21 March, 2007

Memutuskan silaturrahim

Di antara fenomena yang marak di masyarakat dewasa ini adalah pemutusan
silaturrahim, baik terjadi di internal keluarga maupun dengan kalangan
kerabat. Apa sebenarnya penyebab terjadinya pemutusan silaturrahim
tersebut? Apa pula solusinya?

Sebab-Sebab Terjadinya Pemutusan Silaturrahim

1. Ketidaktahuan akan akibat-akibat memutuskan silaturrahim, baik
akibat yang segera muncul atau pun yang kelak akan terjadi.

2. Ketidaktahuan akan keutamaan menyambung silaturrahim, baik keutamaan
yang segera akan diperoleh atau pun yang kelak akan diperolehnya.

3. Lemahnya ketakwaan seseorang dan kurang kuat agamanya

4. Sikap sombong.
Contohnya bila mendapatkan pangkat yang tinggi atau sebagai seorang
tajir besar, seseorang bersikap sombong terhadap kaum kerabatnya, enggan
mengunjungi mereka dengan anggapan bahwa dirinyalah yang pantas untuk
dikunjungi, bukan sebaliknya.!?

5. Terputusnya Hubungan yang Ber-langsung Lama.
Hal ini menimbulkan adanya jarak dan jurang di antara mereka. Hubungan
menjadi tidak akrab lagi dan suka menunda-nunda untuk berkunjung.
Akibatnya, lama kelamaan malah terputus total dan terbiasalah dengan
pemutusan silaturrahim dan saling menjauhi.

6. Cercaan yang Berlebihan.
Sebagian orang ada yang bila salah seorang kerabatnya baru
mengunjunginya setelah sekian lama terputus, maka ia langsung menghujaninya dengan
serentetan omelan, cercaan, kecaman pedas atas keteledoran dan
keterlambatannya datang itu. Dari sini, terjadilah tindakan menjauhi orang
tersebut dan keengganan untuk datang karena takut diomeli, dicerca, dan
dikecam.

7. Sambutan Berlebihan.
Ada pula orang menyikapi sebalik-nya; bila salah seorang kerabatnya
datang, maka ia menyambutnya secara berlebihan dengan pembo-rosan dari
sisi pengeluaran dan bersusah payah untuk menghormatinya padahal bisa
jadi, bukan termasuk keluarga yang mampu dan berada. Dari sini, para
kerabatnya menjaga jarak dan membatasi diri untuk datang ke rumahnya karena
takut menyusahkannya.

8. Kurang Perhatian terhadap Tamu.
Ini termasuk sebab yang menimbulkan pemutusan silaturrahim di antara
kalangan kerabat. Ada semen-tara orang yang bila kalangan kerabatnya
mengunjunginya, ia tidak menunjukkan perhatian terhadap mereka dan tidak
mendengarkan pembicaraan mereka. Malah, berpaling dan membuang muka bila
mereka berbicara, tidak suka dengan kedatangan mereka, tidak berterima
kasih atas kedatangan mereka dan menyambut mereka dengan berat dan
dingin. Hal inilah yang menyebabkan mereka tidak suka berkunjung kepadanya.

9. Sikap Bakhil dan Pelit.
Sementara orang ada yang bila dianugerahi rizki oleh Allah subhanahu
wata'ala dengan harta atau kedudukan, ia selalu menghindar dari kalangan
kerabatnya. Sikap ini bukan karena kesombongan tetapi karena takut
kalau pintunya yang selalu terbuka buat kalangan kerabatnya itu
disalah-artikan di mana lama kelamaan membuat mereka mulai berani meminjam uang
kepadanya, mengaju-kan berbagai permintaan atau hal lainnya. Karena itu,
alih-alih membu-kakan pintu, menyambut dan memberikan pelayanan kepada
mereka, ia malah berpaling dan membuang muka serta mengisolir mereka
agar tidak selalu menyusahkannya dengan berbagai permintaan.

10. Keterlambatan Pembagian Harta Warisan.
Bisa jadi, di antara kalangan kerabat terdapat warisan yang belum
dituntaskan pembagiannya, baik karena masih bermalas-malasan mengurusinya,
karena sebagian mereka ada yang keras kepala, atau sebab lainnya.
Semakin pembagian warisan itu ditunda-tunda dan berlangsung lama, maka akan
semakin rentan terjadi permusuhan dan kebencian di antara sesama
kerabat; yang satu ingin segera mendapatkan jatah warisan agar dapat
menikmatinya, yang satu lagi bisa jadi meninggal dunia sehingga anak-anaknya
sibuk menghitung-hitung seberapa besar bagian yang didapat orang tua
mereka bahkan dengan membayar para pengacara agar dapat mengambil bagian
orangtuanya. Sementara ada yang lain lagi, selalu curiga dan berburuk
sangka terhadap salah satu dari kalangan kerabatnya itu.

Demikianlah, akhirnya permasalahan menjadi semakin tumpang-tindih dan
kacau bahkan kian bertumpuk sehingga akhirnya terjadi jurang pemisah di
mana pemutusan silaturrahim menjadi lebih dominan.

11. Sibuk Dengan Urusan Duniaw dan Bersenang-Senang di Balik
Gemerlapnya.
Maka, orang seperti ini tidak mendapatkan waktu untuk menyambung
silaturrahim dengan kerabatnya dan menjalin kasih sayang dengan mereka.

12. Sering Terjadinya Perceraian di Kalangan Kerabat.
Terkadang terjadi perceraian di kalangan kerabat sehingga permasalahan
yang terjadi antara suami isteri semakin banyak, baik disebab-kan
anak-anak, sebagian hal yang terkait dengan talak atau hal lainnya.

