20 October, 2006

Meneladani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Ber'idul Fithri

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ


Assalamualaikum..sahabatku.semua selamat Lebaran moga Ramadhan tahun ini
membekas didalam diri kita akan hikmahnya sehingga kita bisa merubah sikap
dari kehidupan yang Zulumat menuju keghidupan yang Nur iman yang gemilang menyinari
perjalan hidup menuju hari akhir...
kali ini untuk menyambut iidul fitri mari sama sama kita simak artikel dari
Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.
yang di publis di http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=373
kali ini kita akan coba publis kembali semoga bermanfaat bagi diri saya dan kita semua Aamin


Idul Fitri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap orang. Ada yang memaknai Idul Fitri sebagai hari yang menyenangkan karena tersedianya banyak makanan enak, baju baru, banyaknya hadiah, dan lainnya. Ada lagi yang memaknai Idul Fitri sebagai saat yang paling tepat untuk pulang kampung dan berkumpul bersama handai tolan. Sebagian lagi rela melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, dan berbagai aktivitas lain yang bisa kita saksikan. Namun barangkali hanya sedikit yang mau untuk memaknai Idul Fitri sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam “memaknainya”.

Idul Fitri memang hari istimewa. Secara syar’i pun dijelaskan bahwa Idul Fitri merupakan salah satu hari besar umat Islam selain Hari Raya Idul Adha. Karenanya, agama ini membolehkan umatnya untuk mengungkapkan perasaan bahagia dan bersenang-senang pada hari itu.
Sebagai bagian dari ritual agama, prosesi perayaan Idul Fitri sebenarnya tak bisa lepas dari aturan syariat. Ia harus didudukkan sebagaimana keinginan syariat.
Bagaimana masyarakat kita selama ini menjalani perayaan Idul Fitri yang datang menjumpai? Secara lahir, kita menyaksikan perayaan Hari Raya Idul Fitri masih sebatas sebagai rutinitas tahunan yang memakan biaya besar dan juga melelahkan. Kita sepertinya belum menemukan esensi yang sebenarnya dari Hari Raya Idul Fitri sebagaimana yang dimaukan syariat.
Bila Ramadhan sudah berjalan 3 minggu atau sepekan lagi ibadah puasa usai, “aroma” Idul Fitri seolah mulai tercium. Ibu-ibu pun sibuk menyusun menu makanan dan kue-kue, baju-baju baru ramai diburu, transportasi mulai padat karena banyak yang bepergian atau karena arus mudik mulai meningkat, serta berbagai aktivitas lainya. Semua itu seolah sudah menjadi aktivitas “wajib” menjelang Idul Fitri, belum ada tanda-tanda menurun atau berkurang.
Untuk mengerjakan sebuah amal ibadah, bekal ilmu syar’i memang mutlak diperlukan. Bila tidak, ibadah hanya dikerjakan berdasar apa yang dia lihat dari para orang tua. Tak ayal, bentuk amalannya pun menjadi demikian jauh dari yang dimaukan syariat.
Demikian pula dengan Idul Fitri. Bila kita paham bagaimana bimbingan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah ini, tentu berbagai aktivitas yang selama ini kita saksikan bisa diminimalkan. Beridul Fitri tidak harus menyiapkan makanan enak dalam jumlah banyak, tidak harus beli baju baru karena baju yang bersih dan dalam kondisi baik pun sudah mencukupi, tidak harus mudik karena bersilaturahim dengan para saudara yang sebenarnya bisa dilakukan kapan saja, dan sebagainya. Dengan tahu bimbingan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beridul Fitri tidak lagi butuh biaya besar dan semuanya terasa lebih mudah.
Berikut ini sedikit penjelasan tentang bimbingan syariat dalam beridul Fitri.

Definisi Id (Hari Raya)
Ibnu A’rabi mengatakan: “Id1 dinamakan demikian karena setiap tahun terulang dengan kebahagiaan yang baru.” (Al-Lisan hal. 5)
Ibnu Taimiyyah berkata: “Id adalah sebutan untuk sesuatu yang selalu terulang berupa perkumpulan yang bersifat massal, baik tahunan, mingguan atau bulanan.” (dinukil dari Fathul Majid hal. 289 tahqiq Al-Furayyan)
Id dalam Islam adalah Idul Fitri, Idul Adha dan Hari Jum’at.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا، فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا، يَوْمَ اْلأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ

Dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan orang-orang Madinah mempunyai 2 hari (raya) yang mereka bermain-main padanya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: “Apa (yang kalian lakukan) dengan 2 hari itu?” Mereka menjawab: “Kami bermain-main padanya waktu kami masih jahiliyyah.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 1004, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)

Hukum Shalat Id
Ibnu Rajab berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang hukum Shalat Id menjadi 3 pendapat:
Pertama: Shalat Id merupakan amalan Sunnah (ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) yang dianjurkan, seandainya orang-orang meninggalkannya maka tidak berdosa. Ini adalah pendapat Al-Imam Ats-Tsauri dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad.
Kedua: Bahwa itu adalah fardhu kifayah, sehingga jika penduduk suatu negeri sepakat untuk tidak melakukannya berarti mereka semua berdosa dan mesti diperangi karena meninggalkannya. Ini yang tampak dari madzhab Al-Imam Ahmad dan pendapat sekelompok orang dari madzhab Hanafi dan Syafi’i.
Ketiga: Wajib ‘ain (atas setiap orang) seperti halnya Shalat Jum’at. Ini pendapat Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Al-Imam Asy-Syafi’I mengatakan dalam Mukhtashar Al-Muzani: “Barangsiapa memiliki kewajiban untuk mengerjakan Shalat Jum’at, wajib baginya untuk menghadiri shalat 2 hari raya. Dan ini tegas bahwa hal itu wajib ‘ain.” (Diringkas dari Fathul Bari Ibnu Rajab, 6/75-76)
Yang terkuat dari pendapat yang ada –wallahu a’lam– adalah pendapat ketiga dengan dalil berikut:

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُوْرِ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

Dari Ummu ‘Athiyyah ia mengatakan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengajak keluar (kaum wanita) pada (hari raya) Idul Fitri dan Idul Adha yaitu gadis-gadis, wanita yang haid, dan wanita-wanita yang dipingit. Adapun yang haid maka dia menjauhi tempat shalat dan ikut menyaksikan kebaikan dan dakwah muslimin. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab?” Nabi menjawab: “Hendaknya saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim, ini lafadz Muslim Kitabul ‘Idain Bab Dzikru Ibahati Khurujinnisa)
Perhatikanlah perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk pergi menuju tempat shalat, sampai-sampai yang tidak punya jilbabpun tidak mendapatkan udzur. Bahkan tetap harus keluar dengan dipinjami jilbab oleh yang lain.
Shiddiq Hasan Khan berkata: “Perintah untuk keluar berarti perintah untuk shalat bagi yang tidak punya udzur… Karena keluarnya (ke tempat shalat) merupakan sarana untuk shalat dan wajibnya sarana tersebut berkonsekuensi wajibnya yang diberi sarana (yakni shalat).
Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya Shalat Id adalah bahwa Shalat Id menggugurkan Shalat Jum’at bila keduanya bertepatan dalam satu hari. Dan sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin menggugurkan suatu kewajiban.” (Ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/380 dengan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah. Lihat pula lebih rinci dalam Majmu’ Fatawa, 24/179-186, As-Sailul Jarrar, 1/315, Tamamul Minnah, hal. 344)

Wajibkah Shalat Id Bagi Musafir?
Sebuah pertanyaan telah diajukan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang intinya: Apakah untuk Shalat Id disyaratkan pelakunya seorang yang mukim (tidak sedang bepergian)?
Beliau kemudian menjawab yang intinya: “Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan, disyaratkan mukim. Ada yang mengatakan, tidak disyaratkan mukim.”
Lalu beliau mengatakan: “Yang benar tanpa keraguan, adalah pendapat yang pertama. Yaitu Shalat Id tidak disyariatkan bagi musafir, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak melakukan safar dan melakukan 3 kali umrah selain umrah haji, beliau juga berhaji wada’ dan ribuan manusia menyertai beliau, serta beliau berperang lebih dari 20 peperangan, namun tidak seorangpun menukilkan bahwa dalam safarnya beliau melakukan Shalat Jum’at dan Shalat Id…” (Majmu’ Fatawa, 24/177-178)

Mandi Sebelum Melakukan Shalat Id

عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى

“Dari Malik dari Nafi’, ia berkata bahwa Abdullah bin Umar dahulu mandi pada hari Idul Fitri sebelum pergi ke mushalla (lapangan).” (Shahih, HR. Malik dalam Al-Muwaththa` dan Al-Imam Asy-Syafi’i dari jalannya dalam Al-Umm)
Dalam atsar lain dari Zadzan, seseorang bertanya kepada ‘Ali radhiallahu 'anhu tentang mandi, maka ‘Ali berkata: “Mandilah setiap hari jika kamu mau.” Ia menjawab: “Tidak, mandi yang itu benar-benar mandi.” Ali radhiallahu 'anhu berkata: “Hari Jum’at, hari Arafah, hari Idul Adha, dan hari Idul Fitri.” (HR. Al-Baihaqi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa`, 1-176-177))

Memakai Wewangian

عَنْ مُوْسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ يَغْتَسِلُ وَيَتَطَيَّبُ يَوْمَ الْفِطْرِ

