30 December, 2007

Tanda-Tanda Ilmu Yang Bermanfaat

Ilmu yang bermanfaat dapat diketahui dengan melihat kepada pemilik ilmu tersebut. Di antara tanda-tandanya adalah:

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

[1]. Orang yang bermanfaat ilmunya tidak peduli terhadap keadaan dan kedudukan dirinya serta hati mereka membenci pujian dari manusia, tidak menganggap dirinya suci, dan tidak sombong terhadap orang lain dengan ilmu yang dimilikinya.

Imam al-Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H) rahimahullaah mengatakan, “Orang yang faqih hanyalah orang yang zuhud terhadap dunia, sangat mengharapkan kehidupan akhirat, mengetahui agamanya, dan rajin dalam beribadah.” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Ia tidak iri terhadap orang yang berada di atasnya, tidak sombong terhadap orang yang berada di bawahnya, dan tidak mengambil imbalan dari ilmu yang telah Allah Ta’ala ajarkan kepadanya.” [1]

[2]. Pemilik ilmu yang bermanfaat, apabila ilmunya bertambah, bertambah pula sikap tawadhu’, rasa takut, kehinaan, dan ketundukannya di hadapan Allah Ta’ala.

[3]. Ilmu yang bermanfaat mengajak pemiliknya lari dari dunia. Yang paling besar adalah kedudukan, ketenaran, dan pujian. Menjauhi hal itu dan bersungguh-sungguh dalam menjauhkannya, maka hal itu adalah tanda ilmu yang bermanfaat.

[4]. Pemilik ilmu ini tidak mengaku-ngaku memiliki ilmu dan tidak berbangga dengannya terhadap seorang pun. Ia tidak menisbatkan kebodohan kepada seorang pun, kecuali seseorang yang jelas-jelas menyalahi Sunnah dan Ahlus Sunnah. Ia marah kepadanya karena Allah Ta’ala semata, bukan karena pribadinya, tidak pula bermaksud meninggikan kedudukan dirinya sendiri di atas seorang pun. [2]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H) rahimahullaah membagi ilmu yang bermanfaat ini -yang merupakan tiang dan asas dari hikmah- menjadi tiga bagian. Beliau rahimahullaah berkata, “Ilmu yang terpuji, yang ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah adalah ilmu yang diwariskan dari para Nabi, sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan mereka tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Siapa yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” [3]

Ilmu Ini Ada Tiga Macam:

[1]. Ilmu tentang Allah, Nama-Nama, dan sifat-sifat-Nya serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Contohnya adalah sebagaimana Allah menurunkan surat al-Ikhlaash, ayat Kursi, dan sebagainya.

[2]. Ilmu mengenai berita dari Allah tentang hal-hal yang telah terjadi dan akan terjadi di masa datang serta yang sedang terjadi. Contohnya adalah Allah menurunkan ayat-ayat tentang kisah, janji, ancaman, sifat Surga, sifat Neraka, dan sebagainya.

[3]. Ilmu mengenai perintah Allah yang berkaitan dengan hati dan perbuatan-perbuatan anggota tubuh, seperti beriman kepada Allah, ilmu pengetahuan tentang hati dan kondisinya, serta perkataan dan perbuatan anggota badan. Dan hal ini masuk di dalamnya ilmu tentang dasar-dasar keimanan dan tentang kaidah-kaidah Islam dan masuk di dalamnya ilmu yang membahas tentang perkataan dan perbuatan-perbuatan yang jelas, seperti ilmu-ilmu fiqih yang membahas tentang hukum amal perbuatan. Dan hal itu merupakan bagian dari ilmu agama. [4]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H) rahimahullaah juga berkata, “Telah berkata Yahya bin ‘Ammar (wafat th. 422 H), ‘Ilmu itu ada lima:

(1). Ilmu yang merupakan kehidupan bagi agama, yaitu ilmu tauhid

(2). Ilmu yang merupakan santapan agama, yaitu ilmu tentang mempelajari makna-makna Al-Qur-an dan hadits

(3). Ilmu yang merupakan obat agama, yaitu ilmu fatwa. Apabila suatu musibah (malapetaka) datang kepada seorang hamba, ia membutuhkan orang yang mampu menyembuhkannya dari musibah itu, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu

(4). Ilmu yang merupakan penyakit agama, yaitu ilmu kalam dan bid’ah, dan

(5). Ilmu yang merupakan kebinasaan bagi agama, yaitu ilmu sihir dan yang sepertinya.’” [5]

[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
___________
Foote Notes
[1]. Sunan ad-Darimi (I/89)
[2]. Disarikan dari kitab Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 55-57).
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no. 223), dan Ibnu Hibban (no. 80-Mawaarid), ini lafazh Ahmad, dari Shahabat Abu Darda' radhiyallaahu ‘anhu.
[4]. Majmu’ Fataawaa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XI/396,397 dengan sedikit perubahan). Lihat kitab Muqawwimaat ad-Daa’iyah an-Naajih, hal. 18, karya Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani.
[5]. Majmuu’ Fataawaa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (X/145-146) dan Siyar A’laamin Nubalaa’ (XVII/482)

sumber :http://www.almanhaj.or.id/content/2310/slash/0

04 December, 2007

Menemukan Ketenangan Batin

Sebenarnya, sumber kebahagiaan adalah mengembalikan segala permasalahan kehidupan kepada Dzat Pemilik kebahagiaan, Dia-lah Allah SWT. Sumber kebahagiaan itu muncul dengan memperbanyak membaca Al-Qur'an dan menghadiri majelis ta'lim.