13. Jarak yang Jauh dan Malas Ber-kunjung.
Ada sementara orang yang kediamannya jauh dan mengalami kesulitan untuk
mencapai tempat berkunjung. Akibatnya, lebih memilih untuk menghindar
dari keluarga dan kerabatnya. Bila berkeinginan untuk mengunjungi
mereka, ia selalu merasa kesulitan, malas untuk datang dan berkunjung.

14. Tempat Tinggal yang Berdekatan antara Kerabat.
Barangkali hal ini dapat menimbulkan sikap saling menghindar dan
memutuskan hubungan di antara kalangan kerabat. Hal ini sebagaimana
diriwayatkan dari Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu yang
berkata, "Perintahkanlah kaum kerabat untuk saling ber-kunjung dan
tidak untuk saling bertetangga."

Maknanya, Beliau (Umar) mengatakan hal itu karena bertetangga dapat
menimbulkan tumpang tindih atas hak, dan barangkali menimbulkan
keterasingan dan pemutusan silaturrahim. Berkunjung hendaknya dilakukan secara
jarang-jarang sebab sering dikatakan, "Berkunjunglah jarang-jarang,
niscaya akan menambah kecintaan."

15. Tidak Tahan dan Sabar Atas Tindakan Kalangan Kerabat.
Sebagian orang ada yang tidak tahan dengan tindakan kalangan
kerabatnya, walau pun hanya sepele. Begitu terjadi kesalahan tak sengaja dari
salah seorang kerabat atau mendapat cercaan darinya, langsung memutus
silaturrahim dan mengisolir mereka.

16. Melupakan Kalangan Kerabat di Hari Walimah dan Pesta.
Terkadang salah seorang keluarga mengadakan walimah atau pesta
tertentu, lalu mengundang kalangan kerabatnya baik melalui lisan, kartu
undangan atau via telepon. Terkadang lupa dengan salah seorang dari mereka
dimana kebetulan orang yang tidak sengaja dilupakan ini memiliki jiwa yang
lemah, temperamental atau selalu berburuk sangka. Lalu kelupaan itu, ia
tafsirkan sebagai tindakan sengaja melupakannya atau menghinakan
dirinya sehingga sangkaan ini kemudian menyeretnya untuk mengisolir
kerabatnya tersebut atau memutuskan silaturrahim.

17. Iri Hati.
Ada sementara orang yang dianu-gerahi oleh Allah subhanahu wata'ala
dengan ilmu, kedudukan, harta atau mendapat kecintaan dari orang banyak.
Ia selalu melayani keluarga dan kalangan kerabatnya serta selalu terbuka
untuk mereka. Karena hal ini, bisa jadi sebagian kerabatnya ada yang
iri hati terhadapnya, me-musuhinya, membuat keributan di seputarnya dan
meragukan ketulus-annya tersebut.!?

18. Terlalu Banyak Canda.
Kebiasaan ini memiliki dampak negatif. Bisa jadi, keluar kata-kata yang
menyakitkan dari seseorang dengan tanpa mempertimbangkan perasaan orang
lain, lalu kebetulan yang jadi sasaran adalah orang yang sangat
sensitif sehingga menimbul-kan kebencian dalam dirinya terhadap orang yang
mengucapkan kata-kata menyakitkan itu.! Ini banyak terjadi di kalangan
kaum kerabat karena mereka terlalu sering berkumpul dan berjumpa.

19. Adu Domba dan Senang Mendengar-kannya.
Sebagian orang ada yang 'hobi'nya hanya merusak hubungan baik orang
lain. Ia selalu berupaya untuk memisahkan antara orang-orang yang saling
berkasih sayang dan memperkeruh suasana. Dan, sungguh akan lebih besar
lagi bahayanya bilamana ada orang yang selalu mendengarkan adu domba ini
dan membenarkannya.!!

Solusi

Solusi dari terjadinya pemutusan silaturrahim ini adalah dengan
mewaspadainya dan menghindarkan diri dari faktor-faktor yang dapat
menyebabkannya. Kemudian melakukan hal yang sebaliknya, yaitu menyambung
silatur-rahim, mengenali maknanya, keutamaannya, jalan-jalannya, faktor-faktor
yang mendukungnya serta etika-etika yang harus dijaga dalam berinteraksi
dengan kalangan kerabat. Wallahu a'lam. [Hafied M Chofie]

Sumber: Qathi'atur Rahim, al-Mazhahir, al-Asbab, Subulul 'Ilaj karya
Muhammad bin Ibrahim al Hamad)

selengkapnya :
http://www.alsofwah.or.id/?pilih=lihatannur&id=414

14 March, 2007

Beradab dan berbaik sangkalah Kepada Allah !!

Oleh : Abu Hannan Sabil Arrasyad

Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, meminta pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa-jiwa kami dan kejelekan amalan-amalan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak akan ada yang menyesatkannya. Dan barangsiapa disesatkan oleh Allah, maka tidak akan ada yang memberi petunjuk kepadanya.

Saya bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah kecuali hanya Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah seorang hamba dan utusan-Nya.
Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap perkara yang diada-adakan adalah bid'ah. Setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan ada di neraka.

Musibah yang terjadi di tengah bangsa kita yang mayoritas kaum muslimin terjadi berulang-ulang, semenjak Tsunami di Aceh sampai gempa di Sumatera Barat, kita sebagai kaum muslimin wajib berkeyakinan bahwa semua kebaikan dan kejelekan, manfa'at dan mudharat (kejadian yang manis maupun yang pahit) semuanya dari takdir dan ketentuan Allah Ta'ala, tidak ada yang mampu mencegahnya, menyimpangkannya atau menjauhkannya.
Seseorang tidak akan tertimpa suatu musibah melainkan apa yang telah ditakdirkan. Meskipun seluruh makhluk berusaha keras untuk menolong orang tersebut, akan tetapi Allah menakdirkan untuk tertimpa musibah maka usaha tersebut tidak berhasil. Demikian juga meskipun seluruh makhluk berusaha untuk mencelakakan dirinya akan tetapi orang tersebut tidak ditakdirkan celaka, maka usaha tersebut tidak akan berhasil, hal ini sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas radiallahu'anhu