“Dari Musa bin ‘Uqbah, dari Nafi’ bahwa Ibnu ‘Umar mandi dan memakai wewangian di hari Idul fitri.” (Riwayat Al-Firyabi dan Abdurrazzaq)
Al-Baghawi berkata: “Disunnahkan untuk mandi di hari Id. Diriwayatkan dari Ali bahwa beliau mandi di hari Id, demikian pula yang sejenis itu dari Ibnu Umar dan Salamah bin Akwa’ dan agar memakai pakaian yang paling bagus yang dia dapati serta agar memakai wewangian.” (Syarhus Sunnah, 4/303)

Memakai Pakaian yang Bagus

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوْقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى بِهَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيْدِ وَالْوُفُوْدِ. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ

Dari Abdullah bin Umar bahwa Umar mengambil sebuah jubah dari sutera yang dijual di pasar maka dia bawa kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Umar radhiallahu 'anhu berkata: “Wahai Rasulullah, belilah ini dan berhiaslah dengan pakaian ini untuk hari raya dan menyambut utusan-utusan.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata: “Ini adalah pakaian orang yang tidak akan dapat bagian (di akhirat)….” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabul Jum’ah Bab Fil ‘Idain wat Tajammul fihi dan Muslim Kitab Libas Waz Zinah)
Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berhias untuk hari raya dan bahwa ini perkara yang biasa di antara mereka.” (Fathul Bari)

Makan Sebelum Berangkat Shalat Id

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ. وَقَالَ مُرَجَّأُ بْنُ رَجَاءٍ: حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللهِ قَالَ: حَدَّثَنِي أَنَسٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا

Dari Anas bin Malik ia berkata: Adalah Rasulullah tidak keluar di hari fitri sebelum beliau makan beberapa kurma. Murajja‘ bin Raja‘ berkata: Abdullah berkata kepadaku, ia mengatakan bahwa Anas berkata kepadanya: “Nabi memakannya dalam jumlah ganjil.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Akl Yaumal ‘Idain Qablal Khuruj)
Ibnu Rajab berkata: “Mayoritas ulama menganggap sunnah untuk makan pada Idul Fitri sebelum keluar menuju tempat Shalat Id, di antara mereka ‘Ali dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma.”
Di antara hikmah dalam aturan syariat ini, yang disebutkan oleh para ulama adalah:
a. Menyelisihi Ahlul kitab, yang tidak mau makan pada hari raya mereka sampai mereka pulang.
b. Untuk menampakkan perbedaan dengan Ramadhan.
c. Karena sunnahnya Shalat Idul Fitri lebih siang (dibanding Idul Adha) sehingga makan sebelum shalat lebih menenangkan jiwa. Berbeda dengan Shalat Idul Adha, yang sunnah adalah segera dilaksanakan. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/89)

Bertakbir Ketika Keluar Menuju Tempat Shalat

كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ، فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْرَ

“Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar di Hari Raya Idul Fitri lalu beliau bertakbir sampai datang ke tempat shalat dan sampai selesai shalat. Apabila telah selesai shalat beliau memutus takbir.” (Shahih, Mursal Az-Zuhri, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dengan syawahidnya dalam Ash-Shahihah no. 171)
Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Dalam hadits ini ada dalil disyariatkannya apa yang diamalkan kaum muslimin yaitu bertakbir dengan keras selama perjalanan menuju tempat shalat walaupun banyak di antara mereka mulai menggampangkan sunnah (ajaran) ini, sehingga hampir-hampir menjadi sekedar berita (apa yang dulu terjadi). Hal itu karena lemahnya mental keagamaan mereka dan karena rasa malu untuk menampilkan sunnah serta terang-terangan dengannya. Dan dalam kesempatan ini, amat baik untuk kita ingatkan bahwa mengeraskan takbir di sini tidak disyariatkan padanya berpadu dalam satu suara sebagaimana dilakukan sebagian manusia2…” (Ash-Shahihah: 1 bagian 1 hal. 331)

Lafadz Takbir
Tentang hal ini tidak terdapat riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam –wallahu a’lam–. Yang ada adalah dari shahabat, dan itu ada beberapa lafadz.
Asy-Syaikh Al-Albani berkata: Telah shahih mengucapkan 2 kali takbir dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu:

أَنَّهُ كَانَ يُكَبِرُ أَيَّامَ التَّشْرِيْقِ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Bahwa beliau bertakbir di hari-hari tasyriq:

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

(HR. Ibnu Abi Syaibah, 2/2/2 dan sanadnya shahih)
Namun Ibnu Abi Syaibah menyebutkan juga di tempat yang lain dengan sanad yang sama dengan takbir tiga kali. Demikian pula diriwayatkan Al-Baihaqi (3/315) dan Yahya bin Sa’id dari Al-Hakam dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dengan tiga kali takbir.
Dalam salah satu riwayat Ibnu ‘Abbas disebutkan:

اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلَّ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

(Lihat Irwa`ul Ghalil, 3/125)

Tempat Shalat Id
Banyak ulama menyebutkan bahwa petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam shalat dua hari raya adalah beliau selalu melakukannya di mushalla.
Mushalla yang dimaksud adalah tempat shalat berupa tanah lapang dan bukan masjid, sebagaimana dijelaskan sebagian riwayat hadits berikut ini.

عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ: خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أَضْحًى إِلَى الْبَقِيْعِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ وَقَالَ: إِنَّ أَوَّلَ نُسُكِنَا فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نَبْدَأَ بِالصَّلاَةِ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ وَافَقَ سُنَّتَنَا

Dari Al-Bara’ Ibnu ‘Azib ia berkata: “Nabi pergi pada hari Idul Adha ke Baqi’ lalu shalat 2 rakaat lalu menghadap kami dengan wajahnya dan mengatakan: ‘Sesungguhnya awal ibadah kita di hari ini adalah dimulai dengan shalat. Lalu kita pulang kemudian menyembelih kurban. Barangsiapa yang sesuai dengan itu berarti telah sesuai dengan sunnah…” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Istiqbalul Imam An-Nas Fi Khuthbatil ‘Id)
Ibnu Rajab berkata: “Dalam hadits ini dijelaskan bahwa keluarnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan shalatnya adalah di Baqi’, namun bukan yang dimaksud adalah Nabi shalat di kuburan Baqi’. Tapi yang dimaksud adalah bahwa beliau shalat di tempat lapang yang bersambung dengan kuburan Baqi’ dan nama Baqi’ itu meliputi seluruh daerah tersebut. Juga Ibnu Zabalah telah menyebutkan dengan sanadnya bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Id di luar Madinah sampai di lima tempat, sehingga pada akhirnya shalatnya tetap di tempat yang dikenal (untuk pelaksanaan Id, -pent.). Lalu orang-orang sepeninggal beliau shalat di tempat itu.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/144)

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوْصِيْهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ

“Dari Abu Sa’id Al-Khudri ia mengatakan: Bahwa Rasulullah dahulu keluar di hari Idul Fitri dan Idhul Adha ke mushalla, yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat, lalu berpaling dan kemudian berdiri di hadapan manusia sedang mereka duduk di shaf-shaf mereka. Kemudian beliau menasehati dan memberi wasiat kepada mereka serta memberi perintah kepada mereka. Bila beliau ingin mengutus suatu utusan maka beliau utus, atau ingin memerintahkan sesuatu maka beliau perintahkan, lalu beliau pergi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Khuruj Ilal Mushalla bi Ghairil Mimbar dan Muslim)
Ibnu Hajar menjelaskan: “Al-Mushalla yang dimaksud dalam hadits adalah tempat yang telah dikenal, jarak antara tempat tersebut dengan masjid Nabawi sejauh 1.000 hasta.” Ibnul Qayyim berkata: “Yaitu tempat jamaah haji meletakkan barang bawaan mereka.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Nampaknya tempat itu dahulu di sebelah timur masjid Nabawi, dekat dengan kuburan Baqi’…” (dinukil dari Shalatul ‘Idain fil Mushalla Hiya Sunnah karya Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 16)

Waktu Pelaksanaan Shalat

يَزِيْدُ بْنُ خُمَيْرٍ الرَّحَبِيُّ قَالَ: خَرَجَ عَبْدُ اللهِ بْنُ بُسْرٍ صَاحِبُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ النَّاسِ فِي يَوْمِ عِيْدِ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَأَنْكَرَ إِبْطَاءَ اْلإِمَامِ. فَقَالَ: إِنَّا كُنَّا قَدْ فَرَغْنَا سَاعَتَنَا هَذِهِ وَذَلِكَ حِيْنَ التَّسْبِيْحِ

“Yazid bin Khumair Ar-Rahabi berkata: Abdullah bin Busr, salah seorang shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi bersama orang-orang di Hari Idul Fitri atau Idhul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam. Iapun berkata: ‘Kami dahulu telah selesai pada saat seperti ini.’ Dan itu ketika tasbih.” (Shahih, HR. Al-Bukhari secara mua’llaq, Kitabul ‘Idain Bab At-Tabkir Ilal ‘Id, 2/456, Abu Dawud Kitabush Shalat Bab Waqtul Khuruj Ilal ‘Id: 1135, Ibnu Majah Kitab Iqamatush- shalah was Sunan fiha Bab Fi Waqti Shalatil ’Idain. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Yang dimaksud dengan kata “ketika tasbih” adalah ketika waktu shalat sunnah. Dan itu adalah ketika telah berlalunya waktu yang dibenci shalat padanya. Dalam riwayat yang shahih riwayat Ath-Thabrani yaitu ketika Shalat Sunnah Dhuha.
Ibnu Baththal berkata: “Para ahli fiqih bersepakat bahwa Shalat Id tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya matahari atau ketika terbitnya. Shalat Id hanyalah diperbolehkan ketika diperbolehkannya shalat sunnah.” Demikian dijelaskan Ibnu Hajar. (Al-Fath, 2/457)
Namun sebenarnya ada yang berpendapat bahwa awal waktunya adalah bila terbit matahari, walaupun waktu dibencinya shalat belum lewat. Ini pendapat Imam Malik. Adapun pendapat yang lalu, adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad dan salah satu pendapat pengikut Syafi’i. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/104)
Namun yang kuat adalah pendapat yang pertama, karena menurut Ibnu Rajab: “Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rafi’ bin Khadij dan sekelompok tabi’in bahwa mereka tidak keluar menuju Shalat Id kecuali bila matahari telah terbit. Bahkan sebagian mereka Shalat Dhuha di masjid sebelum keluar menuju Id. Ini menunjukkan bahwa Shalat Id dahulu dilakukan setelah lewatnya waktu larangan shalat.” (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)