Selain itu, ketenangan akan muncul bila kita memperbanyak shalat malam. Pada saat Nabi SAW berhadapan dengan kondisi masyarakat yang sedemikian kacau, dekadensi moral yang merajalela, dan ketidakadilan di mana-mana, maka langkah pertama yang diambil adalah melakukan renungan dengan cara menjauh dari masyarakat, kemudian mencoba merumuskan formula yang tepat untuk menghadapi masyarakat yang jahiliah itu. Sampai kemudian Nabi mendapatkan bimbingan wahyu, dan itulah modal terpenting dan kekuatan ruhani yang maha dahsyat, yaitu ajaran Islam.

Demikian pula pada saat kita dirundung resah dan gelisah. Pada saat suhu ekonomi kurang menguntungkan dan sosial politik semakin panas, maka salah satu solusi yang disodorkan Islam adalah melakukan uzlah dengan cara bangun di penghujung malam, kemudian merenung untuk melakukan langkah-langkah tepat menghadapi kondisi yang parah ini. Disamping punya fungsi ritual dengan melaksanakan shalat malam, maka bangun malam merupakan terpaaan batin dan sebagai sumber kekuatan.

Nabi SAW, para sahabat, dan ulama salafush shaleh menjadikan sebagai kebiasaan yang harus ada, karena inilah modal keberhasilan dan penemuan kesejukan ruhaninya. Sehingga merasakan penyesalan yang luar biasa tatkala terlena dengan yang lain sehingga meninggalkan shalat malam. Karena pada saat itu, sinyal-sinyal Ilahi sampai kepadanya, apakah itu wahyu kalau kepada para nabi atau ilham kepada selain nabi. Sementara kebahagian yang akan dirasakannya bukan saja kemuliaan di dunia, tetapi juga fasilitas masuk surga tanpa hisab.

Dari hadits riwayat Bukhari dikisahkan, bahwa nanti pada hari kiamat pada saat seluruh umat manusia berkumpul di mahsyar dengan kebingungan, resah, dan gelisah kemudian mereka ke sana ke mari mencari pertolongan, terdengarlah suara berkumandang dengan mengatakan, "Mana orang-orang yang suka merenggangkan pinggangnya dari tempat tidurnya (shalat tahajud)?" Maka berdirilah di antara mereka, tetapi sangatlah sedikit sekali. Nabi SAW kemudian bersabda, "Maka mereka yang sedikit itu kemudian masuk surga tanpa hisab."

Firman Allah, "Pinggang-pinggang mereka berpisah dari tempat tidur mereka, mereka menyeru kepada Tuhannya dengan takut dan penuh harap, dan mereka membelanjakan sebagian harta dari rezeki yang kami berikan kepada mereka. Maka, siapa pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka sesuatu yang dapat menyejukan pandangan mata sebagai balasan atas apa yang mereka perbuat." (QS. As-Sajdah : 17).

Dalam ayat lain, Allah SWT menegaskan, "Mereka (orang-orang yang bertakwa) sedikit sekali tidur pada malam hari dan pada akhir malam mereka senantiasa beristighfar. " (QS. Adz-Dzariyat : 18).

Al-Khawwash RA berkata, "Obat penyakit hati itu ada lima, membaca Al-Qur'an dengan tadabbur, mengosongkan perut (shaum), bangun malam (tahajjud), tadharru pada waktu sahur (akhir malam), dan bergaul dengan orang-orang shaleh.

Seorang sufi Dzun Nun Al-Misri mengatakan bahwa kesucian dan kebahagiaan batin dapat ditemukan dengan empat hal, yaitu; Pertama, muwafaqah, artinya menyesuaikan diri, baik keyakinan, ucapan dan perbuatan itu sesuai dengan perintah Allah dan contoh NabiNya. Melanggar perintah Allah berarti tidak sesuai dengan fitrah ketauhidannya. Kedua, munashahah, artinya saling menumbuhkan rasa cinta kasih antar sesama muslim, tentu saja kesetiaan atau cinta kasih yang tumbuh itu karena Allah, sehingga tidak terlepas dari koridor perintah Allah.

Ketiga, mukhalafah, artinya membantah atau menentang ajakan hawa nafsu. Nafsu tidak mungkin dihilangkan dalam diri seorang muslim, tetapi nafsu harus dikemas menjadi nafsu yang diridhai Allah dan itulah nafsul muthmainnah. Dan, keempat, muharabah, artinya siap dengan kekuatan yang ada untuk memerangi dan melumpuhkan syetan, tidak terlena atau malah menjadi saudaranya karena dia lah musuh yang nyata.

Setelah dengan sekuat tenaga dia berusaha menemukan jalan Tuhannya, maka dia akan menemukan manisnya keimanan. Dan Nabi bersabda, "Ada tiga ciri seseorang yang akan menemukan manisnya iman, yaitu cinta dan benci karena Allah, lebih mendahulukan Allah dan Rasul dibanding yang lain, dan benci terjerembab atau masuk dalam kekafiran." (HR. Muslim).

Dengan demikian, untuk menemukan kebahagiaan batin, terletak pada dekatnya dia dengan sumber kebahagiaan, yaitu Allah SWT, karena Dia-lah Ar-Rahman dan Ar-Rahim, yaitu Maha Pengasih dan Penyayang yang kasih dan sayangNya tiada batas dan meliputi segala sesuatu. Dan Dia-lah Pemilik segala sesuatu, kalau Dia berkehendak, tinggallah Dia mengatakan kun, maka terjadilah. Semoga kita dilimpahi kasih dan sayangNya. Aamiin. [Swadaya-112007]

sumber :
URL : http://kotasantri. com/mimbar. php?aksi= Detail&sid=466