu raja. Maka masuklah kita ke istana. Di sana kita akan diberi dengan pelayanan yang istimewa, dengan pakaian dan makanan, peralatan dan perhiasan yang tidak pernah kita jumpai. Kita merasa sangat gembira dan kita merasa tidak mau kembali lagi ke rumah kita, sebab rumah kita sudah tidak berharga apa-apa lagi dibandingkan dengan kehidupan yang indah di istana.

Begitulah keadaan mereka yang bisa melihat kehebatan alam gaib. Alam yang lahir menjadi tidak berharga lagi. Karena itulah Sayidina Abu Bakar r.a bisa mengorbankan semua harta bendanya kepada jihad fisabilillah hingga tidak ada apa-apa lagi yang ditinggalkan untuk anak isterinya. Beliau mau menebus kehidupan di alam gaib yang maha hebat dengan menggadaikan seluruh harta benda dunia yang murah itu. Begitu juga sahabat-sahabat yang lain dan mujahid-mujahid Islam, mereka telah mengorbankan dunia yang sedikit itu untuk membeli kehidupan akhirat yang agung di alam baqa’ nanti.

Firman Allah : Terjemahannya : Sesungguhnya Allah SWT telah membeli dari orang mukmin, diri dan harta mereka dengan (harga) Syurga untuk mereka. (At Taubah : 111)

Mari kita mengobati hati kita dengan menghindar dari makanan yang haram. Langkah-langkah yang perlu diambil untuk mengelak dari makanan yang haram diantaranya ialah :

1. Jangan memakan makanan yang zatnya jelas haram seperti arak atau makanan yang dicampur arak atau daging yang tidak disembelih.

2. Jangan memakan makanan yang bernajis baik sifatnya najis (karena dibuat dari bahan yang tidak halal) atau karena cara mencucinya tidak betul atau tidak menurut syariat, sehingga tetap najis (tetap tidak halal).

3. Jangan memakan daging yang disembelih secara tidak halal dan membersihkannya tidak menurut syariat.

4. Jangan memakan makanan yang dibeli dengan uang yang haram (sekalipun makanan itu halal). Uang yang haram contohnya uang suap, uang riba, uang curian dan tipuan.

5. Jangan kita memakan makanan dari usaha yang haram seperti riba, pelacuran, judi, dan lain-lain.

Makanan syubhat ialah makanan yang kita ragukan halal atau haram dan uang syubhat ialah uang yang sumbernya kita ragukan halal atau haram. Makanan dan uang yang syubhat itu wajib dielakkan supaya kita berpeluang memperoleh kejernihan batin untuk mengenal Allah dengan pengenalan yang sebenarnya.

Sekarang ini banyak makanan di restoran yang menyalahgunakan perkataan 'HALAL' dan 'ISLAM' sebagai tanda perniagaan mereka. Kita harus berhati-hati juga sebab musuh Islam telah menyalahgunakan kata-kata 'HALAL' dan 'ISLAM' itu untuk keuntungan perut dan kantong mereka saja. Mereka sama sekali tidak takut pada Allah dan tidak ingin untuk mencari keredhaan-Nya.

Makan makanan yang halal tetapi berlebihan juga menjadi satu faktor penentu kepada corak hati kita.

Sabda Rasulullah SAW : Terjemahannya : Wadah yang paling dibenci oleh Allah adalah perut yang penuh dengan makanan yang halal.

Allah benci kepada perut yang penuh dengan makanan sebab perut yang penuh itu akan melemahkan kegiatan hati sehingga tidak kuat untuk memandang pada alam gaib.

Bila hati lemah maka manusia menjadi lalai dan malas. Malas beribadah dan mudah terjebak dalam maksiat. Atas dasar itulah para salafussoleh mengurangi porsi makan mereka.

Rasulullah SAW selalu melatih perutnya untuk berada dalam keadaan lapar. Beliau pernah meletakkan batu di perut dan kemudian mengikat perutnya dengan kain agar tidak terasa kekosongan perut yang memang kosong. Beliau jarang berada dalam keadaan kenyang. Jika satu hari kenyang, maka tiga hari lapar. Beliau selalu berpuasa satu hari, kemudian satu hari lagi berbuka.

Begitu pula cara hidup yang ditempuh oleh Nabi Sulaiman a.s yang dikenal sebagai orang kaya-raya. Beliau selalu berpuasa dan hanya memakan roti kering dan air putih. Nabi Yusuf a.s pun ketika menjadi menteri di Mesir melakukan sehari berpuasa dan sehari berbuka. Bila ditanya mengapa Beliau berbuat begitu, jawabnya, "Di hari aku lapar, aku dapat merasa bahwa aku adalah hamba yang memerlukan pertolongan Allah. Di hari aku kenyang maka aku dapat bersyukur pada Allah SWT yang memberikan rezeki."

Begitulah cara hidup Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul, orang-orang muqarrobin dan orang-orang soleh. Mereka berjuang melawan nafsu untuk membersihkan hati supaya merasa diri sebagai hamba Allah yang lemah dan hina dina. Cara hidup mereka itulah yang wajib kita contoh. Kita mesti senantiasa berperang dengan nafsu yang selalu mengajak kita lalai dari Allah.

Mari kita obati hati kita dengan cara mengurangi makan. Langkah-langkah praktis yang mesti diambil untuk mengurangi makan di antaranya ialah :

1. Hidangan makanan kita janganlah lebih dari dua jenis lauk. Itulah amalan Sayidina Umar. Beliau tidak makan dengan lebih dari dua jenis lauk. Sebab bila jenis lauk sudah bermacam-macam nafsu kita bertambah besar untuk merasakan semua jenis lauk.

2. Makanan itu sebaiknya sederhana, jangan terlalu enak. Sebab kalau terlalu enak, kita tidak mampu mengawal nafsu untuk makan berlebihan.

3. Jangan menyimpan berbagai kelebihan makanan dalam rumah, sebab bila makanan tersedia maka kita senantiasa berfikir untuk makan. Sebaliknya kalau tidak ada simpanan makanan, nafsu tidak akan mengajak kita berfikir untuk makan.

4. Cuba memperbanyak puasa sunat seperti di hari Senin dan Kamis atau paling kurang tiga hari dalam sebulan.

Harus kita fahami bahwa langkah-langkah di atas adalah untuk membersihkan hati dan membuat hati kita merasa menjadi hamba Allah yang lemah dalam segala masalah kita.

b. Pandangan dan Pendengaran yang Haram

Kita telah sepakat bahwa : "Dari mata turun ke hati." Artinya hasil dari pandangan (termasuk pendengaran) bukan sekedar terasa di mata dan telinga tetapi akan bersambung dan berkesan di hati. Kalau apa yang kita pandang dan dengar itu baik, maka hati kita akan menerima kebaikannya. Sebaliknya kalau yang kita pandang dan dengar itu maksiat dan mungkar (haram), maka hati kita akan berisi kejahatan dan kemungkaran itu.

Hati yang senantiasa menerima pandangan dan pendengaran yang mungkar akan menjadi hati yang gelap dan pekat, buta dari melihat keagungan Allah. Hati itu tidak lagi merasa takut pada Allah, bahkan cinta dan rindu pada Allah SWT akan hilang.

Saya rasa kita semua tentunya memiliki pengalaman pribadi terhadap hal itu. Kalau setiap hari hati kita terisi dengan zikrullah, bacaan Al Quran, puasa, shalat sunat, membaca kitab dan mendengar pengajian agama, hati kita akan lembut, terasa indah dalam beribadah kepada Allah, rindu kepada kebaikan, benci dan takut kepada dosa.

Tetapi kalau setiap hari hati kita isi dengan program TV, berkata-kata kosong, mengumpat dan mencaci, membaca majalah hiburan yang penuh maksiat, mendengar lagu-lagu pop, maka kita akan menjadi malas beribadah, memandang kecil tentang cara hidup sunnah, tidak ada rasa takut dengan Allah, tidak membesarkan Allah apalagi untuk rindu pada-Nya, tidak suka pada pemuka agama dan lupa pada Akhirat. Hati kita menjadi cinta kepada dunia dengan segala hiburannya. Hati selalu ingin lepas, bebas tanpa disekat oleh hukum Islam, malas berjuang dan berangan-angan, serta ingin hidup lebih lama lagi.

Itulah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa tindakan lahir, pendengaran dan penglihatan yang haram akan membuat hati kita buta kepada kebenaran.

Allah berfirman : Terjemahannya : Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercantum (benih) yang akan Kami mengujinya (dengan perintah dan larangan) karena itu Kami menjadikan dia mendengar dan melihat. (Al Insaan : 2)

Tujuan Allah memberi kita mata dan telinga adalah untuk mencari dan mengenal pencipta kita yaitu Allah SWT. Selain itu supaya kita sadar untuk berbakti dan menurut perintah-Nya. Firman-Nya : Terjemahannya : Tidak Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk menyembah Aku. (Adz Dzaariyat : 56)

Kita mesti merasa bahwa diri kita adalah sebagai hamba dalam melaksanakan perintah suruhan dan larangan dari Allah. Yang penting adalah rasa kehambaan. Ibadah yang sebenarnya adalah yang berasal dari rasa kehambaan. Kalau waktu beribadah itu kita tidak merasa hina dan tidak merasa hamba, tetapi merasa besar diri, sombong, marah, dengki, maka amalan lahir itu bukan lagi dinilai ibadah. Sama halnya dengan seorang kuli yang menghadap tuannya dengan rasa besar diri, dengan bertolak pinggang. Bukankah lebih baik bila ia tidak menghadap, sebab tentu akan menimbulkan kemarahan tuannya.

Hidup bukan untuk dunia tetapi hidup untuk Allah dan untuk mencari bekal kembali ke Akhirat. Untuk tujuan itulah kita dikaruniakan Allah pendengaran dan penglihatan. Gunakanlah keduanya sebaik mungkin sebagai alat untuk sampai kepada tujuan yang diredhai-Nya.

Mari kita obati hati kita dengan menjaga pandangan dan pendengaran hanya kepada yang dapat mengingatkan kita kepada Allah, merasa takut pada-Nya dan untuk berbakti pada-Nya.

Langkah-langkah yang sebaiknya diambil di antaranya ialah :

1. Banyakkan membaca Al Quran dan terjemahannya, hadist dan kitab-kitab serta buku-buku agama termasuk majalah dan risalah yang berunsur dakwah. Dalam waktu yang sama, elakkan dari membaca buku-buku khayalan, majalah hiburan dan berita-berita yang jauh dari kebenaran.

2. Selalu mengunjungi mesjid, tempat pengajian agama, majelis dakwah, tahlil dan zikrullah serta mengelak dari tempat-tempat maksiat, acara-acara yang liar (pergaulan bebas) dan keluar rumah tanpa tujuan, sebab di luar banyak pandangan dan pendengaran yang membawa kepada maksiat. Juga kita mengelak dari bergaul dengan kawan yang mengajak kita kepada maksiat.

3. Mendatangi orang-orang soleh, sebab dengan melihat mereka, dapat memberi kekuatan.

4. Ingat mati, karena selalu mengingat mati akan melembutkan hati.

5. Elakkan dari menonton program TV yang tidak berfaedah. Sekali kita biarkan mata dan telinga kita memandang dan mendengar perkara yang dibenci oleh Allah, maka selama itu kita biarkan nafsu menjadi raja di hati kita sehingga kita lalai dan tidak takut kepada penglihatan dan pengawasan Allah. Lebih baik kita tidur daripada menonton TV sampai larut malam. Hasilnya kita bisa bangun dengan segar untuk menyembah Allah dan mendekatkan hati pada-Nya. Kalau hati kita merasa sama saja antara melihat maksiat atau tidak, itu tandanya hati kita sudah rusak dan jauh dari Allah.

Itulah di antaranya langkah-langkah yang perlu diambil untuk menjernihkan batin kita. Perlu diingat bahwa langkah-langkah itu mesti diperjuangkan sungguh-sungguh dan terus menerus.

Kita jangan cepat jemu atau mudah terpengaruh dengan bujukan nafsu liar kita. Dan janganlah kita mengharap untuk memperoleh hasilnya dalam jangka waktu yang singkat. Sebab menurut pengalaman orang-orang yang telah menempuh jalan itu, waktu paling singkat untuk memperoleh hati yang bersih (taraf kerohanian yang tinggi) melalui mujahadah melawan hawa nafsu (mujahadatunnafsi) adalah 20 sampai 30 tahun lebih.