Apakah Waktu Idul Fitri lebih Didahulukan daripada Idul Adha?
Ada dua pendapat:
Pertama, bahwa keduanya dilakukan dalam waktu yang sama.
Kedua, disunnahkan untuk diakhirkan waktu Shalat Idul Fitri dan disegerakan waktu Idul Adha. Itu adalah pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad. Ini yang dikuatkan Ibnu Qayyim, dan beliau mengatakan: “Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melambatkan Shalat Idul Fitri serta menyegerakan Idul Adha. Dan Ibnu ‘Umar dengan semangatnya untuk mengikuti sunnah tidak keluar sehingga telah terbit matahari dan bertakbir dari rumahnya menuju mushalla.” (Zadul Ma’ad, 1/427, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)
Hikmahnya, dengan melambatkan Shalat Idul Fitri maka semakin meluas waktu yang disunahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah; dan dengan menyegerakan Shalat Idul Adha maka semakin luas waktu untuk menyembelih dan tidak memberatkan manusia untuk menahan dari makan sehingga memakan hasil qurban mereka. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105-106)

Tanpa Adzan dan Iqamah

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ

Dari Jabir bin Samurah ia berkata: “Aku shalat bersama Rasulullah 2 Hari Raya (yakni Idul Fitri dan Idul Adha), bukan hanya 1 atau 2 kali, tanpa adzan dan tanpa iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيِّ قَالاَ: لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَلاَ يَوْمَ اْلأَضْحَى ثُمَّ سَأَلْتُهُ بَعْدَ حِيْنٍ عَنْ ذَلِكَ فَأَخْبَرَنِي قَالَ: أَخْبَرَنِي جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيُّ أَنْ لاَ أَذَانَ لِلصَّلاَةِ يَوْمَ الْفِطْرِ حِيْنَ يَخْرُجُ اْلإِمَامُ وَلاَ بَعْدَ مَا يَخْرُجُ وَلاَ إِقَامَةَ وَلا نِدَاءَ وَلاَ شَيْءَ، لاَ نِدَاءَ يَوْمَئِذٍ وَلاَ إِقَامَةَ

Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma dan Jabir bin Abdillah Al-Anshari keduanya berkata: “Tidak ada adzan pada hari Fitri dan Adha.” Kemudian aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang itu, maka ia mengabarkan kepadaku bahwa Jabir bin Abdillah Al-Anshari mengatakan: “Tidak ada adzan dan iqamah di hari Fitri ketika keluarnya imam, tidak pula setelah keluarnya. Tidak ada iqamah, tidak ada panggilan dan tidak ada apapun, tidak pula iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)
Ibnu Rajab berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam hal ini dan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar dan ‘Umar radhiallahu 'anhuma melakukan Shalat Id tanpa adzan dan iqamah.”
Al-Imam Malik berkata: “Itu adalah sunnah yang tiada diperselisihkan menurut kami, dan para ulama sepakat bahwa adzan dan iqamah dalam shalat 2 Hari Raya adalah bid’ah.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/94)
Bagaimana dengan panggilan yang lain semacam: Ash-shalatu Jami’ah?
Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya menganggap hal itu sunnah. Mereka berdalil dengan: Pertama: riwayat mursal dari seorang tabi’in yaitu Az-Zuhri.
Kedua: mengqiyaskannya dengan Shalat Kusuf (gerhana).
Namun pendapat yang kuat bahwa hal itu juga tidak disyariatkan. Adapun riwayat dari Az-Zuhri merupakan riwayat mursal yang tentunya tergolong dha’if (lemah). Sedangkan pengqiyasan dengan Shalat Kusuf tidaklah tepat, dan keduanya memiliki perbedaan. Di antaranya bahwa pada Shalat Kusuf orang-orang masih berpencar sehingga perlu seruan semacam itu, sementara Shalat Id tidak. Bahkan orang-orang sudah menuju tempat shalat dan berkumpul padanya. (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab, 6/95)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu berkata: “Qiyas di sini tidak sah, karena adanya nash yang shahih yang menunjukkan bahwa di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk Shalat Id tidak ada adzan dan iqamah atau suatu apapun. Dan dari sini diketahui bahwa panggilan untuk Shalat Id adalah bid’ah, dengan lafadz apapun.” (Ta’liq terhadap Fathul Bari, 2/452)
Ibnu Qayyim berkata: Apabila Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat maka mulailah beliau shalat tanpa adzan dan iqamah dan tanpa ucapan “Ash-shalatu Jami’ah”, dan Sunnah Nabi adalah tidak dilakukan sesuatupun dari (panggilan-panggilan) itu. (Zadul Ma’ad, 1/427)

Kaifiyah (Tata Cara) Shalat Id
Shalat Id dilakukan dua rakaat, pada prinsipnya sama dengan shalat-shalat yang lain. Namun ada sedikit perbedaan yaitu dengan ditambahnya takbir pada rakaat yang pertama 7 kali, dan pada rakaat yang kedua tambah 5 kali takbir selain takbiratul intiqal.
Adapun takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir ruku’, sebagaimana dijelaskan oleh ‘Aisyah dalam riwayatnya:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى سَبْعًا وَخَمْسًا سِوَى تَكْبِيْرَتَيْ الرُّكُوْعِ

“Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah bertakbir para (shalat) Fitri dan Adha 7 kali dan 5 kali selain 2 takbir ruku’.” (HR. Abu Dawud dalam Kitabush Shalat Bab At-Takbir fil ’Idain. ‘Aunul Ma’bud, 4/10, Ibnu Majah no. 1280, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Abani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1149)
Pertanyaan: Apakah pada 5 takbir pada rakaat yang kedua dengan takbiratul intiqal (takbir perpindahan dari sujud menuju berdiri)?
Ibnu Abdil Bar menukilkan kesepakatan para ulama bahwa lima takbir tersebut selain takbiratul intiqal. (Al-Istidzkar, 7/52 dinukil dari Tanwirul ‘Ainain)
Pertanyaan: Tentang 7 takbir pertama, apakah termasuk takbiratul ihram atau tidak?
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat:
Pertama: Pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Ahmad, Abu Tsaur dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma bahwa 7 takbir itu termasuk takbiratul ihram. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/178, Aunul Ma’bud, 4/6, Istidzkar, 2/396 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah)
Kedua: Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, bahwa 7 takbir itu tidak termasuk takbiratul ihram. (Al-Umm, 3/234 cet. Dar Qutaibah dan referensi sebelumnya)
Nampaknya yang lebih kuat adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal itu karena ada riwayat yang mendukungnya, yaitu:

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جِدِّهِ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيْدَيْنِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيْرَةً، سَبْعًا فِي اْلأُوْلَى وَخَمْسًا فِي اْلآخِرَةِ سِوَى تَكْبِيْرَتَيِ الصَّلاَةِ

“Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir pada 2 hari raya 12 takbir, 7 pada rakaat yang pertama dan 5 pada rakaat yang terakhir, selain 2 takbir shalat.”(Ini lafadz Ath-Thahawi)
Adapun lafadz Ad-Daruquthni:

سِوَى تَكْبِيْرَةِ اْلإِحْرَامِ

“Selain takbiratul ihram.” (HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar, 4/343 no. 6744 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Ad-Daruquthni, 2/47-48 no. 20)
Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperselisihkan bernama Abdullah bin Abdurrahman At-Tha‘ifi. Akan tetapi hadits ini dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad, ‘Ali Ibnul Madini dan Al-Imam Al-Bukhari sebagaimana dinukilkan oleh At-Tirmidzi. (lihat At-Talkhis, 2/84, tahqiq As-Sayyid Abdullah Hasyim Al-Yamani, At-Ta’liqul Mughni, 2/18 dan Tanwirul ‘Ainain, hal. 158)
Adapun bacaan surat pada 2 rakaat tersebut, semua surat yang ada boleh dan sah untuk dibaca. Akan tetapi dahulu Nabi membaca pada rakaat yang pertama “Sabbihisma” (Surat Al-A’la) dan pada rakaat yang kedua “Hal ataaka” (Surat Al-Ghasyiah). Pernah pula pada rakaat yang pertama Surat Qaf dam kedua Surat Al-Qamar (keduanya riwayat Muslim, lihat Zadul Ma’ad, 1/427-428)

Apakah Mengangkat Tangan di Setiap Takbir Tambahan?
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat mengangkat tangan.
Sementara salah satu dari pendapat Al-Imam Malik tidak mengangkat tangan, kecuali takbiratul ihram. Ini dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah (hal. 349). Lihat juga Al-Irwa‘ (3/113).
Tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih dalam hal ini.