"Ketahuilah, bahwa seseungguhnya seandainya bersatu umat manusia untuk memberikan manfa'at padamu dengan sesuatu, niscaya tiadalah mereka dapat melakukannya kecuali dengan sesuatu yang ditakdirkan Allah kepadamu, dan seandainya mereka bersatu untukmencelakakan kamu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan dapat mencelakakan kamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah takdirkan kepadamu. Telah diangkat pena (untuk menulis takdir) dan telah kering lembaran-lembaran itu (HR. Turmudzi dll dan dikatakan hasan shahih)
Kemudian Allah Ta’ala juga berfirman :

“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya.."(Qs Yuunus:107)

Namun ditengah-tengah musibah yang banyak terjadi muncul suatu fenomena yang ini merupakan bagian dari musibah tersebut, yang hal ini telah terjadi berulang kali dan menyebar di kalangan kaum muslimin, dahulu ketika kita melihat alam menunjukkan kekuasaan Allah kita semua mengaguminya dan memuji Allah atas kekuasaan dan kebesarannya. Namun saat ini, hal-hal demikian selalu dikaitkan dengan Allah, diantaranya misalnya bentuk gelombang tsunami yang membentuk lafadz Allah, kemudian pula, bentuk ledakan Api yang muncul dari lumpur Lapindo dengan bentuk lafadz Allah, kemudian awan dengan bentuk lafadz Allah yang keluar sebelum angin puting beliung di Jakarta dan setelah Gempa bumi di Sumatera Barat yang membuat seakan-akan penyandaran bencana itu kepada Allah secara terpisah.

Memang segala sesuatu yang terjadi kebaikan maupun keburukan semuanya adalah takdir dari Allah, namun ketika seorang muslim memahami aqidah yang benar dan adab yang benar maka memposisikan diri sebagai seorang hamba maka mereka harus memahami bahwa tidak diperkenankan menyadarkan kepada Allah apa-apa yang berkesan negatif bila diucapkan secara terpisah. Tidak boleh dikatakan, misalnya: Allahlah penyebab semua bencana ini, atau mengait-ngaitkan bencana kepada Allah seperti fenomena yang terjadi belakangan ini, ada kesan ketika musibah terjadi langsung dikaitkan kepada Allah secara terpisah dengan fenomena alam yang terjadi, walaupun kita tahu setiap yang terjadi memang adalah ciptaan dari Allah.

"Sungguh Maha Suci dan Maha Tinggi Engkau ya Allah, kebaikan seluruhnya di kedua tangan-Mu dan kejelekan tidak disandarkan kepada-Mu“ (Hr Ahmad, Muslim dan lainnya)

Inilah adab yang seharusnya diambil seorang muslim ketika menemukan fenomena seperti ini. Adab yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim `alaihis salam dalam sebuat ayat Allah ceritakan tentang keadaan beliau, beliau `alahissalam berkata

"dan apabila aku sakit. Dialah Yang menyembuhkan aku, (Qs Asy-Syu'ara:80)

lihatlah dalam firman Allah tersebut, Nabi Ibrahim ‚`alaihissalam menyandarkan sakit kepada dirinya sendiri dan menyandarkan kesembuhan kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Meskipun keduanya datangnya dari Allah Yang Maha Mulia. Inilah adab yang harus diambil oleh seorang hamba yang beriman dan bertaqwa kepada Allah.
Begitu juga dengan Nabi Khidir 'alaihissalam menyandarkan kehendak untuk merusak
perahu kepada dirinya sendiri, seperti dikisahkan dalam Al-Qur'an

"Adapun kapal itu kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku hendak merusakkan kapal itu, karena dihadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap tiap kapal. (Qs Al-Kahfi:79)

Adapun ketika mengerjakan kebaikan dan rahmat, beliau `alaihissalam menyandarkan kehendaknya kepada Allah, Allah Ta'ala berfirman

"..maka Rabbmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanan itu, sebagai rahmat dari Rabbmu.."(Qs Al-Kahfi:82)

disini juga letak keikhlasan dan kesadaran bahwa segala sesuatu kebaikan yang diperbuat adalah hasil rahmat dan pertolongan Allah kepada hamba-hambanya. Adapun kita harus mengakui bahwa memang manusia tempatnya khilaf dan salah.

“Setiap anak Adam (manusia) mempunyai salah (dosa), dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang bertaubat.” [HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah]

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah: "Adakan perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang orang yang mempersekutukan (Allah)." (Qs Ar-Rum:41-42)
Maka inilah tempatnya musibah tersebut, bahwa manusia membuat kerusakan di muka bumi dan kerusakan yang terbesar adalah perilaku kesyirikan yang merajalela di tengah-tengah kaum muslimin, kemudian kejahilan terhadap aqidah yang akhirnya membuat mereka suul adab kepada Allah Ta’ala tanpa disadari kemudian berburuk sangka kepada Allah, mengada-adakan dan mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu. membuat kebid’ahan atas nama Allah Ta’ala.

“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”. (Qs Al A’raaf: 33).

Lihatlah bagaimana Allah memposisikan urutan dari dosa-dosa dari kepada yang tinggi, yang membuat atau mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa ilmu adalah suatu perkara yang paling besar sebagaimana yang dijelaskan oleh Al Imam Ibnu Qayyim dalam kitabnya Madarijus salikin.

maka dengan saatnya untuk kembali kepada dien ini secara benar kepada manhaj salafusshalih Nabi dan para sahabatnya,dengan menjauhi kesyirikan, berusaha menuntut ilmu syar’i dan mengamalkannya, mengenal tauhid dan aqidah dengan benar dan mendakwahkannya, beradab kepada Allah. Dan berbaik sangka kepada Allah Ta’ala bahwa setiap musibah dan ujian yang terjadi adalah sarana peningkatan ketaqwaan kita kepada Allah Ta’ala juga menjadi penghapus bagi dosa-dosa kita. Sebagaimana dalam hadist qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Allah Ta’ala berfirman :

Aku sesuai dengan persangkaan hambaKu terhadap diriKu [HR. Bukhari dan Muslim)

Sehingga Allah tidak menimpakan musibah yang lebih besar lagi akibat kesyirikan, dosa, suul adab serta buruk sangka kita kepada Allah.