Waktu yang akan kita tempuh, sesuai dengan waktu yang kita gunakan untuk maksiat. Sejak dalam perut ibu, kita sudah menerima makanan yang tidak jelas halalnya. Setelah lahir pun kita berada di tengah-tengah maksiat dan macam-macam kemungkaran. Hati kita sudah gelap pekat dengan karat-karat dosa yang kita lakukan secara sadar atau tidak. Jadi memang sudah selayaknya kalau kita korbankan 20-30 tahun umur kita yang akan datang untuk membersihkan hati nurani kita. Mudah-mudahan di akhir umur kita, dapat kita rasakan kebersihan hati dan keselamatan dari mazmumah. Mudah-mudahan kita dapat menghadap Allah membawa hati yang selamat.

Firman Allah :

Terjemahannya : Di hari itu (hari kita meninggal dunia) tidak berguna lagi harta dan anak kecuali mereka yang menghadap Allah membawa hati yang selamat. (Asy Syuara’: 88-89)

Apabila ruh kita sudah bersih dan sudah kembali pada fitrahnya semula (sewaktu di alam ruh), maka kita akan merasakan bermacam-macam pengalaman batin yang luar biasa. Tapi hal itu juga tergantung kepada taraf kebersihan ruh yang dapat kita capai. Ada dua peringkat ruh yang bersih yaitu :

1. Ruh yang terlalu bersih (orang yang Mukasyafah)

Biasanya dicapai oleh muqarrobin. Ruh itu dapat menembus hijab antara alam dunia dan malakut dan dapat melihat segala rahasia-rahasia batin manusia.

Hal-hal yang biasanya oleh orang biasa dilihat di alam mimpi maka mereka dapat melihatnya di waktu sadar. Contohnya : kalau ada seseorang yang sifat batinnya seperti anjing maka orang itu akan terlihat oleh mereka seperti anjing. Kalau orang biasa mendapat ilmu dengan belajar maka mereka memperoleh ilmu melalui ilham.

2. Ruh yang bersih

Tingkatan itu dapat dicapai oleh orang-orang soleh. Ruh mereka dapat mengesan rahasia-rahasia batin hanya melalui mimpi-mimpi yang benar dan rasa hati yang benar dan tepat dengan kehendak Allah. Mereka tidak dapat melihatnya secara nyata, sebab hijab pada diri mereka tidak terangkat semua. Allah menceritakan hal itu dalam hadist Qudsi, firman-Nya yang bermaksud : Barang siapa yang memusuhi wali-Ku (orang yang setia pada-Ku) maka Aku mengisytiharkan perang terhadapnya. Dan tiada amal seorang hamba-Ku yang bertakwa (yang beramal) pada-Ku yang lebih Kucintai daripada dia menunaikan semua yang Kufardhukan ke atasnya. Dan hambaKu yang senantiasa bertaqarrub kepadaKu dengan nawafil (ibadah sukarela) sehingga Aku mencintainya, maka jadilah Aku seolah-olah sebagai pendengarannya yang ia mendengar dengannya dan sebagai penglihatannya yang ia melihat dengannya dan sebagai tangannya yang ia bertindak dengannya dan sebagai kakinya yang ia berjalan dengannya. Dan andaikata ia memohon pasti akan Kuberi padanya. Dan andaikata ia berlindung kepada-Ku pasti akan Kulindungi.

Rasulullah SAW bersabda : Terjemahannya : Takutilah olehmu firasat (pandangan tembus) orang-orang Mukmin karena ia memandang dengan cahaya Allah. (Riwayat At Tarmizi)

----------------------------------------------------------------------------
sumber http://www.tawakal.or.id/index.php?idn=199 dicopy dari: http://www.qatrunnada.com.my

23 December, 2006

Berqurban Sesuai Tuntunan

Penulis : Ahmad Kosasih

Apapun ibadahnya, kaifiyatnya (tata cara) harus sesuai petunjuk Rasulullah SAW. Ibadah yang dilakukan tanpa sesuai petunjuk Rasulullah SAW, akan sia-sia. Tentu Allah SWT tidak akan menerimanya meski dilakukan dengan penuh keikhlasan. Pengorbanan yang kita lakukan dalam melaksanakan suatu ibadah menjadi percuma, hanya gara-gara tidak sesuai syari'at.

Untuk ibadah qurban, nampaknya cerita Habil dan Qabil dapat dijadikan pelajaran berharga. Habil berqurban sesuai petunjuk ayahnya Adam AS, yaitu memilih domba terbaik yang dimilikinya. Sedangkan Qabil, memilih hasil pertaniannya yang busuk. Tentu saja persembahan Qabil ditolak Allah SWT. Apa yang dilakukan Qabil sama saja seperti sebuah penghinaan. Siapapun kita, tentu akan marah jika ada anak buah (hamba sahaya) kita, yang mempersembahkan buah-buahan busuk.

Sejarah Singkat Ibadah Qurban

Syari'at ibadah qurban yang kita dilakukan, meniru apa yang dilakukan Nabi Ibrahim AS. Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk berqurban, sesuai dengan ibadah qurban yang dilakukan keluarga Ibrahim AS kepada Allah SWT.

Ibrahim AS beserta keluarganya, selalu diuji oleh Allah SWT. Hal itu, tentu sebagai jalan untuk menguji kesabaran dan ketaatan kepadaNya. Ujian itu berupa lamanya dikarunia anak, keluarganya (Siti Hajar dan Ismail) harus dipindahkan ke lembah Beka yang gersang dan tandus, tanpa persediaan makanan dan minuman di sana. Selain itu, setelah Ismail meningkat remaja, Allah menyuruh menyembelihnya untuk diqurbankan kepadaNya. Allah SWT memerintahkan Ibrahim AS untuk menyembelih anaknya melalui mimpi selama beberapa kali.

Kisah ini diceritakan dalam Al-Qur'an. Allah SWT berfirman, "Maka tatkala anak itu sampai berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, "Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu?" Ia menjawab, "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu." Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.

Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipis. Dan Kami panggillah dia, "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu di kalangan orang-orang yang datang kemudian." (QS. Ash-Shaaffaat [37] : 102-108).

Nabi Ibrahim AS sangat taat kepada Allah SWT. Setelah berdiskusi dengan Ismail, akhirnya prosesi penyembelihan Ismail jadi dilakukan. Berkat keikhlasan dan ketaatan keduanya itu, akhirnya Allah mengirimkan seekor domba qibas sebagai pengganti Nabi Ismail. Nabi Ibrahim menyembelih domba disaksikan Nabi Ismail dan malaikat. Mereka bertakbir mengagungkan Allah.

***

Definisi Qurban

Qurban berasal dari kata qaraba, artinya mendekatkan diri. Jadi, melaksanakan ibadah qurban adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Istilah lain dari ibadah qurban yaitu udhiyyah, yaitu mempersembahkan atau memberikan sesuatu kepada Allah dengan sesuatu yang dikorbankan. Dalam hal ini, sesuatu yang diqurbankan itu adalah hewan ternak seperti sapi, unta, kambing, atau domba.

Ritual ibadah qurban sudah dilakukan sebelum kedatangan Islam. Orang-orang Quraisy pada masa jahiliyah selalu melakukan ritual qurban yang dipersembahkan bagi berhala-berhala yang mereka sembah. Ritual qurban yang mereka lakukan berasal dari sejarah qurban Nabi Ibrahim, yang tentu saja berasal dari perintah Allah. Hanya saja, mereka menyelewengkannya menjadi ibadah qurban yang di persembahkan bagi berhala-berhala mereka.

Mengutip pendapat KH. Miftah Faridl, dalam Islam ada tiga macam ibadah yang dilakukan dengan penyembelihan hewan. Pertama, al-hadyu. Yaitu ibadah yang dilakukan dengan cara menyembelih hewan, dikhususkan bagi mereka yang melakukan ibadah Haji Tamattu atau Qiran. Tidak terkecuali bagi para jama'ah yang tidak menunda umrahnya hingga selesai melaksanakan haji, harus membayar hadyu, dengan cara menyembelih hewan.

Kedua, aqiqah. Yaitu ibadah yang dilakukan dengan cara menyembelih hewan bagi mereka yang dianugerahi kelahiran seorang anak. Aqiqah dilaksanakan dengan ketentuan satu ekor kambing untuk kelahiran anak perempuan, dan dua ekor kambing untuk kelahiran anak laki-laki. Aqiqah dilaksanakan oleh seseorang sebagai "tebusan" atau rasa syukur atas anugerah pemberian anak. Ia merupakan perwujudan ikrar serah terima amanah antara Allah dan makhlukNya, karena anak pada dasarnya adalah amanah yang kelak akan dipertanggungjawabk annya.

Ketiga, udhiyyah, yaitu menyembelih binatang tertentu pada Hari Raya Idul Adha atau hari-hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah) sebagai wujud kepatuhan seorang hamba kepada Allah SWT.

***

Landasan Hukum

Landasan hukum ibadah qurban terdapat dalam surat Al-Kautsar ayat 1-2. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. "

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum penyembelihan hewan qurban. Setidaknya ada dua pendapat mengenai hukum penyembelihan hewan qurban, yaitu sunnah muakkadah dan wajib. Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum penyembelihan hewan qurban adalah sunnah muakkadah.

Berdasarkan hukum ini, walaupun seseorang tidak menyembelih hewan qurban, ia tidak berdosa. Apalagi mereka yang tergolong tidak mampu dan miskin. Tetapi, bagi mereka yang mampu dan berkecukupan, makruh hukumnya bila tidak menyembelih hewan qurban.

Pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa hukum penyembelihan hewan qurban adalah sunnah muakkadah berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim. Rasulullah SAW bersabda, "Bila telah memasuki 10 (hari bulan Dzulhijjah) dan seseorang ingin berqurban, maka janganlah ia ganggu rambut qurban dan kuku-kukunya. "

Dari hadits ini, para ulama menyimpulkan bahwa kalimat "seseorang ingin berqurban" menunjukan hukum berqurban diserahkan kepada kemauan seseorang, artinya tidak wajib, tetapi sunnah. Seandainya hukumnya wajib, maka tidak akan ada kalimat "ingin berqurban".

Selain itu, dalam sebuah atsar (hadits dari sahabat) yang diriwayatkan Baihaqi, Abu Bakar dan Umar tidak melaksanakan penyembelihan hewan qurban dalam satu atau dua tahun, karena takut dianggap menjadi kewajiban. Hal itu tidak mendapatkan penentangan dari para sahabat yang lainnya.

Sebaliknya, ulama yang menyatakan menyembelih hewan qurban hukumnya wajib adalah ulama dari madzhab Hanafi. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah. Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang memiliki kelapangan tapi tidak menyembelih qurban, janganlah mendekati tempat shalat kami." (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).

***

Tata Cara Berqurban

Berqurban, harus sesuai dengan tata cara yang dicontohkan Rasulullah SAW. Hal-hal yang harus menjadi perhatian kita, yaitu jenis hewan yang diqurbankan, waktu pelaksanaan, aturan menyembelih, dan distribusi atau penyaluran.

1. Jenis Hewan
Tidak semua jenis hewan ternak bisa untuk berqurban. Hewan ternak yang bisa diqurbankan yaitu kambing dan yang sejenis, sapi dan yang sejenis, dan unta.

2. Waktu Penyembelihan
Waktu pelaksanaan qurban adalah setelah dilaksanakannya shalat 'Id berdasarkan sabda Rasulullah SAW, "Barangsiapa menyembelih sebelum shalat, hendaklah menyembelih sekali lagi sebagai gantinya. Dan siapa yang belum menyembelih hingga kami selesai shalat, maka menyembelihlah dengan bismillah." (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah SAW juga bersabda, "Sesungguhnya pekerjaan pertama yang harus kita awali pada hari kita ini adalah shalat, kemudian kita pulang lalu menyembelih qurban. Barangsiapa yang berbuat demikian, maka ia telah melaksanakan contoh kami dengan tepat. Dan barangsiapa yang menyembelih qurban sebelum shalat, maka ia hanya memberikan daging biasa kepada keluarga; sedikitpun tidak bersangkut paut dengan ibadah penyembelihan qurban." (HR. Muslim).

Selain itu, pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, merupakan waktu diperbolehkan untuk melaksanakan qurban. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah dari Jubair bin Mut'im. Rasulullah SAW bersabda, "Pada setiap hari-hari tasyriq ada sembelihan." (HR. Imam Ahmad, Ibnu Hibban, dalam shahihnya Al-Baihaqi).

3. Jumlah Orang yang Berqurban
Rasulullah SAW menetapkan, untuk kambing atau domba hanya satu orang mudhahi (pequrban). Sedangkan untuk satu ekor sapi dan sejenisnya serta unta, diperbolehkan berpatungan dengan jumlah maksimal tujuh orang. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW, "Kami menyembelih hewan pada saat Hudaibiyah bersama Rasulullah SAW. Satu ekor badanah (unta) untuk tujuh orang dan satu ekor sapi untuk tujuh orang." (HR. Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi).
Di negara kita, kekeliruan pandangan sering terjadi untuk jenis hewan sapi. Banyak yang beranggapan bahwa satu ekor sapi untuk tujuh orang. Padahal, itu jumlah maksimal. Jadi, jika satu ekor sapi sanggup dibeli oleh kurang dari tujuh orang, itu sangat diperbolehkan. Malah akan lebih baik bila oleh satu atau dua orang saja.