Kapan Membaca Doa Istiftah?
Al-Imam Asy-Syafi’i dan jumhur ulama berpendapat setelah takbiratul ihram dan sebelum takbir tambahan. (Al-Umm, 3/234 dan Al-Majmu’, 5/26. Lihat pula Tanwirul ‘Ainain hal. 149)

Khutbah Id
Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendahulukan shalat sebelum khutbah.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: شَهِدْتُ الْعِيْدَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّوْنَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ

“Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Aku mengikuti Shalat Id bersama Rasulullah, Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman maka mereka semua shalat dahulu sebelum khutbah.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab ‘Idain Bab Al-Khutbah Ba’dal Id)
Dalam berkhutbah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan menghadap manusia tanpa memakai mimbar, mengingatkan mereka untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan juga beliau mengingatkan kaum wanita secara khusus untuk banyak melakukan shadaqah, karena ternyata kebanyakan penduduk neraka adalah kaum wanita.
Jamaah Id dipersilahkan memilih duduk mendengarkan atau tidak, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ السَّائِبِ قَالَ: شَهِدْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ قَالَ: إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ

Dari ‘Abdullah bin Saib ia berkata: Aku menyaksikan bersama Rasulullah Shalat Id, maka ketika beliau selesai shalat, beliau berkata: “Kami berkhutbah, barangsiapa yang ingin duduk untuk mendengarkan khutbah duduklah dan barangsiapa yang ingin pergi maka silahkan.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan An-Nasa`i. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1155)
Namun alangkah baiknya untuk mendengarkannya bila itu berisi nasehat-nasehat untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berpegang teguh dengan agama dan Sunnah serta menjauhi bid’ah. Berbeda keadaannya bila mimbar Id berubah menjadi ajang kampanye politik atau mencaci maki pemerintah muslim yang tiada menambah di masyarakat kecuali kekacauan. Wallahu a’lam.

Wanita yang Haid
Wanita yang sedang haid tetap mengikuti acara Shalat Id, walaupun tidak boleh melakukan shalat, bahkan haram dan tidak sah. Ia diperintahkan untuk menjauh dari tempat shalat sebagaimana hadits yang lalu dalam pembahasan hukum Shalat Id.

Sutrah Bagi Imam
Sutrah adalah benda, bisa berupa tembok, tiang, tongkat atau yang lain yang diletakkan di depan orang shalat sebagai pembatas shalatnya, panjangnya kurang lebih 1 hasta. Telah terdapat larangan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melewati orang yang shalat. Dengan sutrah ini, seseorang boleh melewati orang yang shalat dari belakang sutrah dan tidak boleh antara seorang yang shalat dengan sutrah. Sutrah ini disyariatkan untuk imam dan orang yang shalat sendirian atau munfarid. Adapun makmum tidak perlu dan boleh lewat di depan makmum. Ini adalah Sunnah yang mayoritas orang meninggalkannya. Oleh karenanya, marilah kita menghidupkan sunnah ini, termasuk dalam Shalat Id.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيْدِ أَمَرَ بِالْحَرْبَةِ فَتُوْضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ وَكَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السَّفَرِ فَمِنْ ثَمَّ اتَّخَذَهَا اْلأُمَرَاءُ

“Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu apabila keluar pada hari Id, beliau memerintahkan untuk membawa tombak kecil, lalu ditancapkan di depannya, lalu beliau shalat ke hadapannya, sedang orang-orang di belakangnya. Beliau melakukan hal itu di safarnya dan dari situlah para pimpinan melakukannya juga.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabush Shalat Bab Sutratul Imam Sutrah liman Khalfah dan Kitabul ‘Idain Bab Ash-Shalat Ilal harbah Yaumul Id. Al-Fath, 2/463 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/136)

Bila Masbuq (Tertinggal) Shalat Id, Apa yang Dilakukan?
Al-Imam Al-Bukhari membuat bab dalam Shahih-nya berjudul: “Bila tertinggal shalat Id maka shalat 2 rakaat, demikian pula wanita dan orang-orang yang di rumah dan desa-desa berdasarkan sabda Nabi: ‘Ini adalah Id kita pemeluk Islam’.”
Adalah ‘Atha` (tabi’in) bila ketinggalan Shalat Id beliau shalat dua rakaat.
Bagaimana dengan takbirnya? Menurut Al-Hasan, An-Nakha’i, Malik, Al-Laits, Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat, shalat dengan takbir seperti takbir imam. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/169)

Pulang dari Shalat Id Melalui Rute Lain saat Berangkat

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيْدٍ خَالَفَ الطَّرِيْقَ

Dari Jabir, ia berkata:” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila di hari Id, beliau mengambil jalan yang berbeda. (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Man Khalafa Thariq Idza Raja’a…, Fathul Bari karya Ibnu Hajar, 2/472986, karya Ibnu Rajab, 6/163 no. 986)
Ibnu Rajab berkata: “Banyak ulama menganggap sunnah bagi imam atau selainnya, bila pergi melalui suatu jalan menuju Shalat Id maka pulang dari jalan yang lainnya. Dan itu adalah pendapat Al-Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i dan Ahmad… Dan seandainya pulang dari jalan itu, maka tidak dimakruhkan.”
Para ulama menyebutkan beberapa hikmahnya, di antaranya agar lebih banyak bertemu sesama muslimin untuk memberi salam dan menumbuhkan rasa cinta. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/166-167. Lihat pula Zadul Ma’ad, 1/433)

Bila Id Bertepatan dengan Hari Jum’at

عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِي رَمْلَةَ الشَّامِيِّ قَالَ: شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ قَالَ: أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيْدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَكَيْفَ صَنَعَ؟ قَالَ: صَلَّى الْعِيْدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ

Dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami, ia berkata: Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dia sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Apakah kamu menyaksikan bersama Rasulullah, dua Id berkumpul dalam satu hari?” Ia menjawab: “Iya.” Mu’awiyah berkata: “Bagaimana yang beliau lakukan?” Ia menjawab: “Beliau Shalat Id lalu memberikan keringanan pada Shalat Jumat dan mengatakan: ‘Barangsiapa yang ingin mengerjakan Shalat Jumat maka shalatlah’.”

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيْدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُوْنَ

Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau berkata: “Telah berkumpul pada hari kalian ini 2 Id, maka barangsiapa yang berkehendak, (Shalat Id) telah mencukupinya dari Jum’at dan sesungguhnya kami tetap melaksanakan Jum’at.” (Keduanya diriwayatkan Abu Dawud dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1070 dan 1073)
Ibnu Taimiyyah berkata: “Pendapat yang ke-3 dan itulah yang benar, bahwa yang ikut Shalat Id maka gugur darinya kewajiban Shalat Jum’at. Akan tetapi bagi imam agar tetap melaksanakan Shalat Jum’at, supaya orang yang ingin mengikuti Shalat Jum’at dan orang yang tidak ikut Shalat Id bisa mengikutinya. Inilah yang diriwayatkan dari Nabi dan para shahabatnya.” (Majmu’ Fatawa, 23/211)
Lalu beliau mengatakan juga bahwa yang tidak Shalat Jum’at maka tetap Shalat Dzuhur.
Ada sebagian ulama yang berpendapat tidak Shalat Dzuhur pula, di antaranya ‘Atha`. Tapi ini pendapat yang lemah dan dibantah oleh para ulama. (Lihat At-Tamhid, 10/270-271)

Ucapan Selamat Saat Hari Raya
Ibnu Hajar mengatakan: “Kami meriwayatkan dalam Al-Muhamiliyyat dengan sanad yang hasan dari Jubair bin Nufair bahwa ia berkata: ‘Para shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bila bertemu di hari Id, sebagian mereka mengatakan kepada sebagian yang lain:

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ

“Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan dari kamu.” (Lihat pula masalah ini dalam Ahkamul ‘Idain karya Ali Hasan hal. 61, Majmu’ Fatawa, 24/253, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/167-168)
Wallahu a’lam.

1 'Id artinya kembali.
2 Karena Nabi tidak memberi contoh demikian dalam ibadah ini. Lain halnya –wallahu a’lam– bila kebersamaan itu tanpa disengaja.

17 October, 2006

KIAT MEMPEROLEH RIZKI & PERTOLONGAN ALLAH SWT

Kali ini ada 8 kiat untuk memperoleh rizki dan pertolongan Allah Swt
semoga dengan kiat ini segala apa yang terdetak dan terlintas dihati kita
untuk kebaikan diri keluarga maupun ummah dapat dikabulkan oleh Allah Swt
dan menjadi ladang amal bagi kita Aamin


1. BEKERJA

Bekerja dengan sungguh-sungguh & ikhlas, sebagai ikhtiar untuk memperoleh rizki dan pertolongan Allah SWT.



2. SHOLAT

Melaksanakan sholat dan ibadah lain sesuai contoh Rasulullah SAW, melakukan Perintah & meninggalkan Larangan Allah SWT dengan mengikuti sunnah Rasulullah SAW, agar kita dekat kepada Allah SWT dan Allah SWT pun dekat kepada kita. Kalau kita dekat kepada Allah SWT, maka kita akan ditolong olehNya.



3. TAQWA

Barangsiapa yang bertaqwa maka seluruh kesulitannya akan diselesaikan Allah SWT dan diberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka. Pimpinan bekerja keras, tetapi karyawan tidak pernah mendoakan, maka tidak akan ada hasilnya. Juga apabila kegemaran & kebiasaan negatif tidak ditinggalkan, akan membawa bencana.



4. SILATURAHIM

Meletakkan hubungan antar sesama manusia dengan hubungan cinta dan kasih sayang. "Cintai penduduk bumi, maka seluruh penduduk langit akan cinta kepadamu".