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” [Asy-Syuura : 30]
Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi... [Qs Al-A’raaf ; 96]


Maha Suci Engkau Ya Allah, dan dengan memuji-Mu, saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Engkau, saya memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.

Wallahu A’lam

sumber: http://www.abu-hanan.blogspot.com

09 March, 2007

Sifat 'Ujub Berbahaya Bagi Kehidupan Kita

Marilah kita tetap bertaqwa kpd Allah swt,dengan sebenar2 taqwa,dan marilah kita ber’amal, bekerja,dan berkarya,berjuang dengan penuh keikhlasan.Janganlah sekali kali kita sertai ‘amal, kerja,karya,usaha maupun gerak juang kita dengan sifat2 tercela,seperti ,riya,sum’ah,takabbur dan ujub.

Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan,bahwa salah satu penyakit batin yang perlu dikikis dari hati kita,adalah sifat ‘ujub.Karena sifat ujub ini,adalah sifat yang sangat berbahaya. Bila menimpa seseorang,dia akan mendapat kebinasaan,dan menghilangkan pahala ‘amalnya.Bila ia menimpa suatu masyarakat atau suatu bangsa,maka masyarakat atau bangsa itu,akan menemui kebinasaannya. Nabi pernah mengatakan : Tiga penyakit jiwa yang membinasakan ; (1) Bakhil / Kikir yang diikutkan. (2) Hawa nafsu yang diperturutkan. (3) Ta’ajub seseorang akan dirinya.

‘Ujub itu adalah penyakit hati,maksiat batin yang tercela.Serupa keadannya dengan ,riya,takabbur sum’ah,hasad, yang seharusnya janganlah kita sampai kemasukan sifat ‘ujub itu disegala ‘amal, kerja,karya dan usaha kita.

Imam Ghozali mengatakan ;Bermula hakikat ‘ujub itu,yaitu ta’ajub yang terbit dihati dengan sangkanya,akan dirinya itu bersifat dengan sifat sempurna dari pada ‘ilmu atau ‘amal,serta lupa menyandarkan yang demikian itu,kepada Allah swt,dan merasa aman atau sentosa dari pada hilangnya.

Jelaslah,bahwa ‘ujub itu adalah suatu penyakit batin atau penyakit jiwa.Dimana seseorang merasa bahwa dia telah dalam tarap yang sempurna,tidak merasa ada kekurangan.Dia merasa ta’ajub banyak mengerjakan ‘amal,banyak bersedekah.Kemudian kesempurnaan yang diperolehnya itu, dianggapnya adalah hasil usahanya sendiri.Dia lupa bahwa apa yang telah dicapainya itu adalah rahmat,karunia dari Tuhannya.Dan dia merasa pula,bahwa kesempurnaan yang diperolehnya itu,akan tetap abadi dimilikinya.Dengan demikian jelaslah kepada kita,bahwa ‘ujub itu dapat meliputi berbagai macam keadaan.

Ada ‘ujub karena harta,ada ‘ujub karena kecantikan,ada ‘ujub karena pangkat,ada ‘ujub karena jabatan,ada’ujub karena ‘amal akhirat,dsb.Masing2 orang2 yang ‘ujub itu,merasa dirinya sudah sempurna.Ia lupa bahwa kalau ia kaya,masih banyak orang yang lebih kaya dari padanya.Kalau ia berpangkat,ia lupa masih banyak orang yang lebih tinggi pangkatnya dari pada dia.Kalau ia orang yang ber’amal ia merasa ta’ajub pada ‘amal dan ‘ibadah yang dilakukannya.Dia merasa sudah banyak berwaqaf,dia merasa sudah banyak sholat2 sunnatnya,dia merasa sudah banyak ‘amal ‘ibadahnya,merasa sudah banyak tilawah Al qur-annya,banyak sedekahnya,Ia lupa,padahal masih banyak orang2 yang sholeh,yang lebih kuat ber’amal,ber’ibadah dari pada dia.

Akhirnya karena perasaan ‘ujub itu sudah mendalam dihatinya,maka datanglah perasaan som bong dan takabburnya.Dia merasa dia sajalah yang ‘alimnya,dia sajalah rasanya yang pandainya, dia sajalah rasanya yang wara’ dan khusu’nya,akhirnya lupalah dia,bahwa segala sesuatu yang ada padanya itu,adalah kurnia dari Allah swt.Ia menyangka bahwa apa yang diperolehnya itu adalah hasil dari usahanya sendiri.Maka jika demikian,kita lihatlah orang2 yang seperti ini,jika dia berpangkat,berjabatan,maka ia mempergunakan pangkat dan jabatannya itu tidak lagi pada jalan yang digariskan Allah swt.Kalau ia berharta,hartanya tidak lagi dinafkahkan pada jalan yang mardhiah,tetapi diamblaskannya serta difoya2kannya kejalan yang maksiat

Kalau seseorang ‘ujub karena mempunyai keahlian,keahliannya itu diselewengkannya dari ajaran/putunjuk Allah swt.ia merasa aman dengan apa yang diperolehnya dan dimilikinya,ia lupa bahwa disatu2 masa,Allah dapat saja mencabut nikmatnya dari hambanya.Kalau sudah mengkehendaki berbuat,siapa yang dapat menghalanginya.