4. Tata Cara Penyembelihan
Ada beberapa ketentuan dalam penyembelihan hewan qurban. Pertama, niat. Niat berqurban karena Allah semata. Hal yang terpenting dalam proses ibadah qurban adalah niat. Niat adalah sesuatu yang asasi dalam ibadah qurban dan ibadah-ibadah lainnya. Bila niat kita berqurban dalam rangka taat kepada Allah dan menjalankan perintahnya, maka insya Allah ibadah qurban kita diterimaNya. Sebaliknya, jika niat berqurban dalam rangka yang lainnya, misalnya karena ingin dipuji, atau malu kalau tidak melaksanakan ibadah qurban, atau qurban yang dipersembahkan untuk selain Allah, maka ibadah qurban seperti itu tidak akan diterimaNya.
Kedua, mengucapkan asma Allah saat menyembelih. Dari Anas bin Malik, ia berkata, "Bahwasannya Nabi SAW menyembelih dua ekor qibasnya yang bagus dan bertanduk. Beliau mengucapkan basmallah dan takbir dan meletakkan kakinya di samping lehernya." (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya).
Ketiga, menyembelih dengan pisau yang tajam. Ibnu Umar berkata, Rasulullah SAW memerintahkan supaya pisau itu ditajamkan dan supaya tidak ditampakkan kepada binatang-binatang dan beliau bersabda, "Apabila seorang dari kalian menyembelih, maka hendaklah ia percepat kematiannya. " (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Keempat, disembelih tepat di kerongkongan/ leher. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW pernah mengutus Budail bin Warqa Al-Khuza'i dengan naik unta yang kehijau-hijauan supaya berteriak di jalan-jalan Muna (dengan berkata), "Ketahuilah bahwa sembelihan itu tepatnya di kerongkongan/ lehernya. " (HR. Daruquthni).
Kelima, disembelih oleh seorang muslim. Penyembelihan hewan qurban harus dilaksanakan oleh orang Islam, karena ibadah qurban adalah ibadahnya kaum muslimin. Dan semua proses ibadah dari awal sampai akhir harus dilakukan oleh kaum muslimin.
Keenam, menunggu ternak hingga mati sempurna. Jika hewan qurban telah disembelih, maka biarkanlah hewan tersebut sampai mati dan jangan dikuliti atau dipotong anggota tubuhnya sebelum benar-benar mati. Mengkuliti hewan yang belum mati, sama saja dengan menyiksanya.
Ketujuh, terputus urat leher, yaitu hulqum (jalan napas), Mari' (jalan makanan), Wadajain (dua urat nadi dan syaraf). Berkata Ibnu Abbas dan Abu Hurairah bahwa, "Rasulullah SAW melarang syarithatusy- syaitan yaitu (sembelihan) yang disembelih hanya putus kulitnya dan tidak putus urat lehernya." (HR. Abu Dawud).

5. Penyaluran Daging Qurban
Mudhahi disunnahkan mengkonsumsi daging qurbannya. Selain itu, disunnahkan pula menghadiahkan kepada kerabatnya dan bersedekah kepada fakir miskin. Dianjurkan pula menyimpannya untuk persediaan.
AllahSWT berfirman, "Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama AllahSWT pada hari yang ditentukan (Hari Adha dan Tasyriq) atas rizki yang Allah SWT telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir." (QS. Al-Hajj [22] : 28). [Swadaya-52/ V/1206]

URL : http://kotasantri. com/mimbar. php?aksi= Detail&sid=357

16 December, 2006

Jadilah Orang yang Ikhlas

Penulis : H. Mulyadi Al-Fadhil, S.Sos.I.

Ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya ibadah. Ikhlas menjadi pilar kekuatan beramal kaum mukminin. Tanpa kekuatan ikhlas, mustahil kaum muslimin dapat bertahan dalam perjuangannya menegakkan kalimat tauhid.

Tokoh mujahid Islam yang terkenal, Asy-Syahid Imam Hasan Al-Banna, mengatakan, "Ikhlas itu kunci keberhasilan. " Menurutnya, para salafushaleh yang mulia tidak memperoleh kemenangan kecuali dengan tiga hal, yaitu kekuatan iman, kebersihan hati, dan keikhlasan.

"Jika engkau telah memiliki tiga hal itu, maka Allah akan memberi petunjuk dan pertolongan, dan Allah akan memberimu keberhasilan. " Tapi, masih menurut Imam Hasan Al Banna, "Jika hatinya sakit, cita-citanya lumpuh, dan diselimuti cinta dunia (tidak ikhlas), maka keluarlah dari barisanmu! Karena orang seperti itulah yang akan menghalangimu dari rahmat dan taufiq Allah SWT." (al-Waqa'iq, Muhamnad Ahmad Rasyid).

Uraian tokoh pembaharu di atas mengingatkan kita betapa pentingnya menjaga keikhlasan dalam setiap amal. Mari kita perhatikan ungkapan sahabat Ali bin Thalib RA, ada empat kebaikan yang sulit untuk dilakukan. Yaitu, memaafkan ketika marah, berderma ketika sulit, menjaga diri (iffah) dari dosa ketika sendirian, dan menyampaikan kebenaran kepada orang yang ditakuti.

Lebih jauh, mari kita renungkan ungkapan di atas, ketika kita berbuat salah dan kita meminta maaf atas kesalahan kita, itu sudah semestinya. Atau, orang berbuat salah dan minta maaf lalu kita maafkan, itu pun hal yang wajar. Tetapi, apabila orang lain yang berbuat salah dan kita yang meminta maaf dan memaafkannya, walaupun ia tidak meminta maaf, ini luar biasa. Tidak mudah bagi kita melakukannya. Ada pergulatan dan perasaan yang begitu berat.

Demikian pula ketika kita bersedekah (berderma). Saat kita memiliki uang atau sedang dalam keadaan lapang bahkan berlimpah, sangat wajar kalau kita melakukannya. Tetapi, bagaimana ketika kita sedang pailit, uang pas-pasan, harta terbatas, bahkan kita pun sangat butuh dengan uang yang ada? Mungkin hanya sebagian kecil saja yang masih sanggup berderma. Tetapi, jika kita mampu untuk berbagi dalam keadaan sempit, tentu menunjukkan keikhlasan yang tinggi.

Keikhlasan tidak nampak secara fisik. Ikhlas atau tidaknya seseorang dalam suatu amal shaleh, hanya dapat diketahui oleh dirinya sendiri. Hanya Allah SWT sajalah yang dapat mengetahui seseorang itu ikhlas atau tidak dalam amal shalehnya itu. Meskipun orang tersebut mengaku melakukannya secara ikhlas, itu bukan jaminan ia benar-benar ikhlas. Secara lahir, mungkin seseorang terlihat ikhlas, tapi itu belum tentu.

Ikhlas adalah mengosongkan hati dari semua motivasi dunia dalam amal akhirat. Ia merupakan buah dari kesempurnaan tauhid, yaitu meninggalkan Allah SWT. Dengan keikhlasan yang murni, seorang Muslim dapat melepaskan dirinya dari segala bentuk perbudakan, melepaskan diri dari segala penyembahan kepada selain Allah, seperti kepada tahta, wanita, jabatan, harta, atau nafsu.

Seorang Muslim yang ikhlas, tunduk dan taat terhadap seruan Allah SWT dan Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman, "Katakanlah : Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri." (QS. Al-An'am [6] : 162-163).

Menjadi Muslim yang ikhlas adalah sebuah keniscayaan. Tidak ada jalan lain bagi kita agar semua amal shaleh berbuah pahala, selain ikhlas. Wallahu a'lam bishshawwab. [Swadaya-1106]

kotasantri.com

MEMELIHARA DIRI

Akhirat itu ialah hari yang terakhir,hari kemudian,hari pembalasan, hari dikumpulkannya manusia untuk menerima balasan yang sempurna. Percaya terhadap hari akhirat itu termasuk rukun iman yang enam. Dan hampir semua agama ada mempunyai kepercayaan kepada hari akhirat itu. Buat membayangkan bagaimana hebat dan dahsyatnya hari akhirat, baiklah kita perhatikan keadaan sebelumnya dan sekitarnya.

Setiap manusia yang hidup didunia ini ada mepercayai ajal yang tertentu,sangat terbatas. Apabila tiba ajalnya maka putuslah segala kesempatan baginya untuk bekerja dan beramal. Ketika itu berpisahlah ia dengan alam dunia ini untuk pindah kenegeri yang kekal yaitu negeri akhirat, tempat kesudahan segala makhluk. Berpisahlah ia dengan isteri dan anak2nya, berpisahlah ia dengan kedua ibu bapanya, berpisahlah ia dengan saudara2 dan keluarganya, berpisahlah ia dengan kawan dan sahabat2nya, berpisahlah ia dengan barang2 simpanan dan harta bendanya,perpisahlah ia dengan perniagaannya yang dikhawatirkan surutnya sewaktu hidupnya ,berpisahlah ia dengan sawah ladangnya yang dikhawatirkan tidak panen semasa hidupnya,berpisahlah ia dengan pangkat dan jabatan yang sangat dikejar2nya pada waktu hidupnya ,dan berpisahlah ia dengan rumah tangga yang sangat dicintai dan sangat disayanginya.

Dimanakah pertama kali kita diletakkan waktu berpisah dengan dunia dan segala isinya itu? Kita akan diletakkan didalam tanah yang sangat gelap,luasnya hanya sekedar meletakkan tubuh kasar kita,tiada dapat bergerak dan berkutik, tak ada teman yang menemani,tak ada sahabat yang menghibur ,bahkan memang dengan sengaja kita ditinggalkan sendiri,diwaktu dalam keadaan gelap gulita, datanglah binatang menghampiri kita, kutu dan ulat memakan kulit,daging dan tulang2 kita.

Demikianlah keadaan yang akan kita alami sebagai manusia,besar-kecil,tua-muda,laki2-perempuan, pejabat yang berpangkat-atau rakyat biasa, kaya-miskin, raja yang paling besar atau rakyat yang paling papa, semua sama keadaannya ditanah yang gelap itu,gelap dan sunyi senyap, kita disana sendiri dan terus sendiri sampai menghadap Allah tuhan yang Esa diakhirat untuk mempertanggung jawabkan apa yang telah kita perbuat didunia ini.

Siapakah yang menolong kita pada waktu itu?.Siapakah yang dapat menghibur kita ditempat yang terasing itu? .Dan siapakah yang dapat meringankan kesusahan yang maha berat dan berbahaya itu?. Tiada lain dan tiada bukan melainkan hanyalah amal kita sendiri yaitu amal ketika kita masih hidup didunia ini. Dan ingat wahai hadirin,bahwa amal itu ada dua.Ada amal yang baik dan ada amal yang buruk.Amal yang buruk akan menjadi musuh kita yang selalu memburu, mengejar dan membahayakan kita ,dan amal yang baiklah yang akan menjadi kawan kita didalam kubur sampai keakhirat kelak.


Dunia ini adalah tempat bertanam,dan akhirat tempat memetik buahnya. Kalau didunia kita menanam kejahatan, kemungkaran, syirik, dan lain2 yang dilarang Allah, diakhirat akan memetik buahnya dineraka dan akan tinggal disana. Perhatikanlah firman Allah swt, yang menerangkan tentang kehidupan ahli neraka,yang berbunyi sbb ;

Artinya; Sesungguhnya pohon zaqum (buah neraka) itu makanan orang yang berdosa seperti kotoran minyak yang mendidih didalam perut,seperti mendidihnya air yang panas. ( Ad-Dukhoon 43-46 )

Artinya; Jika mereka haus meminta minum diberikanlah kepada mereka air yang seperti
Kotoran minyak yang membuat hangus muka2 alangkah buruknya minuman itu dan seburuk buruk tempat.( Al-Kahfi 29 )

Kalau kita ketika didunia menanam amal yang baik, perbuatan yang suci ,yang sesuai dengan perintah Allah, niscaya kita akan memetik buahnya didalam syorga,tempat kesenangan yang kekal dan abadi dinegeri akhirat buat selama lamanya.

Firman Allah swt ;

Artinya;Allah akan membalas mereka karena shabarnya dengan syurga,dan memberi pa kaian sutera, mereka berbaring didalamnya diatas pelaminan,tiada mereka lihat
matahari (yang membuat kepanasan ) dan tiada pula kedinginan.(Al,Insaan 12.13)

Untuk itu mari kita memperbanyak amal2 yang baik,dan memimpin keluarga kita untuk beramal sholih, agar terhindar kita dan keluarga kita dari siksa api neraka .Mudah2an kiranya Allah menjadikan kita ummat yang baik di dunia ini sampai keakhirat kelak , Aamiin ya Robbal `Aalaamiin.