5. BERDZIKIR

Orang yang senantniasa berdzikir dengan baik kepada Allah SWT, bersungguh-sungguh dan ikhlas, maka wajahnya akan terlihat bersih, bila berada dalam kegelapan mukannya akan tampak bercahaya.



6. BERDAKWAH

Apabila kita mendakwahkan agama Allah SWT dan membesar-besarkan nama-NYA, serta mencontohkan dan menegakkan akhlak & perilaku yang baik dalam kehidupan kita, maka Allah SWT akan melancarkan rizki kita.



7. INFAQ & SODAQOH

Semakin banyak kita menolong orang lain, akan semakin banyak bantuan Allah SWT kepada kita. Jangan pernah ragu dan sayang untuk bantu orang-orang yang susah, niscaya segala urusan kita akan dibantu oleh Allah SWT.



8. MUSIBAH

Allah SWT tentu akan menolong umatnya yang tertimpa bencana dan kesusahan. Namun jangan mengharapkan terjadinya musibah untuk mendatangkan pertolongan Allah SWT, karena ini justru musibah adalah hal yang wajib sejauh-jauhnya kita hindari.





Sumber: Tauziah Dhuhur ROHIS-GA, nara sumber Ustadz Ir. K.H. Tengku Zulkarnain, MBA.

16 October, 2006

13 Penawar Racun Kemaksiatan

(disadur secara ringkas dari buku 13 Penawar Racun Kemaksiatan (terjemahan kitab Sabilun Najah min Syu'mil Ma'shiyyah) karangan Muhammad bin Abdullah Ad-Duwaisy, terbitan Darul Haq Jakarta)

Berikut ini beberapa terapi mujarab untuk menawar racun kemaksiatan:

1. Anggaplah Besar Dosamu

Abdullah bin Mas'ud radiyallahu anhu berkata:

"Orang beriman melihat dosa-dosanya seolah-olah ia duduk di bawah gunung, ia takut gunung tersebut menimpanya. Sementara orang yang fajir (suka berbuat dosa), dosanya seperti lalat yang lewat diatas hidungnya."

2. Janganlah meremehkan dosa.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

"Janganlah kamu meremehkan dosa, seperti kaum yang singgah di perut lembah. Lalu seseorang datang membawa ranting sehingga mereka dapat menanak roti mereka. Kapan saja orang yang melakukan suatu dosa menganggap remeh suatu dosa, maka itu akan membinasakannya." (HR Ahmad dengan sanad yang hasan).


3. Janganlah mujaharah.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

"Semua umatku dimaafkan kecuali mujahirun (orang yang berterus terang). Termasuk mujaharah ialah seseorang yang melakukan suatu amal (keburukan) pada malam hari kemudian datang pada pagi harinya ia membeberkannya, padahal Allah telah menutupinya , ia berkata,"Wahai Fulan, tadi malam aku telah melakukan demikian dan demikian." Pada malam hari TuhanNya telah menutupi kesalahannya tetapi pada pagi harinya ia membuka tabir Allah yang menutupinya." (HR Bukhari dan Muslim)

4. Taubat Nasuha yang Tulus.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

"Allah lebih bergembira dengan taubat hambaNya tatkala bertaubat daripada seorang diantara kamu yang berada diatas kendaraannya di padang pasir tandus, kemudian kendaraan itu hilangdarinya, padahal diatas kendaraan itu terdapat makanan dan minumannya. Ia sedih kehilangan hal itu, lalu ia menuju pohon dan tidur dibawah naungannya dalam keadaan bersedih terhadap kendaraannya itu. Saat ia dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba kendaraannya muncul di dekatnya, lalu ia mengambil tali kendalinya. Kemudian ia berkata, karena sangat bergembira," Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhanmu". Ia salah ucap karena sangat gembira." (HR Bukhari dan Muslim)

5. Jika Dosa Berulang, maka Ulangilah Bertaubat.

Ali bin Abi Thalib radiyallahu anhu berkata,

" Sebaik-baik kalian adalah setiap orang yang diuji (dengan dosa) lagi bertaubat." ditanyakan,"Jika ia mengulangi lagi?". Ia menjawab,"Ia beristighfar kepada Allah dan bertaubat." Ditanyakan,"Jika ia kembali berbuat dosa?" Ia menjawab,"Ia beristighfar kepada Allah dan bertaubat." Ditanyakan, "Sampai kapan?" Dia menjawab,"Sampai setan berputus asa."

6. Jauhi faktor-faktor penyebab kemaksiatan.

Orang yang bertaubat harus menjauhi situasi dan kondisi yang biasa ia temui pada saat melakukan kemaksiatan serta menjauh darinya secara keseluruhan dan sibuk dengan selainnya.

7. Senantiasa beristighfar.

Saat-saat beristighfar:

a. Ketika melakukan dosa

b. Setelah melakukan ketaatan

c. Dalam dzikir-dzikir rutin harian

d. Senantiasa beristighfar setiap saat.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam beristighfar kepada Allah dalam sehari lebih dari 70 kali (dalam hadits lain 100 kali)

8. Apakah Anda Berjanji Kepada Allah Untuk Meninggalkan Kemaksiatan?

Tidak ada bedanya antara orang yang berjanji kepada Allah (berupa nadzar atas tebusan dosa yang dilakukannya) dengan orang yang tidak melakukannya. Karena yang menyebabkan dirinya terjerumus ke dalam kemaksiatan tidak lain hanyalah karena panggilan syahwat (hawa nafsu) lebih mendominasi dirinya daripada panggilan iman. Janji tersebut tidak dapat melakukan apap-apa dan tidak berguna.

9.Melakukan Kebajikan Setelah Keburukan.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

"Bertakwalah kepada Allah dimana saja kamu berada, dan iringilah keburukan dengan kebajikan maka kebajikan itu akan menghapus keburukan tersebut, serta perlakukanlah manusia dengan akhlak yang baik." (HR Ahmad dan Tirmisdzi. Tirmidzi menilai hadits ini hasan shahih).


10. Merealisasikan Tauhid

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

" Allah azza wa jalla berfirman: " Barangsiapa yang melakukan kebajikan, maka ia mendapatkan pahala sepuluh kebajikan dan Aku tambah dan barangsiapa yang melakukan suatu keburukan, maka balasannya satu keburukan yang sama, atau diampuni dosanya. Barangsiapa yang mendekt kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta dan barangsiapa yang mendekat kepada-Ku sehasata, maka Aku mendekat kepadanya sedepa, barangsiapa mendekat kepada-Ku dengan berjalan , maka Aku datang kepadanya dengan berlari . Barangsiapa yang menemui-Ku dengan dosa sepenuh bumi tanpa menyekutukan Aku dengan sesuatu apapun, maka Aku menemuinya dengan maghfirah yang sama." (HR Muslim dan Ahmad)

11. Jangan Berpisah Dengan Orang-Orang Yang Baik

a. Persahabatan dengan orang-orang yang baik adalah amal shalih.

b. Mencintai orang-orang shalih menyebabkan seseorang bersama mereka, walaupun ia tidak mencapai kedudukan mereka dalam amal.

c. Manusia itu ada 3 golongan:

1. Golongan yang membawa dirinyadengan kendali takwadan mencegahnya dari kemaksiatan. Inilah golongan terbaik.

2. Golongan yang melakukan kemaksiatan dalam keadaan takut dan menyesal. Ia merasa dirinya berada dalam bahaya yang besar dan ia berharap suatu hari dapat berpisah dari kemaksiatan tersebut.

3. Golongan yang mencari kemaksiatan, bergembira dengannya dan menyesal karena kehilangan hal itu.

d. Penyesalan dan penderitaan karena melakukan kemaksiatan hanya dapat dipetik dari persahabatan yang baik.

e. Tidak ada alasan untuk berpisah dengan orang-orang yang baik.


12. Jangan Tinggalkan Da'wah

Said bin Jubair berkata,"Sekiranya seseorang tidak boleh menyuruh kebajikan dan mencegah dari kemungkaran sehingga tidak ada dalam dirinya sesuatu (kesalahan pun), maka tidak adaseorangpun yang menyeru kepada kebajikan danmencegah dari kemungkaran." Imam Malik berkomentar," Ia benar . Siapakah yang pada dirinya tidak ada sesuatupun (kesalahan)."

13. Jangan Cela Orang Lain Karena Perbuatan Dosanya.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menceritakan kepada para sahabat bahwasanya seseorang berkata,"Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni si Fulan. "Allah Subahanahu wa ta 'Ala berkata,"Siapakah yang bersumpah atas nama-Ku bahwa Aku tidak mengampuni sifulan? Sesungguhnya Aku telah mengampuni dosanya dan Aku telah menghapus amalmu." (HR Muslim)

14 October, 2006

Memburu Lailatul Qadar

Oleh K.H. SHIDDIQ AMIEN

PEMBICARAAN tentang Lailatul Qadar tidak pernah selesai karena unik dan menarik. Lailatul Qadar mengandung dua pengertian. Satu, malam saat turunnya Alquran. Allah SWT, berfirman, "Inna anzalnahu fi lailatil qadri" (Sesungguhnya Aku telah menurunkannya (Alquran) itu pada Lailatul Qadar) Q.S. Al-Qadar: 1.

Lailatul qadri di sini bermakna "Malam yang penuh berkah." Hal ini jika dihubungkan dengan firman-Nya, "Inna anzalnahu fi lailatin mubarakatain" (Sesungguhnya Aku telah menurunkannya Alquran pada malam yang penuh berkah). Q.S. Ad-Dukhan:3. "Berkah" berarti kebaikan yang banyak.