Justru karena itu ,’Ujub itu adalah suatu sifat yang sangat tercela,suatu penyakit batin yang sangat berbahaya,suatu maksiat yang dapat membuat celaka,yang hendaknya haruslah kita berusaha untuk mengkikisnya dari hati sanubari kita.Jauhkanlah dari bersipat ‘ujub disegala bidang,yakni dengan jalan selalulah mengingat Allah swt,dimana saja kita berada.

Selalulah kita mengingat bahwa kita ini hamba Allah,bukan hamba syetan,bukan hamba hawa nafsu.Kita ingat bahwa kita akan kembali kehadirat Allah pada masa yang tak seorangpun dapat mengetahui bila waktu atau saatnya dan dimana tempatnya.Kaya atau miskin,yg pandai atau yang bodoh,yang gemuk atau yang kurus,hartawan atau usahawan,pangkat tinggi atau rakyat biasa,tua atau muda,lelaki atau perempuan,semua akan digotong kekuburan bila Izroil sudah memanggil. Karena itu Rasulullah memesankan dan mengatakan kepada sahabat2nya,agar mereka jangan ‘ujub pada ‘amalnya,pada kerjanya,pada karyanya,pada keadaannya maupun pada ‘ibadahnya,tetapi laksanakanlah dan kerjakanlah suruh perintah Allah itu dengan hati yang ikhlas, dan jauh dari rasa riya,sum’ah,takabbur,dan ‘ujub.Semoga saja hendaknya hidup dan kehidupan kita tetap dalam ketaqwaan dan keikhlasan adanya.

“Hai orang2 yang beriman,,janganlah kamu mengikuti langkah2 syetan,barang siapa yang mengikuti langkah2 syetan,maka sesungguhnya syetan itu,menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar,sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmatnya kepada kamu sekalian,niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih ( dari perbuatan2 keji dan mungkar itu ) selama2nya.Tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendakiNya dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui. ( QS An-Nur 21 )

06 March, 2007

Bagaimana Anda Beramal ?

Kita menjadi muslim sudah lama, Alhamdulillah. Tentunya amal-amalan ibadah di dalam dienul Islam telah banyak yang kita lakukan. Shalat, baik yang wajib maupun sunnah, shaum, zakat, infak, berdoa, dan masih banyak lagi amal yang telah kita laksanakan. Tapi bagaimana kedudukan amal tersebut di sisi Allah? Pernahkah kita merenungkannya?
Ada orang yang melaksanakan ibadah dengan sebaik-baiknya. Ada juga yang sangat giat beribadah, ibadahnya banyak sekali, setiap waktunya digunakan untuk beribadah kepada Allah. Bahkan istri dan anaknya hampir-hampir tidak diurusinya. Namun ada juga yang tidak peduli dengan ibadahnya, kalau ia sedang ingin beribadah, beribadah;kalo sedang malas, maka ia meningglkannya, walaupun itu ibadah wajib. Ada juga yang berprinsip asal gugur kewajiban. Ada juga yang beribadah hanya berdasarkan adat istiadat setempat.

Saudaraku, Anda termasuk yang mana?
Terlepas dari apa jawaban Anda, ada yang ingin aku sampaikan mengenai ibadah ini, semoga Anda mau menerima dan merenungkannya. Semoga bermanfaat bagi Anda. Anggaplah ini sebagai nasihat, bukankah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda: “dien itu nasihat?” Bukankah nasehat itu bermanfaat bagi setiap muslim?

Saudaraku, semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada kita,
Ada seorang ulama menulis di salah satu bukunya: “Sebelum engkau melangkah satu pun-wahai saudaraku muslim- maka engkau harus tahu jalan keselamatanmu, janganlah engkau memforsir dirimu dengan banyak amalan, karena boleh jadi orang yang banyak beramal tidak mendapatkan apa-apa, kecuali letih dan lelah.” (ucapan Syaikh Husain Al-Awaisyah di dalam bukunya Al-Ikhlas, sebagaimana dinukil di dalam “Fikih Nasehat” hal.61)

Perkataan ulama tersebut sangat benar. Apakah Anda sependapat denganku? Bagaimana tidak, kita sudah berpayah-payah, badan kita capek, letih, dan lelah. Kita juga telah menghabiskan waktu, tanaga, dan biaya yang kita punya. Eh, ternyata kita tidak mendapatkan apa-apa. Bukankah ini sia-sia? Kita menjadi orang yang merugi. Kalau tahu begini, mendingan kita diam saja di rumah. Bukankah begitu?

Tapi bagaimana mungkin, orang banyak beramal kok tidak mendapatkan apa-apa? Itu tidak masuk akal! Niat ibadah yang kita lakukan kan ikhlas untuk Allah. Bukankah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda (yang artinya):

“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung niatnya”?

Niat kita kan baik, beribadah kepada Allah. Masa’ Allah tidak menerimanya?

Wahai Saudaraku, semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmatNya kepada kita,
Bukankah Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman di kitabnya yang mulia, Al-Qur’anul Karim: (yang artinya):

”Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Al_Kahfi: 103-104)

Saudaraku, perhatikanlah ayat di atas. Bagaimana komentarmu?

Ketahuilah, bahwa agar amal ibadah yang kita lakukan diterima di sisi Allah, disyaratkan bahwa ibadah itu harus benar. Dan ibadah itu tidak dikatakan benar kecuali dengan dua syarat, yaitu:

1. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar maupun kecil.
2. Sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (mutaba’ah).