Artinya;Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang2 yang tidak sombong dimuka bumi dan tidak berbuat bencana,dan kesudahan yang baik itu bagi orang2 yg berbakti.
( Al.Qashash.83)

(Oleh :Setia Budi P3NTR KAB.ASAHAN KEC.BUNTU PANE)

09 December, 2006

Masalah malu


Salah satu hikmah yang terkandung didalam kitab2 agama dari dahulu sampai sekarang ialah tentang rasa malu yang harus ada pada diri kita. Sebagaimana juga telah diterangkan oleh Rasulullah saw,

Artinya: Apabila engkau tidak mempunyai malu,maka perbuatlah apa yang engkau kehendaki..
( H.R.Bukhori )

Saudaraku, didalam memahami hadist ini, manusia terbagi pada dua pendapat.
Pendapat pertama mengatakan, bahwa perintah didalam perkataan Nabi ini adalah; untuk teguran keras.Serupa dengan teguran Allah swt yang berbunyi :


Artinya : Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki, sesungguhnya Allah melihat apa yang kamu kerjakan. (Fushilat40 ).
Maksudnya apabila manusia tidak mau menuruti perintah Allah,maka perbuatlah apa yang disukainya,karena Allah mengetahui dan akan membalas seluruh perbuatan manusia itu.

Dengan memakai arti ini dapat dipahami bahwa,Haya` atau Malu yang tersebut dalam perkataan Nabi itu, adalah suatu sipat yang menghalangi seseorang dari berbuat dosa dan kejahatan. Maka orang yang tidak punya malu dia akan cenderung berbuat dosa dan kejahatan.

Dosa dan kejahatan baginya seperti satu tubuh yang tidak terpisah. Kalau seseorang sudah tidak terpisah dengan dosa dan kejahatan,maka ia akan berbuatlah sesuka sukanya,dan semau maunya,seolah olah dia diperintah untuk berbuat dosa dan kejahatan itu. Hal itu terjadi dikarenakan dia sudah tidak mempunyai rasa malu lagi.

Pendapat yang kedua mengatakan, bahwa perintah tadi sifatnya hanya keharusan saja. Maksudnya apabila didalam sesuatu perbuatan,kita merasa aman daripada mendapat malu karena
kita merasa bahwa yang kita perbuat itu benar,maka perbuatan itu boleh dilakukan.Pendapat yang kedua ini tidaklah tepat dan terlalu jauh dari tujuan kata2 yang terdapat didalam Al-Qur an dan Hadist tadi.

Marilah kita simak besarnya pengaruh kata kata yang disampaikan oleh Nabi tentang rasa
malu itu. Kita melihat didunia sekarang bermacam macam kejahatan dan kemungkaran yang dilakukan manusia. Seperti; pembunuhan, perkosaan, perampasan hak manusia, korupsi, judi minuman yang memabukkan,narkoba dan sebagainya.Kalau kita periksa dengan teliti,perbuatan –
perbuatan maksiat tersebut dilakukan karena disebabkan sudah hilangnya rasa malu pada diri sipelaku.
malu

Kalau rasa malu sudah tidak ada pada diri seseorang ,atau pada suatu masyarakat ,atau pada suatu ummat dan bangsa, niscaya akan menjalarlah segala macam kemaksiatan dan kejahatan Jangan kita merasa hanya orang2 yang bodoh dan kecil saja yang mudah dihinggapi hilang rasa malu itu. Tetapi juga orang2 yang pintar dan pandai, orang2 besar, orang yang berkedudukan tinggi,dari rakyat biasa sampai pejabat,pedagang,karyawan,petani.bahkan semua golongan ,dapat dihinggapi penyakit hilangnya rasa malu itu. Bahkan apabila penyakit hilangnya rasa malu itu sudah berada pada diri orang2 atas,maka bahayanya akan lebih besar lagi. Karena hilangnya rasa malu itu,akan merobah nama2 kejahatan dan perbuatan dosa menjadi nama nama yang baik dan sopan kedengarannya. Seperti kemungkaran diganti namanya dengan pelanggaran, perzinahan diganti namanya dengan pelesiran ,pencurian diganti namanya dengan penjarahan, perjudian diganti namanya dengan ketangkasan, kekejaman diganti namanya dengan keadilan,kemusyrikan diganti namanya dengan kebudayaan ,kepornoan diganti namanya dengan kesenian, dan lain lain sebagainya. Semua kejahatan2 tersebut sudah berobah namanya,dan dianggap baik,sudah dianggap enteng dan biasa , Orang2 seperti inilah yang tersesat jalan,namun mereka menganggap perbuatannya benar.



Artinya : Yaitu orang2 yang siasia perbuatannya dalam penghidupan dunia,dan mereka
mengira bahwasanya mereka berbuat baik dalam usahanya.( Al-Kahfi 104 ).

Saudaraku Marilah kita berdoa dan berusaha,agar kiranya Allah menjauhkan kita dari penyakit tidak punya malu itu sehingga kita selamat dari perbuatan2 dosa dan mendapatkan kebahagiaan sejak didunia ini sampai keakhirat kelak.Aamiin Yaa Robbal `Aalaamiiin.


Sebagai penutup kita simak surat ( AN-Nisaa` 108 )


Artinya;Mereka menyembunyikan (kesalahannya) dari manusia ,tetapi mereka tidak
dapat bersembunyi dari Allah.(karena) Dia bersama mereka,sewaktu mereka
suatu malam memutuskan suatu perkataan (perbuatan) yang tidak disukai Allah.Dan Allah Maha Mencakup ilmu Nya tentang apa saja yang mereka kerjakan.
( AN-Nisaa` 108 )

penulis/disusun oleh : Setia Budi ( P3N Prapat Janji kab Asahan Prop SUMUT )

05 December, 2006

BERSIKAP ADIL DAN BIJAKSANA DALAM BERGAUL

Oleh
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'dy


Rasulullah Shallallahu ' alaihi wa sallam bersabda.

Artinya : Janganlah seorang mu'min lelaki membenci seorang wanita mu'minah. Karena, kalaupun ia tidak menyenangi suatu karakter yang ada padanya, tentu ia menyenangi karakter lain yang ada padanya� [1]

Hadits ini mengandung dua hikmah yang agung.

Pertama.
Arahan untuk bergaul dengan isteri, kerabat dekat, teman, orang yang bekerja sama dengan anda, dan semua yang ada keterkaitan dan hubungan antara anda dan dia. Yaitu, seyogianya anda tata batin anda dalam bergaul dengannya, bahwa pasti ia mempunyai cela atau kekurangan atau hal lain yang tidak anda sukai. Jika anda dapati hal yang demikian, bandingkanlah itu dengan kuatnya pertalian dan kesinambungan cinta antara anda dan dia yang wajib atau seyogianya anda bina, dengan mengingat sisi-sisi kebaikan, maksud-maksud baik yang bersifat umum atau khusus yang ada pada dirinya. Dengan menutup mata dari sisi-sisi keburukkan dan memandang sisi kebaikan, persahabatan dan tali hubungan akan langgeng dan ketenteraman batin akan terwujud bagi anda.

Kedua.
Yaitu hilangnya kegelisahan maupun keguncangan,langgengnya ketulusan cinta, keberlanjutan menunaikan tuntunan bergaul yang bersifat wajib maupun sunnah, dan terwujudnya ketentraman batin antara kedua belah pihak.
Baransiapa yang tidak mengambil pelajaran dari hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini, tetapi bahkan ia melakukan sebaliknya, yaitu dengan memperhatikan sisi-sisi keburukan dan membutakan mata dari melihat sisi-sisi kebaikan, maka pasti ia akan guncang dan gelisah, dan pasti tidaklah mulus cinta yang ada antara dia dan orang yang sudah terjalin hubungan dengannya. Disamping itu, sejumlah hak maupun kewajiban yang harus dipelihara oleh masing-masing dari keduanyapun akan putus.

Banyak tokoh atau pahlawan yang mampu menguatkan hatinya untuk sabar dan tenang saat terjadinya bencana atau malapetaka besar. Namun, di saat menghadapi perkara-perkara remeh dan sederhana, maka justeru guncang, dan kepolosan hatinya tidak jernih lagi. Sebabnya adalah karena mereka dapat menguatkan hati dalam menghadapi perkara-perkara besar,namun saat menghadapi perkara-perkara kecil, justeru mereka biarkan diri mereka tanpa kontrol, sehingga membahayakan mereka dan berefek buruk pada ketenangan mereka.

Orang yang berkepribadian kokoh mampu menguatkan hatinya untuk menghadapi perkara kecil maupun besar. Ia memohon pertolongan Allah untuk menghadapinya dan memohon agar Allah tidak menitipkan dirinya kepada dirinya walau sekejap mata. Maka, di saat itulah perkara kecil menjadi mudah baginya, sebagaimana perkara besar pun menjadi mudah. Dan, ia tetap berjiwa tenteram dan berhati tenang dan nyaman.


[Disalin dari buku Al-Wasailu Al-Mufidah Lil Hayatis Sa'idah, edisi Indonesia Dua Puluh Tiga Kiat Hidup Bahagia, Penerjemah Rahmat Al-Arifin Muhammad bin Ma'ruf, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Jakarta]
_________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat Muslim, Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisaburi, Shahih Muslim, Kitab Ar-Radha bab Al-Washiyyah bin Nisa'

sumber : dudung.net ( artikel pilihan )
post by : dray

28 November, 2006

Penyakit-Penyakit Hati

Pengantar:
Untuk sedikit menambah pengetahuan kita tentang penyakit hati, berikut ini akan saya kutipkan risalah dari buku "Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah..." karya Syeikh Abdul Akhir Hammad Alghunaimi. Akan tetapi, barangkali risalah itu sendiri lebih tepat disebut karya Al-Imam Ibnu Abil 'Izzi, karena beliaulah yang menulisnya sebagai syarh (penjelasan) dari kitab Aqidah yang disusun oleh Imam Ath-Thahawi yang dikenal dengan kitab "Aqidah Thahawiyah". Sedang Syeikh Abdul Akhir Hammad Alghunami adalah yang melakukan tahdzib (penataan ulang). Semoga bermanfaat.

Hati itu dapat hidup dan dapat mati, sehat dan sakit. Dalam hal ini, ia lebih penting dari pada tubuh.
Allah berfirman, artinya:
"Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya." (Al-An'am : 122)
Artinya, ia mati karena kekufuran, lalu Kami hidupkan kembali dengan keimanan. Hati yang hidup dan sehat, apabila ditawari kebatilan dan hal-hal yang buruk, dengan tabi'at dasarnya ia pasti menghindar, membenci dan tidak akan menolehnya. Lain halnya dengan hati yang mati. Ia tak dapat membedakan yang baik dan yang buruk.

Dua Bentuk Penyakit Hati:

Penyakit hati itu ada dua macam: Penyakit syahwat dan penyakit syubhat. Keduanya tersebut dalam Al-Qur'an.
Allah berfirman, artinya:
"Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara (melembut-lembutkan bicara) sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya. " (Al-Ahzab:32)
Ini yang disebut penyakit syahwat.

Allah juga berfirman, artinya:
"Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya..." (Al-Baqarah : 10)
Allah juga berfirman, artinya:
"Dan adapun orang yang didalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada)." (At-Taubah : 125)

Penyakit di sini adalah penyakit syubhat. Penyakit ini lebih parah daripada penyakit syahwat. Karena penyakit syahwat masih bisa diharapkan sembuh, bila syahwatnya sudah terlampiaskan. Sedangkan penyakit syubhat, tidak akan dapat sembuh, kalau Allah tidak menanggulanginya dengan limpahan rahmat-Nya.

Seringkali penyakit hati bertambah parah, namun pemiliknya tak juga menyadari. Karena ia tak sempat bahkan enggan mengetahui cara penyembuhan dan sebab-sebab (munculnya) penyakit tersebut. Bahkan terkadang hatinya sudah mati, pemiliknya belum juga sadar kalau sudah mati. Sebagai buktinya, ia sama sekali tidak merasa sakit akibat luka-luka dari berbagai perbuatan buruk. Ia juga tak merasa disusahkan dengan ketidak mengertian dirinya terhadap kebenaran, dan keyakinan-keyakinannya yang batil. "Luka, tak akan dapat membuat sakit orang mati." *). Terkadang ia juga merasakan sakitnya. Namun ia tak sanggup mencicipi dan menahan pahitnya obat. Masih bersarangnya penyakit tersebut di hatinya, berpengaruh semakin sulit dirinya menelan obat. Karena obatnya dengan melawan hawa nafsu. Itu hal yang paling berat bagi jiwanya. Namun baginya, tak ada sesuatu yang lebih bermanfaat dari obat itu. Terkadang, ia memaksa dirinya untuk bersabar. Tapi kemudian tekadnya mengendor dan bisa meneruskannya lagi. Itu karena kelemahan ilmu, keyakinan dan ketabahan. Sebagai halnya orang yang memasuki jalan angker yang akhirnya akan membawa dia ke tempat yang aman. Ia sadar, kalau ia bersabar, rasa takut itu sirna dan berganti dengan rasa aman. Ia membutuhkan kesabaran dan keyakinan yang kuat, yang dengan itu ia mampu berjalan. Kalau kesabaran dan keyakinannya mengendor, ia akan balik mundur dan tidak mampu menahan kesulitan. Apalagi kalau tidak ada teman, dan takut sendirian.