Lailatul qadar dalam pengertian ini terjadi pada bulan Ramadan dan terjadi hanya satu kali. Allah berfirman, "Syahru Ramadana alladzi unzila fihi Alquran" (Bulan Ramadan adalah bulan yang padanya diturunkan Alquran) Q.S. Al-Baqarah:185. Tentang tanggalnya masih ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama, sebagian besar ulama menyatakan Lailatul Qadar itu terjadi pada tanggal 17 Ramadan. Hal ini didasarkan pada firman Allah, "In kuntum amantum billahi wa ma anzalna 'ala 'abdina yaumal furqan, yaumaltaqal jam'ani" (Jika kamu beriman kepada Allah dan terhadap apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami pada hari Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan) Q.S. Al-Anfal:41. Yang dimaksud dengan "hari pertemuan dua pasukan" yaitu saat terjadinya Perang Badar, yang diyakini terjadi pada hari Jumat tanggal 17 Ramadan tahun kedua Hijriah.

Sahabat Ibnu Abbas r.a. menjelaskan bahwa Alquran yang diturunkan pada Lailatul qadar pada bulan Ramadan (dari Lauh Mahfudz) ke langit dunia sekaligus atau seluruhnya; baru kemudian secara berangsur diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. (R. At-Thabrani).

Kedua, Lailatul qadar dalam pengertian sebuah malam penuh berkah yang datang pada setiap bulan Ramadan. Pengertian ini didasarkan kepada hadis yang berbunyi, "Suila Rasulullah saw. 'an lailatul qadri, Fa qala, hiya fi kulli Ramadana" (Nabi saw. ditanya tentang Lailatul qadar, baliau menjawab, lailatul qadar ada pada setiap bulan Ramadan) H.R. Abu Daud.

Mengenai Lailatul qadar dalam pengertian ini tidak ditemukan keterangan yang menunjukkan tanggal yang pasti. Menurut sahabat Ubadah bin Shamit dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Nabi saw. pada suatu hari ke luar menemui para sahabatnya untuk memberi tahu tentang kapan Lailatul qadar itu adanya, tapi karena ada dua orang sahabat yang malah ribut, maka beliau tidak jadi memberitahukannya, beliau malah akhirnya menganjurkan, "Faltamisuha fit tasi'ati, was-sabta'ati, wal-khamisati" (Carilah olehmu pada tanggal 21 atau 23 atau 25).

Di hadis lain dari Siti Aisyah riwayat Imam Al-Bukhari, Nabi saw. memerintahkan, "Taharrau lailatul qadri fil-witri minal 'asyril awakhiri min Ramadhana" (Carilah Lailatul qadar itu pada tanggal-tanggal gasal dari sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan). Menurut riwayat Imam Muslim dijelaskan bahwa Nabi saw. jika memasuki sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan beliau meningkatkan kegiatannya, menghidupkan malamnya dengan mengurangi tidur dan membangunkan keluarganya. Malah beliau menyunatkan untuk berkitikaf di masjid selama sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadan.

Di antara hikmah tidak diberitahukannya tanggal yang pasti tentang Lailatul qadar ini mungkin tidak lepas dari karakteristik ajaran Islam yang memotivasi umatnya untuk rajin bekerja dan beribadah, seperti diperintahkan Allah, "Fa idza faraghta fanshab" (Apabila kamu telah selesai dari satu urusan maka carilah urusan yang lain) Q.S. Al-Insyirah:7.

Bisa dibayangkan jika Nabi saw. waktu itu jadi memberitahu tentang tanggal yang pasti datangnya Lailatul qadar itu, mungkin akan terjadi banyak orang yang melaksanakan salat tarawih, tadarus dan sebagainya hanya pada malam itu saja.

Tentang fadilah atau keutamaan dan berkah Lailatul qadar antara lain: (a) Nabi saw. bersabda, "Barang siapa yang melaksanakan salat qiyamu Ramadhan (salat tarawih) pada malam Lailatul qadar dengan dasar iman dan mengharap rida Allah, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu". (H.R. Al-Bukhari);

(b) Nabi saw. bersabda, "Apabila datang Lailatul qadar, Malaikat Jibril bersama malaikat lainnya turun ke bumi mendoakan kepada setiap hamba yang berzikir dan berdoa kepada Allah, Allah menyatakan kepada para malaikat bahwa Allah akan memenuhi doanya. Allah berfirman, "Pulanglah kamu sekalian, Aku telah mengampuni dosa kalian dan Aku telah mengganti kejelekan dengan kebaikan". Maka mereka pulang dan telah mendapatkan ampunan-Nya. (H.R. Al-Baihaqi dari Anas bin Malik)

Kedua hadis itu menunjukkan kepada kita bahwa bagi yang melaksanakan salat tarawih, memperbanyak zikir, doa dan istighfar, bertepatan Lailatul qadar dengan hati yang ikhlas, dengan cara yang benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. dan dengan khusyuk, insya Allah baginya akan mendapatkan ampunan-Nya. Sesuatu yang senantiasa menjadi harapan dan dambaan setiap insan mukmin. Karena dengan ampunan-Nya itulah seseorang akan mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan yang hakiki dan abadi, yakni kebahagiaan di akhirat kelak.

Tidak diketemukan keterangan yang sahih dan sharikh (jelas) tentang ciri-ciri atau tanda-tanda bahwa malam itu adalah Lailatul qadar, kecuali hadis riwayat Muslim yang menyatakan bahwa jika malam itu adalah Lailatul qadar maka pagi harinya matahari terbit dengan cuaca yang cerah. Artinya baru diketahui setelah Lailatul qadar itu lewat. Hikmah dari dirahasiakannya Lailatul qadar ini antara lain kita didorong dan dimotivasi untuk mengisi malam-malam Ramadan khususnya pada sepuluh hari terakhir dengan berbagai amal saleh seperti, tarawih, tadarus Alquran, doa dan istighfar.

Siti Aisyah pernah bertanya kepada Nabi saw. tentang doa yang bisa dibaca jika bertemu dengan Lailatul qadar, Nabi saw. menyuruhnya untuk membaca, "Allahumma innaka 'afuwun tuhibbul 'afwa fa' fu 'anni" (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan menyukai sifat pemaaf, maka maafkanlah segala dosa hamba) -H.R. Ahmad-

Kita berhaarap dan memohon ampunan Allah serta bimbingan inayah dan rahmat-Nya semoga kita diberi kekuatan dan kemampuan mengisi bulan Ramadan ini baik siang maupun malamnya dengan berbagai amal ibadah dari awal sampai berakhirnya bulan suci ini, dan dijadikan sebagai wasilah kita diampuni segala kealpaan dan dosa kita. Amien! Wallahu a'lamu bish-shawwab.***

sumber : http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1104/03/0108.htm

12 October, 2006

Hati pun Harus Berpuasa

Penulis : Mulyadi Al-Fadhil
"Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya." (QS. At-Taghabun [64] : 11).

Melakukan ibadah puasa (shaum), bukan saja sekadar menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, seperti makan dan minun dengan sengaja, atau bersetubuh. Tetapi kita pun harus mengindari hal-hal yang akan menghilangkan pahala puasa. Banyak di antara kita yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasa yang dilakukannya, kecuali lapar dan haus.

Rasulullah SAW bersabda, "Banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar. Dan banyak orang shalat malam, tidak mendapat apa-apa dari shalatnya kecuali begadang." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW juga bersabda, "Puasa bukanlah hanya meninggalkan dari makan dan minum, akan tetapi termasuk puasa adalah menghindarkan dari kata-kata yang tidak berguna dan dusta. Maka jika ada orang yang mencelamu atau usil kepadamu, katakanlah, saya sedang puasa." (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hiban, al-Hakim).

Menjaga Hati

Salah satu cara agar kita tidak kehilangan pahala puasa adalah dengan menjaga hati. Batalnya pahala puasa bermula dari hati yang kotor. Berghibah, namimah (mengadu domba), berdusta, atau mencela orang lain, akan terjadi karena hati yang tidak bersih. Karenanya, bukan hanya mulut saja yang harus berpuasa, hati kita pun harus berpuasa.

Dalam kitab Tsalatsuuna Dirasan Lishshaaimina, Syaikh Aidh Abdullah Al-Qarni menjelaskan, setiap mahluk mempuyai hati. Tapi hati ada dua, ada hati yang hidup disinari cahaya, dicerahkan iman, sarat dengan keyakinan, dan diramaikan takwa. Ada juga hati yang mati, sengsara dan menderita, di dalamnya terdapat kehancuran dan kerusakan. Petunjuk hati adalah asas semua petunjuk, dasar semua taufik, landasan dan pangkal semua perbuatan. Dalam sebuah hadits Rasululah SAW bersabda, "Ingatlah bahwa dalam tubuh terdapat segumpal darah, apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuhnya, dan apabila ia rusak maka rusak pula seluruh tubuh. Ingatlah, segumpal darah itu ialah hati."

Hati orang-orang beriman, baik pada bulan Ramadhan atau bulan lainnya, selalu berpuasa. Puasa hati adalah dengan mengosongkannya dari materi, bentuk-bentuk syirik yang merusak, keyakinan yang bathil, bisikan-bisikan jahat, niat-niat busuk, dan pikiran-pikiran keji. Hati seorang Mukmin ramai dengan cinta kepada Allah, ia mengenal Tuhannya dengan segala nama dan sifatNya seperti yang dijelaskan Allah sendiri tentangNya.