Syarat pertama adalah konsekuensi dari syahadat Laa ilaaha illallah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari syirik kepadaNya.
Adapaun syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya ta’at kepada Rasul, mengikuti syariatnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah yang diada-adakan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- mengatakan: “Inti agama ada dua pokok yaitu kita tidak menyembah kecuali kepada Allah, dan kita tidak menyembah kecuali dengan apa yang Dia syariatkan, tidak dengan bid’ah.” Sebagaimana Allah berfirman (yang artinya):

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (Al-Kahfi:110)

Yang demikian adalah manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallah dan Muhammadur Rasulullah.
Yang pertama, kita tidak menyembah kecuali kepadaNya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad adalah utusanNya yang menyampaikan ajarannya. Maka kita wajib membenarkan bagaimaan cara kita beribadah kepda Allah, dan beliau melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau mengatakan bahwa bid’ah itu sesat.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):

“Agar Dia menguji kalian siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (Surat Al-Mulk:2)

Wahai Saudaraku, semoga Allah senantiasa memberi petunjuk kepada kita, perhatikanlah baik-baik ayat 2 surat al-Mulk di atas. Allah Azza wa ‘Ala tidak berfirman (yang artinya): “…yang lebih banyak amalnya”, tetapi Allah berfirman (yang artinya): “…yang lebih baik amalnya.”
Adapun maksud dari lebih baik amalnya telah dijelaskan oleh Fudhail bin Iyadh, Yaitu: “Seikhlas-ikhlasnya, dan sebenar-benarnya.” Kemudian beliau (Fudhail bin Iyadh) berkata pula:
“Sesungguhnya suatu amalan jika dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar maka tidaklah diterima, dan apabila amalan tersebut benar tetapi tidak dilakukan dengan ikhlas maka tidak diterima pula, sampai amalan tersebut dilakukan dengan ikhlas dan benar. Ikhlas apabila dilakukan karena Allah Ta’ala dan benar apabila sesuai dengan sunnah (Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam).”

Wahai, Saudaraku; sekarang engkau telah memahaminya bukan?
Kedua syarat ibadah tadi, yaitu ikhlas dan sesuai contoh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam harus ada kedua-duanya. Tidak bisa hanya salah satu saja. Ikhlas tapi tidak sesuai contoh Rasulullah, maka tertolak. Begitu juga sebaliknya; sesuai contoh Rasulullah tapi tidak ikhlas, maka yang demikian sia-sia.


Syarat Pertama: Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar maupun kecil.

Ikhlas artinya memurnikan tujuan bertaqarrub kepada Allah Azza wa Jalla dari hal-hal yang mengotorinya. Arti lainnya; menjadikan Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai satu-satunya tujuan dalam segala bentuk ketaatan. Atau; mengabaikan pandangan makhluk dengan cara selalu berkonsentrasi kepada Khaliq.

Ikhlas ini diperintahkan Allah dalam firmannya (yang artinya):

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (Al-Bayyinah:5)

Ya’qub pernah berkata: “Orang yang ikhlas adalah orang yang menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana ia menyembunyikan keburukan-keburukannya.”

As-Suusiy berkata: “Ikhlas adalah tidak merasa telah berbuat ikhlas. Barangsiapa masih menyaksikan keikhlasan dalam ikhlasnya, maka keikhlasannya masih membutuhkan keikhlasan lagi.”

Fudhail berkata: “Meninggalkan suatu amal karena orang lain adalah riya’. Sedangkan beramal karena orang lain adalah syirik. Adapun ikhlas adalah ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala menyelamatkan mu dari keduanya.”

Saudaraku, ikhlas ini sangat berat sekali. Hingga sebagian ulama berkata: “Ikhlas sesaat berarti keselamatan abadi. Tetapi ikhlas itu sulit sekali.”

Syarat kedua: Sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (mutaba’ah).

Kita diperintah untuk mengikuti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Allah berfirman (yang artinya):

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Al-Hasyr:7)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):

“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan kami yang bukan darinya maka tertolak.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat Muslim:
“Barangsiapa mengamalkan satu amalan yang tidak ada padanya urusan kami maka tertolak.”
Ayat dan hadits di atas memerintahkan kita untuk mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Kita dilarang membuat ataupun mengamalkan bid’ah (sesuatu yang baru, menyerupai syariat dan dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah)

Saudaraku, ketahuilah; di dalam buku: Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid’ah, Syaikh Utsaimin –rahimahullah- menjelaskan bahwa mutaba’ah (mengikuti Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam) tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syariat dalam enam perkara, inilah penjelasannya beliau (dengan sedikit perubahan)

1. Pertama: Sebab
Jika seseorang melakukan suatu ibadah karena Allah dengan sebab yang tidak disyariatkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima (ditolak).
Contoh: Ada orang melakukan shalat tahajud pada malam 27 rajab dengan dalih bahwa malam itu adalah malam mi’raj (dinaikkan ke atas langit) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam . Shalat tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid’ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syariat. Syarat ini –yaitu ibadah harus sesuai dengan syariat dalam sebab- adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap sunnah namun sebenarnya bid’ah.

2. Kedua: Jenis
Artinya: Ibadah harus sesuai dengan syariat dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima.
Contoh: Seseorang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syariat dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi, dan kambing.

3. Ketiga: Kadar (bilangan)
Kalau ada seseorang yang menambah bilangan rakaat suatu shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat itu adalah bid’ah dan tidak diterima. Karena tidak sesuai dengan ketentuan syariat dalam jumlah bilangan rakaatnya. Jadi, apabila ada orang shalat dzuhur lima rakaat, umpamanya, maka shalatnya tidak sah.

4. Keempat: Kaifiyah (Cara)
Seandainya ada orang yang shalat: sujud dulu baru ruku,maka ini tidak sah, karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syariat.

5. Kelima: Waktu
Apabila ada orang menyembelih binatang kurban pada hari pertama Dzul Hijjah, maka tidak sah; karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam.

6. Keenam: Tempat
Andaikata ada orang beri’tikaf di tempat selain masjid, maka tidak sah I’tikafnya. Sebab tempat I’tikaf hanyalah masjid.