Menyembuhkan Penyakit Dengan Makanan Bergizi dan Obat:

Gejala penyakit hati adalah, ketika ia menghindari makanan-makanan yang bermanfaat bagi hatinya, lalu menggantinya dengan makanan-makanan yang tak sehat bagi hatinya. Berpaling dari obat yang berguna, menggantinya dengan obat yang berbahaya. Sedangkan makanan yang paling berguna bagi hatinya adalah makanan iman. Obat yang paling manjur adalah Al-Qur'an masing-masing memiliki gizi dan obat. Barangsiapa yang mencari kesembuhan (penyakit hati) selain dari Al-kitab dan As-sunnah, maka ia adalah orang yang paling bodoh dan sesat.
Sesungguhnya Allah berfirman:
"Katakanlah: "Al-qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al-qur'an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat jauh." (Fushshilat : 44)

Al-qur'an adalah obat sempurna untuk segala penyakit tubuh dan hati, segala penyakit dunia dan akherat. Namun tak sembarangan orang mahir menggunakan Al-qur'an sebagai obat. Kalau si sakit mahir menggunakannya sebagai obat, ia letakkan pada bagian yang sakit, dengan penuh pembenaran, keimanan dan penerimaan, disertai dengan keyakinan yang kuat dan memenuhi syarat-syaratnya. Tak akan ada penyakit yang membandel. Bagaimana mungkin penyakit itu akan menentang firman Rabb langit dan bumi; yang apabila turun di atas gunung, gunung itu akan hancur, dan bila turun di bumi, bumi itu akan terbelah? Segala penyakit jasmani dan rohani, pasti terdapat dalam Al-qur'an cara memperoleh obatnya, sebab-sebab timbulnya dan cara penanggulangannya. Tentu bagi orang yang diberi kemampuan mamahami kitab-Nya.

*) [Penggalan akhir bait sya'ir Al-Mutanabbi, yang mana penggalan awalnya adalah: "Orang yang hina, akan mudah mendapat kehinaan"]

Dikutip dari: Abdul Akhir Hammad Alghunaimi, "Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah Dasar-dasar 'Aqidah Menurut Ulama Salaf", penerjemah: Abu Umar Basyir Al-Medani, Pustaka At-Tibyan, buku 2, Cetakan I, 2000, hal 264-266.

sumber: assunnah.or.id
( dudung.net post : dudunger: Drai )

23 November, 2006

Kerja Ibadah

Setiap manusia untuk mendapakan sesuatu hal yang ia ingin miliki tentunya diawali dengan niat.Keberhasilan niat tentunya diiringi dengan perlakuan...perlakuan itulah yang disebut kerja.Kesulitan di dalam melakukan pekerjaan biasanya diawali karena ketidakseriusan didalam melakukan pekerjaan tersebut... solusi bagi muslim sesungguhnya kerja itu ibadah
Bekerja bukan hanya kebutuhan, tapi juga kewajiban. Berpahala jika dilakukan, berdosa kalau ditinggalkan. Anas bin Malik meriwayatkan bahwa seorang lelaki dari kaum Anshar datang menghadap Rasulullah saw dan meminta sesuatu kepada beliau. Rasulullah saw bertanya, “Adakah
sesuatu di rumahmu?”

“Ada, ya Rasulullah!” jawabnya, “Saya mempunyai sehelai kain tebal, yang sebagian kami gunakan untuk selimut dan sebagian kami jadikan alas tidur. Selain itu saya juga mempunyai sebuah mangkuk besar yang kami pakai untuk minum.”

“Bawalah kemari kedua barang itu,” sambung Rasulullah saw. Lelaki itu membawa barang miliknya dan menyerahkannya kepada Rasulullah. Setelah barang diterima, Rasulullah saw segera melelangnya. Kepada para sahabat yang hadir pada saat itu, beliau menawarkan pada siapa yang mau membeli. Salah seorang sahabat menawar kedua barang itu dengan harga satu dirham. Tetapi Rasulullah menawarkan lagi, barangkali ada yang sanggup membeli lebih dari satu dirham, “Dua atau tiga dirham?” tanya Rasulullah kepada para hadirin sampai dua kali. Inilah lelang pertama kali yang dilakukan Rasulullah.

Tiba-tiba salah seorang sahabat menyahut, “Saya beli keduanya dengan harga dua dirham.”

Rasulullah menyerahkan kedua barang itu kepada si pembeli dan menerima uangnya. Uang itu lalu diserahkan kepada lelaki Anshar tersebut, seraya berkata, “Belikan satu dirham untuk keperluanmu dan satu dirham lagi belikan sebuah kapak dan engkau kembali lagi ke sini.”

Tak lama kemudian orang tersebut kembali menemui Rasulullah dengan membawa kapak. Rasulullah saw melengkapi kapak itu dengan membuatkan gagangnya terlebih dahulu, lantas berkata, “Pergilah mencari kayu bakar, lalu hasilnya kamu jual di pasar, dan jangan menemui aku sampai dua pekan.”

Lelaki itu taat melaksanakan perintah Rasulullah. Setelah dua pekan berlalu ia menemui Rasulullah melaporkan hasil kerjanya. Lelaki itu menuturkan bahwa selama dua pekan ia berhasil mengumpulkan uang sepuluh dirham setelah sebagian dibelikan makanan dan pakaian. Mendengar penuturan lelaki Anshar itu, Rasulullah bersabda, “Pekerjaanmu ini lebih baik bagimu daripada kamu datang sebagai pengemis, yang akan membuat cacat di wajahmu kelak pada hari kiamat.”

Rasulullah saw memberikan pelajaran menarik tentang pentingnya bekerja. Dalam Islam bekerja bukan sekadar memenuhi kebutuhan perut, tapi juga untuk memelihara harga diri dan martabat kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi. Karenanya, bekerja dalam Islam menempati posisi yang teramat mulia. Islam sangat menghargai orang yang bekerja dengan tangannya sendiri. Rasulullah saw pernah ditanya, “Pekerjaan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Pekerjaan terbaik adalah usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan semua perjualbelian yang dianggap baik,” (HR Ahmad dan Baihaqi).

Sedemikian tingginya penghargaan itu sehingga orang yang bersungguh-sungguh bekerja disejajarkan dengan mujahid fi sabilillah. Kerja tak hanya menghasilkan nafkah materi, tapi juga pahala, bahkan maghfirah dari Allah SWT. Rasulullah saw bersabda, “Jika ada seseorang yang keluar dari rumah untuk bekerja guna mengusahakan kehidupan anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha di jalan Allah. Jika ia bekerja untuk dirinya sendiri agar tidak sampai meminta-minta pada orang lain, itu pun di jalan Allah. Tetapi jika ia bekerja untuk berpamer atau bermegah-megahan, maka itulah ‘di jalan setan’ atau karena mengikuti jalan setan,” (HR Thabrani).

Kerja juga berkait dengan martabat manusia. Seorang yang telah bekerja dan bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya akan bertambah martabat dan kemuliannya. Sebaliknya, orang yang tidak bekerja alias menganggur, selain kehilangan martabat dan harga diri di hadapan dirinya sendiri, juga di hadapan orang lain. Jatuhnya harkat dan harga diri akan menjerumuskan manusia pada perbuatan hina. Tindakan mengemis, merupakan kehinaan, baik di sisi manusia maupun di sisi Allah SWT. Orang yang meminta-minta kepada sesama manusia tidak saja hina di dunia, tapi juga akan dihinakan Allah kelak di akhirat.

Rasulullah saw bersabda, “Demi Allah, jika seseorang di antara kamu membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian dipikul ke pasar untuk dijual, dengan bekerja itu Allah mencukupi kebutuhanmu, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain,” (HR Bukhari dan Muslim).

Bekerja juga berkait dengan kesucian jiwa. Orang yang sibuk bekerja tidak akan ada waktu untuk bersantai-santai dan melakukan ghibah serta membincangkan orang lain. Ia akan menggunakan waktunya untuk meningkatkan kualitas kerja dan usaha.

Begitu pentingnya arti bekerja, sehingga Islam menetapkannya sebagai suatu kewajiban. Setiap Muslim yang berkemampuan wajib hukumnya bekerja sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

Abu Hanifah adalah seorang ulama besar yang sangat dihormati. Ilmunya luas dan muridnya banyak. Di tengah kesibukannya belajar dan mengajar, ia masih menyempatkan diri untuk bekerja sehingga tidak jelas apakah ia seorang pedagang yang ulama atau ulama yang pedagang. Baginya, berusaha itu suatu keharusan. Sedangkan berjuang, belajar dan mengajarkan ilmu itu juga kewajiban.

Tentang nilai usaha ini, Islam tidak hanya bicara dalam tataran teori, tapi juga memberikan contohnya. Rasulullah saw adalah seorang pekerja. Para sahabat yang mengelilingi beliau juga adalah para pekerja. Delapan sahabat Rasulullah saw yang dijamin masuk surga adalah para saudagar yang kaya.

Kenapa orang yang bekerja itu mendapatkan pahala di sisi Allah SWT? Jawabannya sederhana, karena bekerja dalam konsep Islam merupakan kewajiban atau fardhu. Dalam kaidah fiqh, orang yang menjalankan kewajiban akan mendapatkan pahala, sedangkan mereka yang meninggalkannya akan terkena sanksi dosa. Tentang kewajiban bekerja, Rasulullah bersabda, “Mencari rezeki yang halal itu wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa dan sebagainya),” (HR ath-Thabrani dan al-Baihaqi)

Karena bekerja merupakan kewajiban, maka tak heran jika Umar bin Khaththab pernah menghalau orang yang berada di masjid agar keluar untuk mencari nafkah. Umar tak suka melihat orang yang pada siang hari tetap asyik duduk di masjid, sementara sang mentari sudah terpancar bersinar.

sumber :
myqran.org

20 November, 2006

Tanggung Jawab Dakwah

TANGGUNG JAWAB DA'WAH
Secara harfiyah, da'wah berasal dari kata da'a - yad'u, da'watan yang artinya panggilan, seruan atau ajakan. Maksudnya adalah mengajak dan menyeru manusia agar mengakui Allah Swt sebagai Tuhan yang benar lalu menjalani kehidupan sesuai dengan ketentuan-ketentuan-Nya yang tertuang dalam Al-Qur'an dan sunnah. Dengan demikian, target da'wah adalah mewujudkan sumber daya manusia yang bertaqwa kepada Allah Swt dalam arti yang seluas-luasnya.
Dalam kehidupan masyarakat, khususnya kehidupan umat Islam, da'wah memiliki kedudukan yang sangat penting. Dengan da'wah, bisa disampaikan dan dijelaskan ajaran Islam kepada masyarakat sehingga mereka menjadi tahu mana yang haq dan mana yang bathil, bahkan da'wah yang baik bukan hanya membuat masyarakat memahami yang haq dan bathil itu, tapi juga memiliki keberpihakan kepada segala bentuk yang haq dengan segala konsekuensinya dan membenci yang bathil sehingga selalu berusaha menghancurkan kebathilan. Manakala hal ini sudah terwujud, maka kehidupan yang hasanah (baik) di dunia dan akhirat akan dapat dicapai.