Baiknya hati adalah kebahagiaan di dunia dan akhirat, rusaknya hati adalah kehancurannya dalam jangka waktu yang tidak diketahui kecuali Allah. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya." (QS. Qaaf [50] : 37).

Hati seorang Mukmin puasa dari rasa sombong, sebab sombong akan menghancurkan hati. Kesombongan tak akan mendapat tempat di hati seorang Mukmin, sebab ia haram. Kemah, rumah, dan tempat berteduh kesombongan adalah hati. Bila kesombongan menempati hati, maka si empunya hati akan menjadi sakit dan dungu, akalnya tidak sempurna dan gemar bermain.

Menurut Al-Qarni, dalam sebuah hadits Qudsi Allah SWT berfirman, "Kesombongan adalah pakaianKu, keagungan adalah sarungKu. Barangsiapa bersaing denganKu dalam keduanya, Aku menyiksanya." Rasulullah SAW juga bersabda, "Barangsiapa sombong kepada Allah maka Allah akan merendahkannya, dan barangsiapa merendahkan hati kepada Allah maka Allah akan mengangkatnya."

Hati seorang Mukmin berpuasa dari rasa ujub (kagum atas dirinya sendiri), yaitu membayangkan dirinya sempurna, lebih utama dari orang lain. Inilah kehancuran dirinya. Rasulullah SAW bersabda, "Tiga hal yang merusak : Perasaan ujub seseorang kepada dirinya, kebakhilan yang, dituruti dan hawa nafsu yang diikuti." Obat ujub yaitu melihat aib sendiri, banyak kekurangan, ribuan salah dan khilaf yang dilakukan seorang hamba, yang ia lakukan kemudian ia lupakan, sedangkan yang tahu hanya Allah SWT.

Hati seorang Mukmin berpuasa dari dengki, sebab perasaan dengki menghancurkan semua perbuatan amal shaleh, memadamkan cahaya qalbu, memberhentikan jalannya menuju Allah SWT. Allah SWT berfirman, "Ataukah mereka dengki kepada manusia lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya?" (QS. An-Nisa [4] : 54).

Hati kita sebaiknya berpuasa seperti berpuasanya hati Rasulullah SAW, para sahabat, atau salafush shaleh. Selagi Allah SWT masih memberi kesempatan, jagalah hati, agar kita tidak kehilangan pahala berpuasa di bulan yang penuh ampunan, berkah dan rahmatNya. Wallahu a'lam bishshawwab.

URL : http://kotasantri.com/mimbar.php?aksi=Detail&sid=322

10 October, 2006

Puasanya Ummat Sebelum Kita

Penulis : Abi Abdullah


"Shaum" menurut makna lughawi (bahasa Arab) adalah menahan diri (imsak), baik dari makan & minum serta berbicara [1]. Adapun secara isthilahi (terminologi syari'at), bermakna Menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual, dan perbuatan-perbuatan maksiat, disertai dengan niat yang ikhlas, dari sejak terbit fajar sampai terbenam matahari (QS. 2/187, 19/26). Ibadah ini diwajibkan pada tahun ke-2 hijrah.

Puasa yang baik dan benar akan menjadi sarana bagi seorang mu'min untuk mencapai derajat taqwa, berdasarkan firmanNya : La'allakum tattaqun (QS. 2/183), dan bertaqwa sama artinya dengan proses pensucian diri seseorang (tazkiyyah nafs), berdasarkan QS. Asy-Syams, 91/7-10 (wa nafsin wamaa sawwaahaa, fa 'alhamahaa fujuuraha wa taqwaahaa). Oleh sebab itulah maka kita dapati bahwa syari'at puasa merupakan syariat yang telah diturunkan hampir setua umur manusia.

Kita akan dapati dalam paparan tentang syari'at shaum ummat sebelum kita tersebut, ada di antara mereka yang berpuasa dengan (selain tidak makan & minum) juga mereka tidak boleh berbicara, ada yang hanya boleh berbuka dengan sesauk air saja, dan ada yang istiqamah berpuasa selang sehari secara terus-menerus sepanjang masa.

Shaum di Zaman Ummat Nabi Zakaria, Maryam, dan Isa

"Maka makan, minum, dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah : Sesungguhnya aku telah bernadzar untuk berpuasa bagi Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini." (QS. Maryam, 19/26).

Berkata Imam Abu Ja'far Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya [2] sebagian mufassir menyatakan bahwa makna "shaumaa" dalam ayat tersebut yaitu : shaamat minat tha'aam wasy syaraab wal kalaam [3] (berpuasa makan, minum, dan bicara).

Imam Abul Fida' Ismail bin Umar bin Katsir Al-Quraisyi dalam tafsirnya [4] menambahkan bahwa riwayat tersebut selain dari Qatadah juga dari Anas, As-Suddy, dan AbduRRAHMAN bin Zaid. Hal tersebut karena bahwa syari'at mereka jika sedang berpuasa, maka haram makan, minum, dan berbicara.

Imam -muhyis sunnah- Abu Muhammad Al-Husein bin Mas'ud Al-Baghawi dalam tafsirnya [5] menambahkan bahwa Imam As-Suddi berkata bahwa syari'at puasa Bani Isra'il adalah : Barangsiapa yang ingin bersungguh-sungguh dalam berpuasa, maka tidak boleh makan dan berbicara sampai senja hari.

***

Shaum di Zaman Thalut dan Ummatnya

"Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata : Sesungguhnya ALLAH akan menguji kamu dengan suatu sungai, maka siapa di antara kamu meminum airnya, ia bukanlah pengikutku; dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menciduk seciduk tangan, maka dia adalah pengikutku. Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata : Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya. Maka orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui ALLAH, berkata : Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin ALLAH dan ALLAH beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah, 2/249).

Berkata Imam Abu Ja'far At-Thabari dalam tafsirnya [6] bahwa ALLAH menguji mereka untuk mengetahui ketaatan mereka dengan menahan diri mereka (berpuasa, pen) tidak meminum dari air sungai tersebut, dan menjadikan perbuatan tersebut (puasa minum) itu menjadi tolok ukur keimanan mereka kepada ALLAH dan Hari Akhir [7].

Dari atsar Wahab bin Munabbih [8] berkata : Ketika Thalut dan balatentaranya berangkat maka pasukannya berkata : Kita tidak membawa air, maka berdoalah kepada ALLAH agar kita bisa menempuh perjalanan kita ini dan senantiasa melewati sungai! Maka berkata Thalut : Sesungguhnya ALLAH kelak akan menguji kalian dengan sungai tersebut.

Imam Bukhari dalam shahihnya menyatakan bahwa jumlah orang-orang yang mampu bertahan dalam ujian ALLAH tersebut hanya berjumlah 309 orang saja, yaitu sama jumlahnya dengan jumlah pasukan kaum muslimin yang ikut dalam perang Badr [9].

***

Shaumnya Nabi Daud

"Dari Ibnu Umar berkata (dari hadits yang panjang) : Bertanya Nabi : Bagaimana kamu berpuasa? Jawabku : Setiap hari. Tanya beliau lagi : Bagaimana kamu mengkhatamkan Al-Qur'an? Jawabku : Setiap malam. Lalu sabda beliau : Puasalah 3 hari setiap bulan dan khatamkan Al-Qur'an 1 kali setiap bulan! Maka aku berkata : Aku kuat berpuasa lebih dari itu. Sabda Nabi : Puasalah 3 hari setiap pekan! Sabda Nabi : Berbukalah 2 hari dan berpuasalah 2 hari. Aku berkata lagi : Aku kuat berpuasa lebih dari itu. Sabda beliau : Puasalah sebaik-baik puasa, yaitu puasa Daud, puasa sehari dan berbuka sehari." [10].

Dalam hadits di atas disebutkan tentang puasa (sunnah) yang paling utama, yaitu puasanya NabiyuLLAAH Daud yang syari'at puasanya adalah berpuasa selang sehari sepanjang masa.

Semoga ALLAH merahmati beliau, alangkah beratnya syari'at puasa beliau ini. Seandainya hal ini diwajibkan kepada ummat kita, niscaya akan banyaklah yang bermaksiat karena tidak mampu melaksanakannya.

***

Syari'at Puasa Ummat Terdahulu adalah Tidak Ada Makan Sahur

"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. ALLAH mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu ALLAH mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan ALLAH untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan ALLAH, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah ALLAH menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia, supaya mereka bertakwa."

Imam Al-Bukhari dalam shahihnya meriwayatkan beberapa hadits shahih [11] berkaitan dengan sabab-nuzul (sebab turunnya) ayat ini, yaitu bahwa syari'at puasa sebelum turunnya ayat tersebut di atas, dimana kaum muslimin apabila sudah tidur maka mereka tidak boleh lagi makan dan minum sampai bertemu buka puasa pada keesokan harinya, hingga saat seorang sahabat yang bernama Qays bin Shirmah Al-Anshary, setelah ia bekerja seharian, maka saat tiba waktu berbuka puasa ia pun tertidur karena kelelahan, maka ia pun tidak boleh makan dan minum (berbuka), hingga ketika keesokan harinya saat tengah hari ia pun jatuh pingsan. Lalu diceritakanlah hal tersebut pada Nabi Muhammad, maka turunlah ayat ini : "Dihalalkan untuk kalian pada malam hari di bulan puasa... dan seterusnya."

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany dalam syarahnya atas hadits Barra' [12] di atas menyatakan bahwa larangan ini berlaku terkait dengan tidur sebelum berbuka. Adapun jika setelah berbuka, maka boleh makan & minum sampai tibanya waktu Isya. Jika telah lewat waktu Isya, maka tidak boleh lagi makan & minum. Ini juga disepakati oleh Imam Al-Kasymiry dalam syarahnya atas hadits tersebut [13] dan beliau menambahkan bahwa sebelum ayat ini diturunkan maka kaum muslimin dilarang untuk berhubungan suami istri selama sebulan Ramadhan.