Wahai Saudaraku, semoga Anda belum bosan mendengarkanku, kesimpulan dari penjelasan di atas adalah, bahwa ibadah seseorang tidak termasuk amal shaleh yang diterima di sisi Allah kecuali apabila memenuhi dua syarat tadi, yaitu ikhlas dan mutaba’ah. Dan mutaba’ah tidak akan tercapai kecuali dengan enam perkara yang telah diuraikan di atas.

Sekarang, kalau Anda ditanya; bagaimana Anda beramal? Jawablah dengan penjelasan di atas.
Semoga Allah memudahkan dan menerima amal-amal sholeh kita.
Semoga hal ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Allahu A’lam. Sholawat dan salam untuk nabi kita Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, keluarga dan para shahabatnya.

--------------------------------------------------------------------------------
Referensi: DAFTAR BACAAN DAN PENGAMBILAN: ¨ Al-Qur’an dan Terjemahnya; cet. Saudi, 1412 H ¨ Al-Ibdaa’ Fi Kamaal Asy-Syar’ Wa Khathar Al-Ibtidaa’, Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin. Edisi Indonesia: Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid’ah. ¨ At Tauhid Lish Shafil Awwal al Ali, Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan. Edisi Indonesia: Kitab Tauhid 1, Penerbit: Darul Haq, Jakarta. Penerjemah: Agus Hasan Bashori. ¨ Tazkiatun Nufus, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ibnu Rajjab al-Hambali, Imam Ghazali. Pentahqiq: Dr. Ahmad Farid. Edisi Indonesia: Tazkiah An-Nafs, Konsep Penyucian Jiwa Menurut Para Salaf. Penerbit: Pustaka Arafah. Penerjemah: Imtihan Asy-Syafi’I. ¨ Fikih Nasehat, Fariq bin Gasim Anuz, Penerbit: Pustaka Azzam. ¨ Syarh Arbaina Haditsan an Nawawi, Ibnu Daqiqil ‘Ied. Edisi Indonesia: Terjemah Syarah Arbain an Nawawi (1-20). Penerbit: Al Mubarak. Perenjemah: Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak Ata
Kontributor : abah_utik@yahoo.com, 2004-04-13
sumber :
http://www.perpustakaan-islam.com/mod.phpmod=publisher&op=viewarticle&artid=104&PHPSESSID=e4987fa7338060ff77e2d7a59295fa05

02 March, 2007

PIKIR DAN DZIKIR

Assalamu'alaykum Wr. Wb.

Pikir dan Dzikir, adakah hubungannya dalam beramal ?

Menurut saya, berpikir artinya memberikan peranan kepada akal agar menemukan jalan keluar dari suatu permasalahan, sedangkan berdzikir artinya memberikan peranan kepada akal untuk mengingat hasil pikir yang dia lakukan.

Pikir dan dzikir adalah suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam hidup dan kehidupan ini, seorang siswa yang belajar bisa disebut juga sedang melakukan pikir dan dzikir, dalam hal ini memikirkan dan mengingat semua pelajaran yang ia terima. Demikian pula misalnya saat kita mengendarai kendaraan dijalan raya yang ramai, maka kita dituntut untuk berpikir bagaimana caranya agar tidak celaka atau salah jalan sehingga mencelakakan diri kita sendiri, dan dalam saat bersamaan kitapun dituntut untuk melakukan dzikir atau mengingat mana yang harus dilakukan saat itu.

Dari analogi diatas, menurut saya adalah jelas sekali hubungannya antara pikir dan dzikir dalam beramal. Sebab bila kita salah dalam berpikir, maka bisa dipastikan juga kitapun akan salah dalam berdzikir, dan amalnyapun akan salah atau sia-sia.

Wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad adalah perintah agar berpikir dan berdzikir.

Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia ciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah karena Tuhanmu itu sangat mulia; Yang mengajar dengan Qalam. Dia mengajar manusia apa yang mereka tidak tahu
Qs. 96 al-alaq : 1 - 5

Perintah membaca pada ayat diatas, bukan hanya dalam konteks dimana Nabi disuruh oleh malaikat Jibril membaca saat turun wahyu pertama saja, akan tetapi bisa kita tafsirkan secara luas dalam konteks masa kini. Dimana membaca adalah awal dari berpikir. Awal dari mencari tahu dan melakukan penyelidikan, awal dari menganalisa serta awal dari suatu pemahaman ataupun kesimpulan.

Dari surah diatas kita bisa belajar banyak hal, bahwa Tuhan sendiri sejak awal tidak menyuruh manusia untuk mematikan rasio atau kemampuan intelegensianya, sebaliknya manusia disuruh untuk membaca kekuasaan Tuhannya, mewajibkan manusia menganalisa melalui ilmu kedokteran untuk mencari tahu bagaimana proses awal dari kelahiran manusia itu sendiri sehingga diharapkan manusia itu menjadi sadar betapa kompleks dan rapinya karya Tuhan dalam penciptaan, karena itu secara sadar dan logis kitapun diharapkan untuk memuliakan-Nya.

Menarik memang, bahwa ayat pertama yang turun justru memerintahkan kepada manusia agar berpikir dan berdzikir, bukan sebaliknya berdzikir baru berpikir.


Ini artinya Tuhan ingin kita ini cerdas dan berilmu, bukan menjadi sampah masyarakat, menjadi orang bodoh ataupun yang menurut istilah Aa’ Gym (K.H. Abdullah Gymnastiar) menjadi orang yang kehadirannya tidak membawa pengaruh bagi orang lain dan ketidak hadirannya justru disyukuri oleh lingkungannya.

Dalam konteks agama, berdzikir sering di-identikkan dengan dzikrullah atau mengingat ALLAH yang secara khusus diterapkan dalam sholat atau bacaan-bacaan seperti tasbih, tahmid, tahlil, istighfar dan sebagainya.