KEWAJIBAN DA'WAH
Karena da'wah memiliki kedudukan yang sangat penting, maka secara hukum da'wah menjadi kewajiban yang harus diemban oleh setiap muslim, Ada banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai rujukan untuk mendukung pernyataan wajibnya melaksanakan tugas da'wah, baik dari Al-Qur'an maupun hadits Nabi. Diantaranya adalah dalil berikut ini:
Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik (QS 16:125).
Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS 3:104).
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah (QS 3:110).
Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat (HR. Ahmad, Bukhari dan Tirmidzi).
KEUTAMAAN DA'WAH
Manakala da'wah kita tunaikan dengan sebaik-baiknya, banyak keutamaan yang akan kita peroleh, antara lain pertama, memperoleh derajat yang tinggi di sisi Allah dengan dikelompokkan ke dalam umat yang terbaik (khairu ummah) sebagaimana yang disebutkan pada QS 3:110 di atas.
Kedua, memperoleh pahala yang amat besar, hal ini karena dalam satu hadits Rasulullah Saw menyatakan:
Barangsiapa yang menunjukkan pada suatu kebaikan, maka baginya seperti pahala orang yang mengerjakannya (QS Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Tirmudzi).
Ketiga, da'wah yang baik juga berarti telah dapat membuktikan keimanan pribadi seorang da'i yang benar, karena da'wah yang baik adalah da'wah yang disampaikan setelah diamalkannya, bukan kontradiksi antara pesan da'wah dengan prilaku sang da'i, Allah berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (QS 61:2-3).
Keempat, memperoleh keberuntungan, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat sebagaimana sudah disebutkan pada QS 3:104.
Kelima, terhindar dari laknat Allah, hal ini dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya yang artinya: Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa Putera Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu (QS 5:78-79).
Keenam, memperoleh rahmat Allah, hal ini difirmankan Allah yang artinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mncegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS 9:71).
TAHAPAN DA'WAH.
Dalam menunaikan tugas da'wah, ada tahapan-tahapan yang harus diperhatikan dan ditempuh. Syeikh Mustafa Masyhur dalam bukunya Tariq Ad Da'wah menyebutkan tiga tahapan (marhalah) da'wah yang harus dilalui. Pertama, ta'rif (penerangan/propaganda), tahap ini adalah memperkenalkan, menggambarkan ide dan menyampaikannya kepada khalayak rapai pada setiap lapisan masyarakat. Kedua, takwin (pembinaan/pembentukan), yaitu tahap pembentukan, pemilihan pendukung da'wah, menyiapkan mujahid da'wah serta mendidiknya. Ketiga, tanfidz (pelaksanaan), yaitu tahap beramal, berusaha dan bergerak guna mencapai tujuan.
Dengan demikian, da'wah merupakan perjalanan yang panjang dan berliku. Karena itu, para aktifis da'wah harus menyiapkan diri semaksimal mungkin agar bisa menunaikan tugas ini dengan baik dan siap menghadapi segala tantangannya.
PENYULUH KEBANGKITAN.
Dalam kondisi masyarakat muslim yang sedang "tidur", lesu, lemah dan mengalami keterbelakangan, da'wah amat diperlukan sebagai penyuluh guna membangkitkan umat dan meraih kembali kejayaannya yang telah hilang. Oleh karena itu, manakala da'wah bisa kita tunaikan sebaik-baiknya dengan dukungan sumber daya manusia yang andal, dana yang cukup, sarana yang memadai, metode yang tepat dan kemasan yang menarik, maka masyarakat muslim yang baru dapat kita wujudkan, insya Allah sebagai umat yang terbaik. Dengan kata lain, da'wah merupakan upaya merekonstruksi masyarakat yang masih mengandung unsur kejahiliyahan menjadi masyarakat yang islami, ini berarti da'wah merupakan upaya melakukan islamisasi dalam seluruh sektor kehidupan manusia.
Untuk itu keterlibatan setiap muslim di dalam da'wah menjadi suatu keharusan, sesuai dengan potensi yang dimilikinya masing-masing. Terbentuknya pribadi yang islami, keluarga yang islami dan masyarakat yang islami merupakan target yang ingin dicapai dalam da'wah. Target ini memerlukan dukungan setiap muslim, apalagi da'wah itu bukanlah hanya berbentuk ceramah dan khutbah. Tegasnya, apapun potensi dan kemampuan yang kita miliki, semua itu dapat kita gunakan untuk kepentingan da'wah. Allahu Akbar !!!.....

myquran

15 November, 2006

Masih ada Jalan Keluar

disusun oleh :
Syahrizal Pulungan

Saudaraku, kesulitan yang sering dialami seseorang di dalam mengarungi kehidupan dunia ini tak lepas dari berbagai permasalahan yang awalnya ditimbulkan oleh perbuatan diri sendiri.
Dengan tidak adanya perhitungan sebelum melakukan suatu tindakan yang ia lakukan…
Allah Subhanahuwata ala berfirman :

51. Demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-Nya, ( Al anfaal ayat 51 )

Sesaat itu pula bagi mereka yang gelap mata hatinya melupakan akan keberadaan Allah subhanahuwata ‘ala dengan mendatangi orang orang yang lari dari ketentuan Ajaran Islam yang sebenarnya untuk mencari jalan keluar. Allah Subhanahuwata ala berfirman :

40. Dan jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwasanya Allah Pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. ( al anfaal ayat 40 )

Kepenatan kekalutan kesusahan yang ditimbulkan. pada umumnya diakibatkan dari permasalahan ekonomi yang identik dengan berbagai alasan yang salah satunya masalah harta dan anak.
Saudaraku mari kita bercermin diri terhadap pedoman kita sebagai seorang muslim yaitu Alqur’an dan sunnah..

Allah Subhanahuwata ‘ala berfirman :

Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar ( al anfaal ayat 28 )

Saudaraku didalam ayat tersebut sangatlah jelas sekali harta dan anak merupakan cobaan bagi kita di dalam menggapai ridhonya Ilahi

Allah Subhanahu wata ’ala berfirman:

“Karena itu, ingatlah kamu kepadaKu, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu (dengan memberikan rahmat dan peng-ampunan). Dan bersyukurlah kepada-Ku, serta jangan ingkar (pada nikmat-Ku)”. (Al-Baqarah, 2:152).

HR. Al-Bukhari dalam Fathul Bari 11/208. Imam Muslim meriwayatkan dengan lafazh sebagai berikut :

Perumpamaan orang yang ingat akan Rabbnya dengan orang yang tidak ingat Rabbnya laksana orang yang hidup dengan orang yang mati.


“Maukah kamu, aku tunjukkan perbu-atanmu yang terbaik, paling suci di sisi Rajamu (Allah), dan paling mengangkat derajatmu; lebih baik bagimu dari infaq emas atau perak, dan lebih baik bagimu daripada bertemu dengan musuhmu, lantas kamu memenggal lehernya atau mereka memenggal lehermu?” Para sahabat yang hadir berkata: “Mau (wa-hai Rasulullah)!” Beliau bersabda: “Dzi-kir kepada Allah Yang Maha Tinggi”.

Dengan berzikir kepada Allah Subhanahuwata’ala Insya Allah apapun yang kita rasakan saat ini merupakan nikmat dari Allah.Subhanahu wata ‘ala
Ada sebahagian yang mengalami kesulitan berkata : mana mungkin bisa dikatakan nikmat kalau belum tercapai tujuan.Pernahkah kita juga bertanya pada diri kita sudah maksimalkah usaha kita untuk mencapai tujuan yang kita lakukan ? bila jawabannya sudah…apakah kita mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya bila tujuan kita tercapai ? Allah Subhanahu wata ‘ala lebih mengetahui apa yang akan terjadi bila tujuan kita terlaksana…baik buruknya Allah Subhanahu wata’ala yang lebih mengetahui

255. Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi[161] Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. ( albaqarah 255 )
Allah subhanahuwata ‘ala Maha pengasih lagi Maha Penyayang terhadap hambanya, sekali lagi kita sampaikan Allah subhanahu wata ‘ala sekali kali tidak menganiaya hambanya ( al anfaal 51 )

Saudaraku salah satu nikmat yang diberikan kepada Allah Subhanahuwata’ala kepada kita.. kita diciptakan Allah dengan sebaik baik bentuk…mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki tidak ada satupun yang tidak bisa kita gunakan… ada orang yang berkata apakah disebut nikmat kalau tangan saya cuman satu…..kita jangan keliru di dalam mengambil pandangan…masih ada tangan yang satu lagi kan yang bisa kita gunakan….
baiklah…bagaimana kalau semuanya tidak sempurna…????
Subhanallah ajaran Islam sangat sempurna …saudaraku tidak dibiarkan oleh saudara yang lain…bagi mereka yang beriman kepada Allah Subhanahuwata’ala akan sadar sepenuhnya saudaraku merupakan tanggung jawabnya..
ada infaq,shadaqoh, zakat sebagai tuangan amalan bagi mereka yang sempurna kehidupannya.

Dengan selalu ingat kepada Allah Subhanahuwata’ala hati kita akan lapang
dengan kelapangan hati akan mendatangkan kejernihan berfikir dengan pedoman alqur’an dan sunnah
Kejernihan Berpikir dengan pedoman alqur’an dan sunnah akan menimbulkan efek yang sangat baik karena bila mengambil satu tindakan ia akan menoleh kebelakang dan melihat kedepan..

Berpikir dengan pedoman alqur’an dan sunnah perbuatannya selalu mengarah kepada pertimbangan yang selalu ingat akan keberadaan Allah subhanahuwata’ala dimanapun ia berada berlandas kepada Alqur’an dan sunnah. dan sadar sepenuhnya merupakan hamba Allah Ia tidak akan merasa hidup sendiri dan merasakan dirinya sebagai seorang Muslim yang didalamnya ada kekuatan kebersamaan
Seorang muslim yang Berpikir jernih dengan pedoman alqur’an dan sunnah sadar akan firman allah Subhanahuwata’ala dalam surat almaa’uun ayat 1 samapai dengan 7

1.Tahukah kamu orang yang mendustakan agama
2. Itulah orang yang menghardik anak yatim,
3. dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin
4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat
5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya
6. orang-orang yang berbuat riya
7. dan enggan (menolong dengan) barang berguna * ( *Sebagian mufassirin mengartikan: enggan
membayar zakat.)

ayat ini merupakan salah satu pundamental kebersamaan muslim.

Berpikir jernih dengan pedoman alqur’an dan sunnah ia akan sadar sepenuhnya untuk tetap selalu berusaha dan bekerja semaksimal mungkin dan sabar terhadap apa yang ia dapatkan dengan hasil kerjanya Allah Subhanahuwata ‘ala berfirman :

155. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
( surat Al baqarah ayat 155 )


45. Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', ( surat Al baqarah ayat 45 )

Berpikir dengan landasan alqur’an dan sunnah akan menghasilkan jalan keluar dari segala permasalahan hidup baik dunia maupun akhirat.
Saudaraku, jangan mudah putus asa segala sesuatu masih ada jalan keluar
Allah subhanahuwata’ala berfirman :

5. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan ( Alam Nasyrah ayat :5)

13 November, 2006

Indahnya Nasehat

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

"Saudaraku, sesungguhnya setiap insan rugi, tambah hari tambah rugi, tambah tua tambah rugi, tambah umur tambah rugi. Kecuali orang yang tiap hari berjuang sekuat tenaga agar makin kokoh imannya, makin mantap keyakinanya, karena jika hidup tanpa diiringi kekokohan iman, amal apapun tidak akan betul niatnya."


Sebagaimana tersirat dalam (QS. Al-Ashr: 1 – 3) yang berbunyi: "Wal’ashr Innal insaana lafi khusr Illallladzina aamanu wa’amilusholihaati watawaa shoubil haqqi watawa shoubishobr." Terjemahannya: "Demi massa, sesungguhnya manusia itu benar-benar ada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan nasihat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasehati supaya menetapi kesabaran."

Dia punya harta namun tidak memiliki iman. Bisa jadi harta kekayaannya itu dapat memperbudak dirinya. Jika dia punya kedudukan tapi tidak disertai dengan iman, maka kedudukannya dapat juga menjatuhkan dirinya. Begitupun dengan penampilan yang rupawan bila tidak dibarengi dengan iman dapat pula menjerumuskan dirinya.

Orang yang beruntung adalah orang yang setiap hari, setiap waktu sekuat tenaga menambah amal kebaikannya. Ciri amal shaleh itu ada dua yaitu ; pertama dilandasi niat yang benar dan lurus. Kedua amalnya sendiri harus benar. Wallahu a'lam bish showab

sumber :
cybermq.com


11 November, 2006

Manisnya Iman

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ?anhu, dia berkata, " Rasulullah shallallahu ?alaihi wasallam bersabda, artinya,

"Ada tiga hal, yang jika tiga hal itu ada pada seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman. (Yaitu); Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya; Mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah; Benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan darinya, sebagaimana bencinya jika dicampakkan ke dalam api." (Muttafaq ?alaih)

Rawi Hadits

Dia seorang sahabat Nabi yang mulia, Abu Hamzah Anas bin Malik bin an-Nadlar an-Najjari al-Khazraji radhiyallahu ?anhu. Seorang imam, ahli baca al-Qur'an, mufti, muhaddits, riwayatul Islam dan sekaligus pelayan Rasulullah shallallahu ?alaihi wasallam. Al-Imam adz-Dzahabi mengatakan, "Dia mendampingi Rasulullah shallallahu ?alaihi wasallam dengan begitu sempurna, dan senantiasa menyertai Rasul semenjak beliau hijrah ke Madinah. Berkali-kali dia mengikuti perang beserta Nabi shallallahu ?alaihi wasallam dan merupakan salah seorang yang ikut berbai'at di bawah pohon (bai?atul ?aqabah)."