Demikianlah beratnya syari'at shaum ummat sebelum kita, sehingga disebutkan dalam hadits-hadits shahih bahwa perbedaan antara shaum ummat kita dan ummat sebelum kita adalah adanya makan Sahur [14]. Oleh sebab itu Nabi kita mensunnahkan dengan sangat (mu'akkadah) kepada ummatnya untuk melakukan sahur, sekalipun (karena sangat mengantuk & lelahnya) hanya sahur dengan seteguk air (wa law bijur'atin min maa'in) [15].

ALLAAHu a'lamu bish Shawaab...

---

[1] Lisanul Arab, XII/350-351.
[2] Tafsir Jami'ul Bayan fi Ta'wilil Qur'an, XVIII/183.
[3] Sanadnya dari Hasan bin Yahya dari AbduRRAZZAQ dari Ma'mar dari Qatadah.
[4] Tafsir Al-Qur'an al-'Azhim, V/225.
[5] Tafsir Ma'alimut Tanzil, V/228.
[6] Tafsir Al-Jami'ul Bayan, V/339.
[7] Ibid, V/341.
[8] Sanadnya dari riwayat Ibnu Humaid dari Salamah dari Ibnu Ishaq.
[9] Al-Jami'us Shahih, hadits no. 3957-3959.
[10] HR. Bukhari, XV/477 no. 4664. Hadits-hadits tentang puasa Nabi Daud ini, ditakhrij juga dalam bab-bab lain dalam shahih Bukhari, yaitu pada juz VII/95-96, XI/228, XIX/319; Juga oleh Imam Muslim VI/41,45,49,50,51,55; dan juga ditakhrij oleh selain kedua Imam Muhadditsain tersebut.
[11] Al-Jami'us Shahih, VI/490-491 dan XIII/448.
[12] Fathul Bari', VI/160.
[13] Faydhul Bariy Li Syarhil Bukhariy, VI/238.
[14] Shahih Muslim V/388; Abu Daud VI/287; Tirmidzi III/144; Nasa'i VII/335-336; Ahmad XXXVI/164; Al-Baihaqi dlm Al-Kubra' IV/703; Ad-Darimi V/188.
[15] Hadits Shahih riwayat Ibnu Hibban XIV/450 hadits no. 3545. Dan dishahihkan juga oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa Tarhib, I/258 hadits no. 1071; juga dalam Shahih Al-Jami' XII/203 hadits no. 2945. Ada lafzh shahih yang lain dalam riwayat As-Suyuthi dalam Jami' Shaghir yaitu dengan lafzh : Wa law bil ma', lihat Shahih Al-Jami' XII/202 hadits no. 2944.

*) Serial TAZKIYYAH-NAFS : Puasanya Ummat Sebelum Kita

URL : http://kotasantri.com/mimbar.php?aksi=Detail&sid=319

06 October, 2006

Puasa dan Pengendalian Diri


Oleh : KH Abdullah Gymnastiar


"Saudaraku, ibadah puasa merupakan bagian dari pendidikan membentuk insan sempurna (insan kamil) yakni upaya memanusiakan manusia menjadi makhluk yang utuh sebagai khalifah di muka bumi ini."

Saudaraku, ibadah puasa merupakan bagian dari pendidikan membentuk insan sempurna (insan kamil) yakni upaya memanusiakan manusia menjadi makhluk yang utuh sebagai khalifah di muka bumi ini. Kehendak untuk menjadi hamba yang sesungguhnya dan khalifah adil dan amanah harus menempuh berbagai proses sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.

Melalui proses pengendalian diri dalam berpuasa, kaum muslimin akan mampu memposisikan dirinya sebagai khalifah ditengah-tengah manusia. Melalui proses puasa juga bisa memperhalus perasaan, mempertajam daya pikir, dan meningkatkan solidaitas kepada sesama manusia. Itulah sebabnya bagi mereka yang sedang menjalankan puasa, Nabi Muhammad SAW menganjurkan untuk senantiasa melakukan berbagai ibadah lainnya hingga bisa menggapai gelar insan takwa.

Manusia yang sanggup menghadirkan perasaan serta jiwa dengan Allah, ia membangun kesadaran dalam semua situasi, pikiran, dan sikap maupun perilaku di mana pun dan kapan pun senantiasa terkontrol oleh kesadaran dirinya akan kehadiran sang pencipta. Sedangkan manusia takwa yakni mampu memainkan fungsi-fungsi kekhalifahannya melalui proses hubungan sosial yang diperankannya.





Taqwa yang disyariatkan pada dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah:183 bukanlah rumusan yang nyata, namun bisa diamati dan dirasakan dalam berbagai kehidupan sosial. Sehingga, orang yang bertaqwa bukan hanya terpaku kepada upaya mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah mahdlah saja melainkan juga menyatukan dirinya dalam kehidupan di masyarakat. Wallahu a'lam bish showab

sumber : cybermq

03 October, 2006

Kapankah Puasa Ramadhan Diwajibkan?

Diawal perjalanan dakwah Rasulullah SAW di Mekkah, puasa Ramadhan belum diwajibkan, akan tetapi puasa Ramadhan diwajibkan setelah hijrahnya Rasulullah SAW ke Madina Munawarah, setelah kaum mukminin memiliki daulah Islamiyah, dan setelah Allah SWT menancapkan keimanan yang kuat di hati kaum mukminin, yaitu di tahun ke-2 hijriyah dimana Allah menurunkan ayat : "Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan bagi kaum-kaum sebelum kalian, semoga kalian menjadi orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Baqarah : 183).

Dalam ayat tersebut, Allah memanggil orang Islam dengan panggilan iman (wahai orang-orang yang beriman) untuk menyalakan dan mengobarkan keimanan yang ada dalam hati kaum muslimin serta menumbuhkan ketundukan dan ketha'atan dalam jiwa mereka. Karena tanpa 2 hal ini manusia tidak akan menjalankan ibadah dengan keinginan yang murni, niat yang benar, ridha dan ikhlas, serta bersemangat dalam beribadah untuk mendapatkan surgaNya. Dan inilah salah satu rahasia yang terpendam dalam kebanyakan ayat-ayat perintah dan larangan (ayatus tasrii'iyah) dengan menyeru kaum mukminin dengan panggilan iman.

Berkata ibnu Mas'ud RA : "Jika anda mendengar Allah memanggil dan menyeru dengan panggilan "wahai orang-orang yang beriman", maka perhatikan dan pasanglah telinga anda! Karena sesungguhnya panggilan itu mengandung suatu kebaikan yang Allah perintahkan, atau suatu kejelekan yang Allah melarangnya." Yang dimaksudkan beliau (Ibnu Mas'ud) di sini adalah perhatikanlah sesungguhnya setelah seruan Allah itu ada 2 kemungkinan yang dikandung dalam ayat tersebut, yaitu perintah yang didalamnya ada kebaikan bagi kaum mukminin yang harus dilaksanakan; atau suatu larangan dari keburukan & kejelekan untuk dijauhi bagi kaum mukminin.
Maka panggilan iman didahulukan dari pada perintah ataupun larangan itu agar kaum mukminin bersegera dan bersemangat untuk menjalankan perintah Allah tersebut dengan ikhlas dan rasa rindu dengan perintah itu. Dan Allah telah menyebutkan serta memanggil kaum mukminin dengan shighah ini sebanyak 89 (delapan puluh sembilan) ayat di dalam Al-Qur'an & mengandung hukum, perintah, dan larangan yang berbeda-beda.

Perlu diketahui pula bahwasannya perintah puasa bagi umat Nabi Muhammad SAW adalah uswah dan mengikuti umat-umat yang terdahulu. Dan bukan umat Islam saja yang diwajibkan berpuasa, bahkan umat-umat terdahulu juga telah diwajibkan puasa sebagaimana yang disebutkan dalam ayat tersebut : "Sebagaimana telah diwajibkan (puasa) bagi umat-umat terdahulu."

Berkata Hasan al-Basri : "Sesunggunya Allah Ta'ala telah mewajibkan puasa Ramadhan kepada kaum yahudi & nasrani (la'natullahi alimim) sebelum kita. Adapun orang yahudi menyelisihi perintah Allah dan meningalkan puasa di bulan Ramadhan yang mulia tersebut, mereka menggantinya dengan puasa satu hari dalam setahun, yang mereka yakini pada hari itu adalah hari ditengelamkannya Fir'aun dan pengikutnya serta diselamatkannya Nabi Musa AS dan Bani Israel dari kejaran Fir'aun.

Adapun kaum nasrani maka mereka berpuasa Ramadhan bertepatan dengan musim yang sangat panas, karena itu mereka meninggalkan puasa itu dan menggantikannya pada waktu musim semi (musim rabi') & mereka mengatakan : "Kami tambahi puasa itu 20 hari sebagai kafarah (penganti) terhadap apa yang telah kami lakukan (menganti waktu puasa di bulan semi)." Maka mereka menjadikan puasa itu 50 hari sesuai syari'at dan perintah dari pemuka agama, rahib, dan pendeta mereka. Maka tentang mereka ini Allah telah berfirman dalam QS. At-Taubah : 31, "Mereka (kaum nasrani) telah menjadikan pendeta dan rahib-rahib mereka sebagai sembahan selain Allah."

Sulaiman Effendi - Saudi Arabia