Jika kita kembalikan makna dzikrullah ini pada analogi sebelumnya, maka dzikrullah pun harus didahului dengan tindakan pikir, yaitu menganalisa apa saja yang akan dilafaskan atau diperbuatnya dalam kerangka dzikrullah.

Dengan pengertian lain, bahwa untuk berdzikir kepada ALLAH juga memerlukan ilmu atau pengetahuan yang cukup agar dzikir yang dilakukan menjadi benar dan amalnya tidak sia-sia.

Nabi bersabda dalam 4 hadistnya :

Barangsiapa orang berbuat suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka perbuatannya itu ditolak - Hadist Riwayat Muslim

Barangsiapa yang mengada-adakan dalam ajaran Islam ini
yang tidak ada sumbernya dari Islam, maka urusan itu ditolak
Hadist Riwayat Bukhari-Muslim

Berhati-hatilah dari perbuatan yang berlebihan dalam Islam
Karena sesungguhnya kehancuran umat-umat dimasa lalu
Diakibatkan perbuatan yang berlebihan (dalam agamanya)
Hadist Riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas

Tiap-tiap sesuatu yang dibuat tanpa ada petunjuknya (Bid’ah) adalah sesat ; Dan tiap-tiap kesesatan itu dineraka
Hadist Riwayat Muslim

Dengan demikian, pikir sebelum dzikir dalam urusan agama, memiliki hubungan yang sangat erat karena menentukan amalan yang dihasilkan dari dzikir tadi apakah diterima atau justru ditolak oleh ALLAH sebagaimana firman-Nya juga :

orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya
Qs. 18 al-kahfi : 104

Berdzikrullah tidak hanya habis dengan sholat, membaca tasbih, tahlil dan tahmid ataupun istighfar saja, sebab jika konteks mengingat Tuhan dibatasi seperti ini,maka akan berlawanan dengan banyak ayat al-Qur’an lainnya serta bertentangan dengan pemikiran yang wajar.

Ingat kepada Tuhan (dzikrullah) secara luas bisa dilakukan dengan melakukan observasi atau penelitian terhadap alam semesta yang disebut sebagai ‘Arsy (singgasana) ALLAH yang terbentang luas dihadapan kita, karenanya Tuhan berfirman :

Sungguh, dalam penciptaan langit dan bumi
dan terjadinya malam dan siang,
terdapat tanda-tanda bagi orang yang memiliki pikiran
(yaitu) yang mengingat ALLAH sambil berdiri dan sambil duduk dan sambil berbaring - Qs. 3 ali imron : 190 - 191

Jelas secara logika sehat, tidaklah mungkin kita mampu melafaskan kalimat tasbih, tahlil atau tahmid dalam setiap waktu seperti isi lahiriah dari ayat tersebut, karena jika demikian adanya maka tidak akan ada satupun pekerjaan lain yang bisa diselesaikan akibat ketiadaan waktu karena dihabiskan hanya untuk dzikrullah tersebut padahal dalam firman sebelumnya ALLAH justru mengajak kita agar menggunakan akal pikiran dalam memahami penciptaan langit dan bumi serta malam dan siang.

Saya memahami ayat ini dengan kewajiban manusia (bahkan Jin) melakukan penggalian ilmu secara simultan atau terus-menerus mulai dari pagi hingga petang, baik ketika sedang berdiri atau duduk dalam melakukan penelitian maupun dalam waktu istirahatnya (di-istilahkan dengan berbaring) guna menyibak rahasia alam semesta dengan cara menemukan teknologi modern sehingga tersibaklah kebesaran sang maha pencipta yang menjadikan semuanya tanpa sia-sia.

Hai masyarakat jin dan manusia,
jika kamu sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka lakukanlah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan
Qs. 55 ar-rahman : 33

Kekuatan disini merupakan terjemahan dari kata “Sulton”, dan saya cenderung setuju dengan penafsiran kata tersebut sebagai teknologi canggih sebagaimana penafsiran sejumlah ilmuwan Islam masa kini.

Jadi, kesimpulan akhir dari tulisan ini adalah hendak memberikan teguran bagi kita semua untuk mau berpikir, mencari ilmu didalam beribadah agar apa yang dilakukan memang berguna dan mendatangkan amal disisi Tuhan.

Baik belum tentu benar, sedangkan benar pastilah baik.
Sholat subuh 2 rakaat, jika kita tambah 2 rakaat lagi tentu secara logika baik sekali, namun perbuatan itu justru menjadi sia-sia, karena tidak ada tuntunannya dari Nabi.

Dzikir itu baik, namun jika dzikir yang dilakukan tidak sesuai dengan tuntunan dari ALLAH atau Nabi-Nya, maka dzikirnya akan nol.

Bisa saja kamu membenci sesuatu padahal sesuatu itu baik untukmu,
dan bisa saja kamu menyukai sesuatu padahal sesuatu itu buruk untukmu, karena ALLAH itu mengetahui sementara kamu tidak tahu apa-apa - Qs. 2 al-baqarah : 216

Hai orang-orang beriman,
ikutilah seruan Allah dan ikutilah seruan Rasul apabila ia menyeru kamu
Qs. 8 al-anfal : 24

apakah mereka tidak berjalan di muka bumi ?
padahal mereka mempunyai hati yang dengan hati itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. - Qs. 22 al-Hajj : 46

Jangan kamu mengikuti apa yang kamu tidak ada ilmu didalamnya
sungguh pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya - Qs. 17 al-israa’ : 36

Referensi :
1. Bid’ah-bid’ah di Indonesia, Drs. KH. Badruddin Hsubky, Gema Insani Press 1994
2. Soal Jawab masalah agama 3 – 4, A. Hassan, Penerbit Persatuan
3. Tafsir al-furqon, A. Hassan, 1956

Wassalam,

Armansyah

Copyright© 2006, Armansyah

http://swaramuslim.net

armansyah_skom@telkom.net