Anas radhiyallahu ?anhu berkata, "Aku melayani Rasulullah shallallahu ?alaihi wasallam selama sepuluh tahun, beliau tidak pernah memukulku, tidak pernah mencelaku dan tidak pernah bermuka masam di hadapanku." Rasulullah mendoakan Anas agar dikaruniai harta dan anak yang banyak dan doa beliau dikabulkan Allah. Disebutkan bahwa putra-putri Anas pada masa menjelang wafat mencapai lebih dari seratus orang. Beliau meninggal pada tahun 91 atau 92 hijriyah. Beliau adalah sahabat Nabi shallallahu ?alaihi wasallam yang paling akhir meninggal dunia, dan ketika beliau wafat, maka bersedihlah semua orang sehingga dikatakan, "Separuh ilmu telah pergi".

Makna Hadits

-Tiga hal, maksudnya adalah tiga ciri atau sifat.

-Jika tiga hal itu ada pada seseorang maka dia akan merasakan manisnya iman. Maksud ada pada dirinya yaitu secara utuh keseluruhannya. Maka artinya adalah ada tiga sifat yang jika tiga sifat itu ada pada seseorang maka orang tersebut akan merasakan manisnya iman. Dan yang dimaksud dengan manisnya iman adalah rasa nikmat ketika melakukan ketaatan kepada Allah, ketenangan hati dan lapangnya dada.

Al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, "Syaikh Abu Muhammad bin Abu Hamzah berkata, "Pengungkapan dengan lafal "manis" karena Allah subhanahu wata?ala mengumpamakan iman sebagaimana pohon, seperti di dalam firman-Nya, surat Ibrahim 24, "Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik."

Kalimat thayyibah (baik) adalah kalimatul ikhlash, kalimat tauhid, sedangkan pohon merupakan pokok dari keimanan, cabang-cabangnya adalah menjalankan perintah dan menjauhi larangan, daun-daunnya adalah segala amal kebaikan yang harus diperhatikan seorang mukmin, dan buahnya adalah segala macam bentuk ketaatan. Manisnya buah akan didapat ketika buah sudah matang, dan puncak dari rasa manis itu adalah bila buah telah masak total, maka ketika itulah akan terasa manisnya buah tersebut.

-Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari pada selain keduanya, artinya mencintai Allah subhanahu wata?ala dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada orang lain seperti orang tua, anak, diri sendiri dan semua orang.

-Mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. Maksudnya adalah hendaknya hubungan antara seorang muslim dengan saudaranya -muslim yang lain- dilandasi dengan iman kepada Allah subhanahu wata?ala dan amal shalih. Bertambahnya kecintaan bukan karena mendapatkan keuntungan materi dan berkurangnya cinta bukan karena tiadanya manfaat dunia yang diperoleh, namun ukurannya adalah iman dan amal shalih.

-Benci jika kembali kepada kekufuran, sebagaimana bencinya jika dilemparkan ke dalam api. Di dalam riwayat lain disebutkan, "Bahkan dilemparkan ke dalam api lebih dia sukai daripada kembali kepada kekufuran, setelah Allah menyelamatkan dia dari kekufuran itu." Ini maknanya lebih mendalam daripada riwayat di atas, karena riwayat di atas menunjukkan kesamaan tingkat di dalam membenci kekufuran dan membenci jika dibakar di dalam api.

Beberapa Faidah dan Hukum



Iman kepada Allah subhanahu wata?ala memiliki rasa manis yang tidak mungkin dinikmati, kecuali oleh orang-orang yang beriman dengan sebenarnya, yang disifati dengan ciri-ciri yang mengindikasikan sebagai ahlinya. Oleh karena itu, tidak semua orang yang menyatakan dirinya mukmin otomatis dapat merasakan manisnya iman itu.



Cinta Allah, kemudian disusul cinta Rasul-Nya shallallahu ?alaihi wasallam merupakan ciri terpenting yang harus dimiliki oleh siapa saja yang ingin merasakan lezatnya iman. Cinta Allah dan cinta rasul-Nya tidak boleh diungguli oleh cinta kepada siapa pun selain keduanya. Bahkan cinta Allah dan Rasul-Nya merupakan parameter dan tolok ukur bagi kecintaan terhadap diri sendiri, orang tua, anak, dan seluruh manusia.

Suatu ketika Umarradhiyallahu ?anhuberkata kepada Nabi shallallahu ?alaihi wasallam, "Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari pada segala sesuatu apa pun, kecuali diriku." Maka Nabi shallallahu ?alaihi wasallam bersabda, "Tidak demikian, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sehingga aku lebih engkau cintai dari pada dirimu sendiri." Maka Umar menjawab, "Demi Allah, sesungguhnya engkau sekarang lebih aku cintai dari pada diriku sendiri." Maka Nabi mejawab, "Sekarang hai Umar," (telah sempurna imanmu). Anas radhiyallahu ?anhu juga meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ?alaihi wasallam, beliau bersabda, artinya,
"Tidak beriman salah seorang di antara kalian, sehingga aku lebih dia cintai dari pada orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia." Dan konsekuensi dari cinta ini adalah memenuhi apa yang diperintahkan Allah dan Rasul serta menjauhi apa yang dilarang Allah dan Rasul dengan penuh rasa rela dan ketundukan yang utuh, sebagaimana firman Allah subhanahu wata?ala, artinya,
?Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.? (QS. 3:31)



Di antara sebab-sebab yang dapat mengantarkan seseorang memperoleh kecintaan Allah -setelah melakukan kewajiban- adalah sebagaimana yang disampaikan al-Imam Ibnul Qayyim, yaitu:


Membaca al-Qur'an dengan merenungkan dan memahami maknanya.



Mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata?ala dengan melakukan amalan sunnah.



Terus menerus berdzikir kepada Allah dalam segala kondisi, baik dengan hati, lisan atau perbuatan.



Mendahulukan apa yang dicintai Allah dibanding yang dicintai diri sendiri.



Berteman dengan orang-orang yang jujur mencintai Allah dan sesama muslim.



Menjauhi segala perkara yang dapat menghalangi antara hati dengan Allah.




Mencintai Nabi shallallahu ?alaihi wasallam adalah merupakan tuntutan dari kecintaan terhadap Allah subhanahu wata?ala. Ia berada di atas kecintaan terhadap seluruh manusia. Di antara ciri-cirinya adalah:



Beriman bahwa beliau shallallahu ?alaihi wasallam adalah utusan Allah, yang diutus kepada seluruh umat manusia, sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira, sebagai penyeru ke jalan Allah dengan membawa cahaya yang terang benderang.



Bercita-cita untuk bertemu dengan beliau dan khawatir jika tidak dapat bertemu beliau.



Menjalankan perintah-perintah beliau dan menjauhi larangan beliau, karena orang yang mencintai seseorang, maka akan menaatinya. Jangan sampai tertipu dengan klaim dusta mencintai Rasulullah shallallahu ?alaihi wasallamnamun tidak menjalankan perintahnya, bahkan menerjang larangannya.



Menolong sunnahnya, mengamalkan, menyebarkan, membela dan memperjuangkannya.



Banyak bershalawat dan bersalam kepada Rasulullah shallallahu ?alaihi wasallam.



Berakhlaq dengan akhlaq beliau dan beradab dengan adab-adab beliau.



Mencintai sahabat-sahabat beliau dan membela mereka.



Mengkaji perjalanan hidup dan sirah beliau serta mengetahui keadaan dan berita-berita yang menyangkut beliau.




Selayaknya jalinan seorang muslim dengan muslim yang lain dibangun di atas landasan cinta kepada Allah subhanahu wata?ala. Karena jenis cinta seperti ini memiliki keutamaan yang amat besar, dan mendatangkan pahala yang banyak. Imam al-Bukhari dan imam Muslim meriwayatkan hadits Nabi shallallahu ?alaihi wasallam tentang tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Salah satu di antaranya adalah, "Dua orang yang saling menyintai karena Allah, berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya."



Saling mencintai karena Allah mempunyai hak-hak yang harus ditunaikan, di antaranya:



Membantu memenuhi kebutuhan saudaranya dan mau melakukan itu, sebagaimana di dalam hadits, "Sebaik-baik orang adalah yang paling memberi manfaat kepada orang lain."



Tidak membicarakan aib, meminta maaf ketika melakukan kesalahan, sebagaimana diri kita juga senang jika aib kita tidak dibicarakan, maka mereka pun demikian.



Tidak membenci, tidak iri dan dengki terhadap nikmat yang diberikan Allah kepada saudara kita.



Mendoakan saudara kita -tanpa sepengetahuannya- baik ketika dia masih hidup atau setelah meninggal dunia. Karena doa yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakan adalah mustajab, begitu pula bagi yang berdoa.



Bersegera mengucapkan salam jika bertemu, bertanya tentang kabar dan keadaanya, tidak bersikap sombong dan merasa tinggi.




Kekufuran adalah hal yang dibenci Allah. Maka seorang mukmin wajib membencinya sebagaimana benci jika dilemparkan ke dalam api, bahkan lebih benci lagi. Orang kafir juga dibenci oleh Allah, maka orang mukmin juga harus membencinya disebabkan oleh kekufurannya yang akan menggiring masuk neraka. Atas dasar ini maka bersikap loyal (berwala') kepada orang kafir adalah merupakan sebab dari kemurkaan Allah subhanahu wata?ala dan kemarahan-Nya. Di antara bentuk-bentuk sikap loyal kepada orang kafir adalah mencintai mereka, menolong mereka dalam rangka memerangi orang mukmin, bermudahanah (berbasa-basi, tidak mengingkari kesesatan dan kekeliruan mereka sehingga terkesan membenarkan-red), bersahabat atau mengambil mereka sebagai teman akrab dan mengangkat mereka menjadi orang kepercayaan serta orang dekat (bithanah). Padahal Allah subhanahu wata?ala telah berfirman, artinya,
?Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).? (QS. 3:28)

Diambil dan diterjemahkan oleh Abu Ahmad Taqiyuddin dari makalah Syaikh Nashir al-Syimali, dengan judul ?halawatul iman?

sumber : al sofwah


09 November, 2006

Mawaddah, Mahabbah dan Rahmah

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ruum: 21)

Perasaan cinta kepada pasangan hidup kita terkadang mengalami gejolak sebagaimana pasang surut yang dialami sebuah kehidupan rumah tangga. Tinggal bagaimana kita menjaga tumbuhan cinta itu agar tidak layu terlebih mati.

Satu dari sekian tanda kebesaran-Nya yang agung, Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan anak Adam 'alaihissalam memiliki pasangan hidup dari jenis mereka sendiri, sebagaimana kenikmatan yang dianugerahkan kepada bapak mereka Adam 'alaihissalam. Di saat awal-awal menghuni surga, bersamaan dengan limpahan kenikmatan hidup yang diberikan kepadanya, Adam 'alaihissalam hidup sendiri tanpa teman dari jenisnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala pun melengkapi kebahagiaan Adam dengan menciptakan Hawa sebagai teman hidupnya, yang akan menyertai hari-harinya di surga nan indah.
Hingga akhirnya dengan ketetapan takdir yang penuh hikmah, keduanya diturunkan ke bumi untuk memakmurkan negeri yang kosong dari jenis manusia (karena merekalah manusia pertama yang menghuni bumi). Keduanya sempat berpisah selama beberapa lama karena diturunkan pada tempat yang berbeda di bumi (Al-Bidayah wan Nihayah, 1/81). Mereka didera derita dan sepi sampai Allah Subhanahu wa Ta'ala mempertemukan mereka kembali.
Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta'ala menutup “sepi” hidup seorang lelaki keturunan Adam dengan memberi istri-istri sebagai pasangan hidupnya. Dia Yang Maha Agung berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ruum: 21)
Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan seorang istri dari keturunan anak manusia, yang asalnya dari jenis laki-laki itu sendiri, agar para suami merasa tenang dan memiliki kecenderungan terhadap pasangan mereka. Karena, pasangan yang berasal dari satu jenis termasuk faktor yang menumbuhkan adanya keteraturan dan saling mengenal, sebagaimana perbedaan merupakan penyebab perpisahan dan saling menjauh. (Ruhul Ma’ani, 11/265)
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا

“Dialah yang menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan Dia jadikan dari jiwa yang satu itu pasangannya agar ia merasa tenang kepadanya…” (Al-A’raf: 189)
Kata Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu: “Yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah Hawa. Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakannya dari Adam, dari tulang rusuk kirinya yang paling pendek. Seandainya Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan anak Adam semuanya lelaki sedangkan wanita diciptakan dari jenis lain, bisa dari jenis jin atau hewan, niscaya tidak akan tercapai kesatuan hati di antara mereka dengan pasangannya. Bahkan sebaliknya, akan saling menjauh. Namun termasuk kesempurnaan rahmat-Nya kepada anak Adam, Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan istri-istri atau pasangan hidup mereka dari jenis mereka sendiri, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala tumbuhkan mawaddah yaitu cinta dan rahmah yakni kasih sayang. Karena seorang lelaki atau suami, ia akan senantiasa menjaga istrinya agar tetap dalam ikatan pernikahan dengannya. Bisa karena ia mencintai istrinya tersebut, karena kasihan kepada istrinya yang telah melahirkan anak untuknya, atau karena si istri membutuhkannya dari sisi kebutuhan belanja (biaya hidupnya), atau karena kedekatan di antara keduanya, dan sebagainya.” (Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 1052)
Mawaddah dan rahmah ini muncul karena di dalam pernikahan ada faktor-faktor yang bisa menumbuhkan dua perasaan tersebut. Dengan adanya seorang istri, suami dapat merasakan kesenangan dan kenikmatan, serta mendapatkan manfaat dengan adanya anak dan mendidik mereka. Di samping itu, ia merasakan ketenangan, kedekatan dan kecenderungan kepada istrinya. Sehingga secara umum tidak didapatkan mawaddah dan rahmah di antara sesama manusia sebagaimana mawaddah dan rahmah yang ada di antara suami istri. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 639)
Allah Subhanahu wa Ta'ala tumbuhkan mawaddah dan rahmah tersebut setelah pernikahan dua insan. Padahal mungkin sebelumnya pasangan itu tidak saling mengenal dan tidak ada hubungan yang mungkin menyebabkan adanya kasih sayang, baik berupa hubungan kekerabatan ataupun hubungan rahim. Al-Hasan Al-Bashri, Mujahid, dan ‘Ikrimah rahimuhumullah berkata: “Mawaddah adalah ibarat/kiasan dari nikah (jima‘) sedangkan rahmah adalah ibarat/kiasan dari anak.” Adapula yang berpendapat, mawaddah adalah cinta seorang suami kepada istrinya, sedangkan rahmah adalah kasih sayang suami kepada istrinya agar istrinya tidak ditimpa kejelekan. (Ruhul Ma’ani 11/265, Fathul Qadir 4/263)

Cinta Suami Istri
adalah Anugerah Ilahi
Rasa cinta yang tumbuh di antara suami istri adalah anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada keduanya, dan ini merupakan cinta yang sifatnya tabiat. Tidaklah tercela orang yang senantiasa memiliki rasa cinta asmara kepada pasangan hidupnya yang sah. Bahkan hal itu merupakan kesempurnaan yang semestinya disyukuri. Namun tentunya selama tidak melalaikan dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلاَ أَوْلاَدُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ. وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta kalian dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari zikir/mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Al-Munafiqun: 9)

رِجَالٌ لاَ تُلْهِِيْهِمْ تِجَارَةٌ وَلاَ بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللهِ

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingat Allah… “ (An-Nur: 37) (Ad-Da`u wad Dawa`, Ibnul Qayyim, hal. 293, 363)
Juga, cinta yang merupakan tabiat manusia ini tidaklah tercela selama tidak menyibukkan hati seseorang dari kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai Dzat yang sepantasnya mendapat kecintaan tertinggi. Karena Dia Yang Maha Agung mengancam dalam firman-Nya:

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيْلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِيْنَ

“Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak kalian, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (At-Taubah: 24)

Kecintaan kepada Istri
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, makhluk Allah Subhanahu wa Ta'ala yang paling mulia dan sosok yang paling sempurna, dianugerahi rasa cinta kepada para istrinya. Beliau nyatakan dalam sabdanya:

حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُنْيَا النِّسَاءُ وَ الطِّيْبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِيْ فِي الصَّلاَةِ

“Dicintakan kepadaku dari dunia kalian1, para wanita (istri) dan minyak wangi, dan dijadikan penyejuk mataku di dalam shalat.”2
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya oleh shahabatnya yang mulia, ‘Amr ibnul ‘Ash radhiallahu 'anhu:

أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: عَائِشَةُ. فَقُلْتُ: مِنَ الرِّجَالِ؟ قَالَ : أَبُوْهَا

“Siapakah manusia yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab: “Aisyah.”
Aku (‘Amr ibnul Ash) berkata: “Dari kalangan lelaki?”
“Ayahnya (Abu Bakar),” jawab beliau.3
Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata membela dan memuji Khadijah bintu Khuwailid radhiallahu 'anha ketika ‘Aisyah radhiallahu 'anha cemburu kepadanya:

إِنِّي قَدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا

“Sesungguhnya aku diberi rizki yaitu mencintainya.” 4
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun pernah ingin menjadi perantara dan penolong seorang suami yang sangat mencintai istrinya untuk tetap mempertahankan istri yang dicintainya dalam ikatan pernikahan dengannya. Namun si wanita enggan dan tetap memilih untuk berpisah, sebagaimana kisah Mughits dan Barirah. Barirah5 adalah seorang sahaya milik salah seorang dari Bani Hilal. Sedangkan suaminya Mughits adalah seorang budak berkulit hitam milik Bani Al-Mughirah. Barirah pada akhirnya merdeka, sementara suaminya masih berstatus budak. Ia pun memilih berpisah dengan suaminya diiringi kesedihan Mughits atas perpisahan itu. Hingga terlihat Mughits berjalan di belakang Barirah sembari berlinangan air mata hingga membasahi jenggotnya, memohon kerelaan Barirah untuk tetap hidup bersamanya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada paman beliau, Al-’Abbas radhiallahu 'anhu:

يَا عَبَّاسُ, أَلاَ تَعْجَبُ مِنْ حُبِّ مُغِيْثٍ بَرِيْرَةَ، وَمِنْ بُغْضِ بَرِيْرَةَ مُغِيْثًا؟ فَقاَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ رَاجَعْتِهِ. قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ تَأْمُرُنِي؟ قَالَ: إِنَّمَا أَنَا أَشْفَعُ. قَالَتْ: لاَ حَاجَةَ لِي فِيْهِ

“Wahai paman, tidakkah engkau merasa takjub dengan rasa cinta Mughits pada Barirah dan rasa benci Barirah terhadap Mughits?”
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Barirah: “Seandainya engkau kembali kepada Mughits.” Barirah bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintahkan aku?”
“Tidak,” kata Rasulullah, “Akan tetapi aku hanya ingin menolongnya.”
“Aku tidak membutuhkannya,” jawab Barirah.6

Tiga Macam Cinta Menurut
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu
Perlu diketahui oleh sepasang suami istri, menurut Al-Imam Al-’Allamah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakar yang lebih dikenal dengan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu,,, ada tiga macam cinta dari seorang insan kepada insan lainnya:
Pertama: Cinta asmara yang merupakan amal ketaatan. Yaitu cinta seorang suami kepada istri atau budak wanita yang dimilikinya. Ini adalah cinta yang bermanfaat. Karena akan mengantarkan kepada tujuan yang disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam pernikahan, akan menahan pandangan dari yang haram dan mencegah jiwa/hati dari melihat kepada selain istrinya. Karena itulah, cinta seperti ini dipuji di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan di sisi manusia.
Kedua: Cinta asmara yang dibenci Allah Subhanahu wa Ta'ala dan akan menjauhkan dari rahmat-Nya. Bahkan cinta ini paling berbahaya bagi agama dan dunia seorang hamba. Yaitu cinta kepada sesama jenis, seorang lelaki mencintai lelaki lain (homo) atau seorang wanita mencintai sesama wanita (lesbian). Tidak ada yang ditimpa bala dengan penyakit ini kecuali orang yang dijatuhkan dari pandangan Allah Subhanahu wa Ta'ala, hingga ia terusir dari pintu-Nya dan jauh hatinya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Penyakit ini merupakan penghalang terbesar yang memutuskan seorang hamba dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Cinta yang merupakan musibah ini merupakan tabiat kaum nabi Luth 'alaihissalam hingga mereka lebih cenderung kepada sesama jenis daripada pasangan hidup yang Allah Subhanahu wa Ta'ala tetapkan untuk mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan:

لَعَمْرُكَ إِنَّهُمْ لَفِي سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُوْنَ

“Demi umurmu (ya Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan.” (Al-Hijr: 72)
Obat dari penyakit ini adalah minta tolong kepada Dzat Yang Maha membolak-balikkan hati, berlindung kepada-Nya dengan sebenar-benarnya, menyibukkan diri dengan berdzikir/mengingat-Nya, mengganti rasa itu dengan cinta kepada-Nya dan mendekati-Nya, memikirkan pedihnya akibat yang diterima karena cinta petaka itu dan hilangnya kelezatan karena cinta itu. Bila seseorang membiarkan jiwanya tenggelam dalam cinta ini, maka silahkan ia bertakbir seperti takbir dalam shalat jenazah7. Dan hendaklah ia mengetahui bahwa musibah dan petaka telah menyelimuti dan menyelubunginya.
Ketiga: Cinta yang mubah yang datang tanpa dapat dikuasai. Seperti ketika seorang lelaki diceritakan tentang sosok wanita yang jelita lalu tumbuh rasa suka di hatinya. Atau ia melihat wanita cantik secara tidak sengaja hingga hatinya terpikat. Namun rasa suka/ cinta itu tidak mengantarnya untuk berbuat maksiat. Datangnya begitu saja tanpa disengaja, sehingga ia tidak diberi hukuman karena perasaannya itu. Tindakan yang paling bermanfaat untuk dilakukan adalah menolak perasaan itu dan menyibukkan diri dengan perkara yang lebih bermanfaat. Ia wajib menyembunyikan perasaan tersebut, menjaga kehormatan dirinya (menjaga ‘iffah) dan bersabar. Bila ia berbuat demikian, Allah Subhanahu wa Ta'ala akan memberinya pahala dan menggantinya dengan perkara yang lebih baik karena ia bersabar karena Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menjaga ‘iffah-nya. Juga karena ia meninggalkan untuk menaati hawa nafsunya dengan lebih mengutamakan keridlaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan ganjaran yang ada di sisi-Nya. (Ad-Da`u wad Dawa`, hal. 370-371)
Bila cinta kepada pasangan hidup, kepada suami atau kepada istri, merupakan perkara kebaikan, maka apa kiranya yang mencegah seorang suami atau seorang istri untuk mencintai, atau paling tidak belajar mencintai teman hidupnya?
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

1 Tiga perkara ini (wanita, minyak wangi dan shalat) dinyatakan termasuk dari dunia. Maknanya adalah: ketiganya ada di dunia. Kesimpulannya, beliau menyatakan bahwa dicintakan kepadaku di alam ini tiga perkara, dua yang awal (wanita dan minyak wangi) termasuk perkara tabiat duniawi, sedangkan yang ketiga (shalat) termasuk perkara diniyyah (agama). (Catatan kaki Misykatul Mashabih 4/1957, yang diringkas dari Al-Lam’aat, Abdul Haq Ad-Dahlawi)
2 HR. Ahmad 3/128, 199, 285, An-Nasa`i no. 3939 kitab ‘Isyratun Nisa’ bab Hubbun Nisa`. Dihasankan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain (1/82)
3 HR. Al-Bukhari no. 3662, kitab Fadha`il Ashabun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bab Qaulin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Lau Kuntu Muttakhidzan Khalilan” dan Muslim no. 6127 kitab Fadha`ilush Shahabah, bab Min Fadha`il Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu 'anhu.
4 HR. Muslim no. 6228 kitab Fadha`ilus Shahabah, bab Fadha`il Khadijah Ummul Mu`minin radhiallahu 'anha
5 Disebutkan bahwa Barirah memiliki paras yang cantik, tidak berkulit hitam. Beda halnya dengan Mughits, suaminya. Barirah menikah dengan Mughits dalam keadaan ia tidak menyukai suaminya. Dan ini tampak ketika Barirah telah merdeka, ia memilih berpisah dengan suaminya yang masih berstatus budak. Dimungkinkan ketika masih terikat dalam pernikahan dengan suaminya, Barirah memilih bersabar di atas hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala walaupun ia tidak menyukai suaminya. Dan ia tetap tidak menampakkan pergaulan yang buruk kepada suaminya sampai akhirnya Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan kelapangan dan jalan keluar baginya. (Fathul Bari, 9/514)
6 Lihat hadits dalam Shahih Al-Bukhari no. 5280-5282, kitab Ath-Thalaq, bab Khiyarul Amati Tahtal ‘Abd dan no. 5283, bab Syafa’atun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam fi Zauji Barirah.
7 Artinya dia telah mati

Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah