25 August, 2009

Puasa dan Kejujuran

Di era materialisme dewasa ini, kejujuran telah banyak dicampakkan dari
tata pergaulan sosial-ekonomi-politik dan disingkirkan dari bingkai
kehidupan manusia. Fenomena ketidak jujuran benar-benar telah menjadi
realitas sosial yang menggelisahkan. Drama ketidakjujuran saat ini telah
berlangsung sedemikian transparan dan telah menjadi semacam rahasia umum
yang merasuk ke berbagai wilayah kehidupan manusia.

Sosok manusia jujur telah menjadi makhluk langka di bumi ini. Kita lebih
mudah mencari orang-orang pintar daripada orang-orang jujur. Keserakahan
dan ketamakan kepada materi kebendaan, mengakibatkan manusia semakin jauh
dari nilai-nilai kejujuran dan terhempas dalam kubangan materialisme dan
hedonisme yang cendrung menghalalkan segala cara.
Pada masa sekarang, banyak manusia tidak mempedulikan jalan-jalan yang
halal dan haram dalam mencari uang dan jabatan . Sehingga kita sering
mendengar ungkapan-ungkapan kaum materialis, “Mencari yang haram
saja sulit, apalagi yang halal”. Bahkan selalu diucapkan
orang,”kalau jujur akan terbujur”,”kalau lurus akan
kurus”,kalau ihklas akan tergilas”.

Ungkapan-ungkapan itu menunjukkan bahwa manusia zaman kini telah dilanda
penyakit mental yang luar biasa, yaitu penyakit korup dan ketidak jujuran.

Nabi muhammad Saw pernah memprediksi, bahwa suatu saat nanti, diakhir
zaman,manusia dalam mencari harta,tidak mempedulikan lagi mana yang halal
dan mana yang haram. (HR Muslim).

Ramalan Nabi pada masa kini telah menjadi realitas sosial yang mengerikan,
bahkan implikasinya telah menjadi patologi sosial yang parah, seperti
menjamurnya korupsi, pungli, suap, sogok,uang pelicin dsb. Banyak kita
temukan pencuri-pencuri berdasi melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam
mengelola proyek. Manusia berlomba-lomba mengejar kekayaan dan kemewahan
dunia secara massif, tanpa mempedulikan garisan-garisan syariah dan
moralitas.

Era reformasi yang telah berlangsung lebih lebih sepuluh tahun, praktek
kolusi,korupsi dan suap menyuap masih saja menjadi kebiasaan masyarakat
kita . Untuk mengatasi dan mengurangi segala destruktip tersebut, puasa
merupakan ibadah yang paling ampuh dan efektif, asalkan pelaksanaan puasa
tersebut dilakukan dengan dasar iman yang mantap kepada Allah, dan ihtisab
(mawas diri), serta penghayatan yang mendalam tentang hikmat yang
terkandung di dalam puasa Ramadhan.

Puasa melatih kejujuran
Berbeda dengan sifat ibadah yang ada, puasa adalah ibadah sirriyah
(rahasia). Dikatakan sirriyah, karena yang mengetahui seseorang itu
berpuasa atau tidak, hanyalah orang yang berpuasa itu sendiri dan Allah
SWT.
Dalam ibadah puasa, kita dilatih dan dituntut untuk berlaku jujur.
Kita dapat saja makan dan minum seenaknya di tempat sunyi yang tidak
terlihat seorangpun. Namun kita tidak akan mau makan atau minum,
karena kita sedang berpuasa. Padahal, tidak ada orang lain yang tahu
apakah kita puasa atau tidak. Namun kita yakin, perbuatan kita itu
dilihat Allah swt..
Orang yang sedang berpuasa juga dapat dengan leluasa berkumur sambil
menahan setetes air segar ke dalam kerongkongan, tanpa sedikitpun
diketahui orang lain. Perbuatan orang itu hanya diketahui oleh orang
yang bersangkutan. Hanya Allah dan diri si shaim itu saja yang
benar-benar mengetahui kejujuran atau kecurangan dalam menjalankan
ibadah puasa. Tetapi dengan ibadah puasa, kita tidak berani berbuat
seperti itu, takut puasa batal.
Orang yang berpuasa dilatih untuk menyadari kehadiran Tuhan. Ia dilatih
untuk menyadari bahwa segala aktifitasnya pasti diketahui dan diawasi oleh
Allah SWT.Apabila kesadaran ketuhanan ini telah menjelma dalam diri
seseorang melalui training dan didikan puasa, maka Insya Allah akan
terbangun sifat kejujuran.
Jika manusia jujur telah lahir, dan menempati setiap sektor dan instansi,
lembaga bisnis atau lembaga apa saja, maka tidak adalagi korupsi, pungli,
suap-menyuap dan penyimpangan-penyimpangan moral lainnya.
Kejujuran merupakan mozaik yang sangat mahal harganya. Bila pada diri
seorang manusia telah melekat sifat kejujuran, maka semua pekerjaan dan
kepercayaan yang diamanahkan kepadanya dapat di selesaikan dengan baik dan
terhindar dari penyelewengan-penyelewengan. Kejujuran juga menjamin
tegaknya keadilan dan kebenaran.
Secara psikologis, kejujuran mendatangkan ketentraman jiwa. Sebaliknya,
seorang yang tidak jujur akan tega menutup-nutupi kebenaran dan tega
melakukan kezaliman terhadap hak orang lain.Ketidakjujuran selalu
meresahkan masyarakat, yang pada gilirannnya mengancam stabilitas sosial.
Ketidak jujuran selalu berimplikasi kepada ketidakadilan. Sebab orang yang
tidak jujur akan tega menginjak-injak keadilan demi keuntungan material
pribadi atau golongannya.
Berlaku jujur, sungguh menjadi bermakna pada masa sekarang,, masa yang
penuh dengan kebohongan dan kepalsuan. Pentingnya kejujuran telah banyak
disapaikan Rasulullah SAW. Diriwayatkat bahwa, Rasulullah pernah
didatangi oleh seorang pezina yang ingin taubat dengan sebenarnya.
Rasulullah menerimanya dengan satu syarat, yaitu,agar orang tersebut
berlaku jujur dan tidak bohong
Syarat yang kelihatan sangat ringan untuk sebuah pertaubatan besar, tetapi
penerapannya dalam segala aspek kehidupan sangat berat.Dan ternyata syarat
jujur tersebut sangat ampuh untuk menghentikan perbuatan zina. Jika ia
tetap berzina secara sembunyi-sembunyi, lalu bagaimana ia harus menjawab
jika Rasulullah menanyainya tentang apakah ia masih berzina atau
tidak.Untuk menghindari berbohong kepada Nabi, maka si pezina mengakhiri
prilakunya yang dusta itu dan kemudian benar-benar bertaubat dengan penuh
penghayatan.
Dari riwayat itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa kejujuran sangat
signifikan dalam membersihkan prilaku menyimpang, seperti korupsi, kolusi,
penipuan, manipulasi, suap-menyuap dan sebagainya.
Dewasa ini kesadaran untuk menumbuhkan sifat kejujuran sebagai buah dari
ibadah puasa, kiranya perlu mendapat perhatian serius. Pendidikan
kejujuran yang melekat pada ibadah puasa, perlu dikembangkan sebagai
bagian dari kehidupan riel dalam masyarakat. Sebab apabila kejujuran telah
disingkirkan, maka kondisi masyarakat akan runyam. Korupsi dan kolusi
terjadi di mana-mana, pungli merajalela, kemungkaran sengaja dibeking oleh
oknum-oknum tertentu demi mendapatkan setoran uang.
Fenomena kebohongan dan tersingkirnya sifat kejujuran, mengantarkan
masyarakat dan bangsa kita pada beberapa musibah nasional yang berlangsung
secara beruntun dan silih berganti tiada henti. Terjadinya malapetaka
berupa krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia adalah cermin paling
jelas dari makin hilangnya sukma. kejujuran dan semakin mekarnya kepalsuan
dalam kehidupan bangsa kita.
Dalam menghadapi kasus-kasus yang gawat seperti itu, pesan-pesan profetik
keagamaan seperti pesan luhur ibadah puasa dapat ditransformasikan untuk
membongkar sangkar kepalsuan dan mem bangun kejujuran.
Ada yang secara pesimis berpendapat, bahwa membangun kejujuran pada era
materialisme adalah suatu utopia (angan-angan) mengingat mengakarnya sifat
ketidak jujuran dalam masyarakat dan bangsa kita. Sebagai orang beriman
yang menyandang peringkat khairah ummah, sikap pesimis di atas harus
dibuang jauh-jauh.Sebab gerakan amarma’ruf nahi mungkar yang
dilandasi iman, harus tetap dilancarkan, agar konstelasi dunia ini tidak
semakin parah.

Realitas menunjukkan, bahwa kesemarakan ramadhan dari tahun ke tahun
semakin meningkat, namun ironisnya, bersamaan dengan itu penyimpangan dan
ketidakjujuran masih berjalan terus. Padahal, suatu bulan kita dilatih dan
didik untuk berlaku jujur, menjadi orang yang dapat dipercaya. Bila selama
satu bulan itu, orang-orang yang berpuasa benar-benar berlatih secara
serius dengan penuh penghayatan terhadap hikmah puasa, maka pancaran
kejujuran akan terpantul dari dalam jiwa mereka. Kalau puasa Ramadhan
yang dilakukan tidak melahirkan manusia-manusia jujur, berarti kualitas
puasa orang tersebut masih sebatas lapar dan dahaga. Karena puasa yang
dilakukan tidak memantulkan refleksi kejujuran. Kalau orang yang
berpuasa, masih mau menerima suap dari orang-orang yang mencari pekerjaan,
berarti kualitas ibadah orang tersebut masih sangat rendah. Kalau orang
yang berpuasa, masih mau melakukan mark up dalam proyek, korupsi dan
kolusi, berarti puasa yang dilakukan masih jauh dari tujuan puasa.
Kalau pasca puasa Ramadhan, kejujuran semakin tipis atau
sirna,pungli,korupsi dan kolusi tetap menjadi kebiasaan, barang kali puasa
yang dilakukan tidak didasari iman, tetapi mungkin ia melakukan puasa
hanya karena mengikuti tradisi. Untuk mewujudkan manusia jujur, perlu
peningkatan iman dan penghayatan kesadaran kehadiran Tuhan. Tanpa upaya
ini, kejujuran tak kan lahir dari orang yang berpuasa Cara awalnya ialah
dengan mengikuti Training ESQ atau Pesantren Qalbu. Hasilnya sudah
terbukti secara sifnifikan di mana-mana. Banyak BUMN omzetnya meningkat
secara signifikan setelah para direktur dan managernya ikut training ESQ
(Emosional Spitual Quentiont). yang dilaksanakan oleh Ary Ginanjar

sumber : pesantren virtual
Oleh : Ustadz Agustianto, MA

Agustian.

10 August, 2009

Puasa Demi Menggapai Ridho Ilahi

Saudaraku, semoga Allah merahmatimu, syariat Islam yang mulia ini telah memberikan kelapangan dan kemudahan bagi ummat manusia. Tidaklah Allah membebankan suatu kewajiban kepada seseorang melainkan dengan memperhatikan kemampuannya. Allah Ta’ala berfirman, “Tidaklah Allah membebankan kepada seseorang kecuali menurut kemampuannya.” (Qs. Al Baqoroh: 286).
Demikian pula ibadah puasa yang disyari’atkan kepada kita. Apabila seseorang justru dikhawatirkan tertimpa bahaya dengan melakukan puasa maka dia diperbolehkan bahkan lebih utama untuk tidak berpuasa ketika itu, seperti orang yang sedang sakit dan bepergian jauh. Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka) maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Alloh menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Qs. Al Baqoroh: 185)

Saudaraku, silakan simak 5 artikel bersambung dengan tajuk “Puasa Menahan Diri Demi Menggapai Ridho Illahi” pada link di bawah ini:

  1. Puasa Menahan Diri Demi Menggapai Ridho Illahi (bag. 1)
  2. Puasa Menahan Diri Demi Menggapai Ridho Illahi (bag. 2)
  3. Puasa Menahan Diri Demi Menggapai Ridho Illahi (bag. 3)
  4. Puasa Menahan Diri Demi Menggapai Ridho Illahi (bag. 4)
  5. Puasa Menahan Diri Demi Menggapai Ridho Illahi (bag. 5)


sumber : muslim.or.id

02 August, 2009

Perjalanan Menuju Akhirat

Hari akhirat, hari setelah kematian yang wajib diyakini kebenarannya oleh setiap orang yang beriman kepada Allah ta’ala dan kebenaran agama-Nya. Hari itulah hari pembalasan semua amal perbuatan manusia, hari perhitungan yang sempurna, hari ditampakkannya semua perbuatan yang tersembunyi sewaktu di dunia, hari yang pada waktu itu orang-orang yang melampaui batas akan berkata dengan penuh penyesalan.
يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي

“Duhai, alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.” (Qs. Al Fajr: 24)

Maka seharusnya setiap muslim yang mementingkan keselamatan dirinya benar-benar memberikan perhatian besar dalam mempersiapkan diri dan mengumpulkan bekal untuk menghadapi hari yang kekal abadi ini. Karena pada hakikatnya, hari inilah masa depan dan hari esok manusia yang sesungguhnya, yang kedatangan hari tersebut sangat cepat seiring dengan cepat berlalunya usia manusia. Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Hasyr: 18)

Dalam menafsirkan ayat di atas Imam Qotadah berkata: “Senantiasa tuhanmu (Allah) mendekatkan (waktu terjadinya) hari kiamat, sampai-sampai Dia menjadikannya seperti besok.” (Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Ighaatsatul Lahfan (hal. 152 – Mawaaridul Amaan). Beliau (Abu Qatadah) adalah Qotadah bin Di’aamah As Saduusi Al Bashri (wafat setelah tahun 110 H), imam besar dari kalangan tabi’in yang sangat terpercaya dan kuat dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat kitab Taqriibut Tahdziib, hal. 409)

Semoga Allah ta’ala meridhai sahabat yang mulia Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu yang mengingatkan hal ini dalam ucapannya yang terkenal: “Hisab-lah (introspeksilah) dirimu (saat ini) sebelum kamu di-hisab (diperiksa/dihitung amal perbuatanmu pada hari kiamat), dan timbanglah dirimu (saat ini) sebelum (amal perbuatan)mu ditimbang (pada hari kiamat), karena sesungguhnya akan mudah bagimu (menghadapi) hisab besok (hari kiamat) jika kamu (selalu) mengintrospeksi dirimu saat ini, dan hiasilah dirimu (dengan amal shaleh) untuk menghadapi (hari) yang besar (ketika manusia) dihadapkan (kepada Allah ta’ala):

يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ

“Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Allah), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi-Nya).” (Qs. Al Haaqqah: 18). (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab beliau Az Zuhd (hal. 120), dengan sanad yang hasan)

Senada dengan ucapan di atas sahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya dunia telah pergi meninggalkan (kita) sedangkan akhirat telah datang di hadapan (kita), dan masing-masing dari keduanya (dunia dan akhirat) memiliki pengagum, maka jadilah kamu orang yang mengagumi/mencintai akhirat dan janganlah kamu menjadi orang yang mengagumi dunia, karena sesungguhnya saat ini (waktunya) beramal dan tidak ada perhitungan, adapun besok (di akhirat) adalah (saat) perhitungan dan tidak ada (waktu lagi untuk) beramal.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Az Zuhd (hal. 130) dan dinukil oleh Imam Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitab beliau Jaami’ul ‘uluumi wal hikam (hal. 461)).

Jadilah kamu di dunia seperti orang asing…

Dunia tempat persinggahan sementara dan sebagai ladang akhirat tempat kita mengumpulkan bekal untuk menempuh perjalanan menuju negeri yang kekal abadi itu. Barangsiapa yang mengumpulkan bekal yang cukup maka dengan izin Allah dia akan sampai ke tujuan dengan selamat, dan barang siapa yang bekalnya kurang maka dikhawatirkan dia tidak akan sampai ke tujuan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita sikap yang benar dalam kehidupan di dunia dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.” (HR. Al Bukhari no. 6053)

Hadits ini merupakan bimbingan bagi orang yang beriman tentang bagaimana seharusnya dia menempatkan dirinya dalam kehidupan di dunia. Karena orang asing (perantau) atau orang yang sedang melakukan perjalanan adalah orang yang hanya tinggal sementara dan tidak terikat hatinya kepada tempat persinggahannya, serta terus merindukan untuk kembali ke kampung halamannya. Demikianlah keadaan seorang mukmin di dunia yang hatinya selalu terikat dan rindu untu kembali ke kampung halamannya yang sebenarnya, yaitu surga tempat tinggal pertama kedua orang tua kita, Adam ‘alaihis salam dan istrinya Hawa, sebelum mereka berdua diturunkan ke dunia.

Dalam sebuah nasehat tertulis yang disampaikan Imam Hasan Al Bashri kepada Imam Umar bin Abdul Azizi, beliau berkata: “…Sesungguhnya dunia adalah negeri perantauan dan bukan tempat tinggal (yang sebenarnya), dan hanyalah Adam ‘alaihis salam diturunkan ke dunia ini untuk menerima hukuman (akibat perbuatan dosanya)…” (Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Ighaatsatul Lahfaan (hal. 84 – Mawaaridul Amaan))

Dalam mengungkapkan makna ini Ibnul Qayyim berkata dalam bait syairnya:

Marilah (kita menuju) surga ‘adn (tempat menetap) karena sesungguhnya itulah

Tempat tinggal kita yang pertama, yang di dalamnya terdapat kemah (yang indah)

Akan tetapi kita (sekarang dalam) tawanan musuh (setan), maka apakah kamu melihat

Kita akan (bisa) kembali ke kampung halaman kita dengan selamat?

(Miftaahu Daaris Sa’aadah (1/9-10), juga dinukil oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 462))

Sikap hidup ini menjadikan seorang mukmin tidak panjang angan-angan dan terlalu muluk dalam menjalani kehidupan dunia, karena “barangsiapa yang hidup di dunia seperti orang asing, maka dia tidak punya keinginan kecuali mempersiapkan bekal yang bermanfaat baginya ketika kembali ke kampung halamannya (akhirat), sehingga dia tidak berambisi dan berlomba bersama orang-orang yang mengejar dunia dalam kemewahan (dunia yang mereka cari), karena keadaanya seperti seorang perantau, sebagaimana dia tidak merasa risau dengan kemiskinan dan rendahnya kedudukannya di kalangan mereka.” (Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 461), dengan sedikit penyesuaian)

Makna inilah yang diisyaratkan oleh sahabat yang meriwayatkan hadits di atas, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu ketika beliau berkata: “Jika kamu (berada) di waktu sore maka janganlah tunggu datangnya waktu pagi, dan jika kamu (berada) di waktu pagi maka janganlah tunggu datangnya waktu sore, serta gunakanlah masa sehatmu (dengan memperbanyak amal shaleh sebelum datang) masa sakitmu, dan masa hidupmu (sebelum) kematian (menjemputmu).” (Diriwayatkan oleh imam Al Bukhari dalam kitab Shahihul Bukhari, no. 6053).

Bahkan inilah makna zuhud di dunia yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan Imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya: Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)? Beliau berkata: “(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia (berada) di waktu pagi dia berkata: Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi.” (Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 465))

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوى

Berbekallah, dan sungguh sebaik-baik bekal adalah takwa

Sebaik-baik bekal untuk perjalanan ke akhirat adalah takwa, yang berarti “menjadikan pelindung antara diri seorang hamba dengan siksaan dan kemurkaan Allah yang dikhawatirkan akan menimpanya, yaitu (dengan) melakukan ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat kepada-Nya.” (Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 196))

Maka sesuai dengan keadaan seorang hamba di dunia dalam melakukan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan perbuatan maksiat, begitu pula keadaannya di akhirat kelak. Semakin banyak dia berbuat baik di dunia semakin banyak pula kebaikan yang akan di raihnya di akhirat nanti, yang berarti semakin besar pula peluangnya untuk meraih keselamatan dalam perjalanannya menuju surga.

Inilah diantara makna yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Setiap orang akan dibangkitkan (pada hari kiamat) sesuai dengan (keadaannya) sewaktu dia meninggal dunia.” (HR. Muslim, no. 2878). Artinya: Dia akan mendapatkan balasan pada hari kebangkitan kelak sesuai dengan amal baik atau buruk yang dilakukannya sewaktu di dunia. (Lihat penjelasan Al Munaawi dalam kitab beliau Faidhul Qadiir (6/457))

Landasan utama takwa adalah dua kalimat syahadat: Laa ilaaha illallah dan Muhammadur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, sebaik-baik bekal yang perlu dipersiapkan untuk selamat dalam perjalanan besar ini adalah memurnikan tauhid (mengesakan Allah ta’ala dalam beribadah dan menjauhi perbuatan syirik) yang merupakan inti makna syahadat Laa ilaaha illallah dan menyempurnakan al ittibaa’ (mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perbuatan bid’ah) yang merupakan inti makna syahadat Muhammadur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka dari itu, semua peristiwa besar yang akan dialami manusia pada hari kiamat nanti, Allah akan mudahkan bagi mereka dalam menghadapinya sesuai dengan pemahaman dan pengamalan mereka terhadap dua landasan utama Islam ini sewaktu di dunia.

Fitnah (ujian keimanan) dalam kubur yang merupakan peristiwa besar pertama yang akan dialami manusia setelah kematiannya, mereka akan ditanya oleh dua malaikat: Munkar dan Nakir (Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits riwayat At Tirmidzi (no. 1083) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahiihah, no. 1391) dengan tiga pertanyaan: Siapa Tuhanmu?, apa agamamu? dan siapa nabimu? (Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih riwayat Ahmad (4/287-288), Abu Dawud, no. 4753 dan Al Hakim (1/37-39), dinyatakan shahih oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi.). Allah hanya menjanjikan kemudahan dan keteguhan iman ketika mengahadapi ujian besar ini bagi orang-orang yang memahami dan mengamalkan dua landasan Islam ini dengan benar, sehingga mereka akan menjawab: Tuhanku adalah Allah, agamaku adalah Islam dan Nabiku adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah ta’ala berfirman:

يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (Qs. Ibrahim: 27)

Makna ‘ucapan yang teguh’ dalam ayat di atas ditafsirkan sendiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh sahabat yang mulia Al Bara’ bin ‘Aazib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang muslim ketika ditanya di dalam kubur (oleh Malaikat Munkar dan Nakir) maka dia akan bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah (Laa Ilaaha Illallah) dan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah (Muhammadur Rasulullah), itulah (makna) firman-Nya: Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (HR.Al Bukhari (no. 4422), hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 2871))

Termasuk peristiwa besar pada hari kiamat, mendatangi telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang penuh kemuliaan, warna airnya lebih putih daripada susu, rasanya lebih manis daripada madu, dan baunya lebih harum daripada minyak wangi misk (kesturi), barangsiapa yang meminum darinya sekali saja maka dia tidak akan kehausan selamanya (Semua ini disebutkan dalam hadits yang shahih riwayat imam Al Bukhari (no. 6208) dan Muslim (no. 2292). Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang dimudahkan minum darinya). Dalam hadits yang shahih (Riwayat Imam Al Bukhari (no. 6211) dan Muslim (no. 2304) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu) juga disebutkan bahwa ada orang-orang yang dihalangi dan diusir dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Karena mereka sewaktu di dunia berpaling dari petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pemahaman dan perbuatan bid’ah, sehingga di akhirat mereka dihalangi dari kemuliaan meminum air telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai balasan yang sesuai dengan perbuatan mereka.

Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Semua orang yang melakukan perbuatan bid’ah yang tidak diridhai Allah dalam agama ini akan diusir dari telaga Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada hari kiamat nanti), dan yang paling parah di antara mereka adalah orang-orang (ahlul bid’ah) yang menyelisihi (pemahaman) jama’ah kaum muslimin, seperti orang-orang khawarij, Syi’ah Rafidhah dan para pengikut hawa nafsu, demikian pula orang-orang yang berbuat zhalim yang melampaui batas dalam kezhaliman dan menentang kebenaran, serta orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar secara terang-terangan, semua mereka ini dikhawatirkan termasuk orang-orang yang disebutkan dalam hadits ini (yang diusir dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). (Kitab Syarh Az Zarqaani ‘Ala Muwaththa-il Imaami Maalik, 1/65)

Beliau (Ibnu Abdil Barr) adalah Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Barr An Namari Al Andalusi (wafat 463 H), syaikhul Islam dan imam besar ahlus Sunnah dari wilayah Magrib, penulis banyak kitab hadits dan fikih yang sangat bermanfaat. Biografi beliau dalam kitab Tadzkiratul Huffaazh (3/1128).

Demikian pula termasuk peristiwa besar pada hari kiamat, melintasi ash shiraath (jembatan) yang dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam, di antara surga dan neraka. Dalam hadits yang shahih (Riwayat imam Al Bukhari (no. 7001) dan Muslim (no. 183) dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu) disebutkan bahwa keadaan orang yang melintasi jembatan tersebut bermacam-macam sesuai dengan amal perbuatan mereka sewaktu di dunia. “Ada yang melintasinya secepat kerdipan mata, ada yang secepat kilat, ada yang secepat angin, ada yang secepat kuda pacuan yang kencang, ada yang secepat menunggang onta, ada yang berlari, ada yang berjalan, ada yang merangkak, dan ada yang disambar dengan pengait besi kemudian dilemparkan ke dalam neraka Jahannam” – na’uudzu billahi min daalik – (Ucapan syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau Al Aqiidah al Waasithiyyah, hal. 20) .

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin ketika menjelaskan sebab perbedaan keadaan orang-orang yang melintasi jembatan tersebut, beliau berkata: “Ini semua (tentu saja) bukan dengan pilihan masing-masing orang, karena kalau dengan pilihan (sendiri) tentu semua orang ingin melintasinya dengan cepat, akan tetapi (keadaan manusia sewaktu) melintasi (jembatan tersebut) adalah sesuai dengan cepat (atau lambatnya mereka) dalam menerima (dan mengamalkan) syariat Islam di dunia ini; barangsiapa yang bersegera dalam menerima (petunjuk dan sunnah) yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diapun akan cepat melintasi jembatan tersebut, dan (sebaliknya) barangsiapa yang lambat dalam hal ini, maka diapun akan lambat melintasinya; sebagai balasan yang setimpal, dan balasan (perbuatan manusia) adalah sesuai dengan jenis perbuatannya.” (Kitab Syarhul Aqiidatil Waasithiyyah, 2/162)

وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

Balasan akhir yang baik (yaitu Surga) bagi orang-orang yang bertakwa

Akhirnya, perjalanan manusia akan sampai pada tahapan akhir; surga yang penuh kenikmatan, atau neraka yang penuh dengan siksaan yang pedih. Di sinilah Allah ta’ala akan memberikan balasan yang sempurna bagi manusia sesuai dengan amal perbuatan mereka di dunia. Allah ta’ala berfirman:

فَأَمَّا مَنْ طَغَى وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى، وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى

“Adapun orang-orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)” (Qs. An Naazi’aat: 37-41).

Maka balasan akhir yang baik hanyalah Allah peruntukkan bagi orang-orang yang bertakwa dan membekali dirinya dengan ketaatan kepada-Nya, serta menjauhi perbuatan yang menyimpang dari agama-Nya. Allah ta’ala berfirman:

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوّاً فِي الْأَرْضِ وَلا فَسَاداً وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Qashash: 83)

Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata: “…Jika mereka (orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini) tidak mempunyai keinginan untuk menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, maka konsekwensinya (berarti) keinginan mereka (hanya) tertuju kepada Allah, tujuan mereka (hanya mempersiapkan bekal untuk) negeri akhirat, dan keadan mereka (sewaktu di dunia): selalu merendahkan diri kepada hamba-hamba Allah, serta selalu berpegang kepada kebenaran dan mengerjakan amal shaleh, mereka itulah orang-orang bertakwa yang akan mendapatkan balasan akhir yang baik (surga dari Allah ta’ala).” (Taisiirul Kariimir Rahmaan fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan, hal. 453)

Penutup

Setelah kita merenungi tahapan-tahapan perjalanan besar ini, marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri: sudahkah kita mempersiapkan bekal yang cukup supaya selamat dalam perjalanan tersebut? Kalau jawabannya: belum, maka jangan putus asa, masih ada waktu untuk berbenah diri dan memperbaiki segala kekurangan kita -dengan izin Allah ta’ala- . Caranya, bersegeralah untuk kembali dan bertobat kepada Allah, serta memperbanyak amal shaleh pada sisa umur kita yang masih ada. Dan semua itu akan mudah bagi orang yang Allah berikan taufik dan kemudahan baginya.

Imam Fudhail bin ‘Iyaadh pernah menasehati seseorang lelaki, beliau berkata: “Berapa tahun usiamu (sekarang)”? Lelaki itu menjawab: Enam puluh tahun. Fudhail berkata: “(Berarti) sejak enam puluh tahun (yang lalu) kamu menempuh perjalanan menuju Allah dan (mungkin saja) kamu hampir sampai”. Lelaki itu menjawab: Sesungguhnya kita ini milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Maka Fudhail berkata: “Apakah kamu paham arti ucapanmu? Kamu berkata: Aku (hamba) milik Allah dan akan kembali kepada-Nya, barangsiapa yang menyadari bahwa dia adalah hamba milik Allah dan akan kembali kepada-Nya, maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya pada hari kiamat nanti), dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya) maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya selama di dunia), dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya) maka hendaknya dia mempersiapkan jawabannya.” Maka lelaki itu bertanya: (Kalau demikian) bagaimana caranya (untuk menyelamatkan diri ketika itu)? Fudhail menjawab: “(Caranya) mudah.” Leleki itu bertanya lagi: Apa itu? Fudhail berkata: “Engkau memperbaiki (diri) pada sisa umurmu (yang masih ada), maka Allah akan mengampuni (perbuatan dosamu) di masa lalu, karena jika kamu (tetap) berbuat buruk pada sisa umurmu (yang masih ada), kamu akan di siksa (pada hari kiamat) karena (perbuatan dosamu) di masa lalu dan pada sisa umurmu.” (Dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam, hal. 464)

Beliau (Fudhail bin ‘Iyaadh) adalah Fudhail bin ‘Iyaadh bin Mas’uud At Tamimi (wafat 187 H), seorang imam besar dari dari kalangan atba’ut tabi’in yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seorang ahli ibadah (lihat kitab Taqriibut Tahdziib, hal. 403)

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan doa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam HR. Muslim, no. 2720) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) untuk kebaikan agama, dunia dan akhirat kita:

Ya Allah, perbaikilah agamaku yang merupakan penentu (kebaikan) semua urusanku, dan perbaikilah (urusan) duniaku yang merupakan tempat hidupku, serta perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku (selamanya), jadikanlah (masa) hidupku sebagai penambah kebaikan bagiku, dan (jadikanlah) kematianku sebagai penghalang bagiku dari semua keburukan.

وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 20 Shafar 1430 H
sumber : muslim.or.id

BUAH ITU BERNAMA CINTA MUHAMMAD

Oleh:

Abu Syauqi

Pendiri dan Ketua Dewan Pembina Rumah Zakat Indonesia

Sebelumnya kita membahas tentang begitu selarasnya ajaran nabi kita Muhammad SAW dengan ilmu-ilmu modern. Kita juga belajar tentang kekuatan keyakinan. Suatu ketika Rasulullah SAW pernah menyampaikan strategic vision-nya kepada para sahabat, visi itu adalah “Kita akan menaklukkan Parsi dan Romawi”.. Ternyata kabar itu bocor dan tersebar sampai terdengar masyarakat kafir Quraisy…mereka pun mengejek Nabi sampai suatu ketika Rasulullah Muhammad bertemu mereka di depan Ka’bah. Apa yang disampaikan Nabi menjawab ejekan mereka, “Al Yauma awil Ghod”. Tunggu saja kalian akan melihat kemenangan itu, hari ini atau besok hari! Begitu yakinnya Rasul mendeklarasikan keyakinannya padahal kaum muslimin saat itu baru berjumlah empat puluh orang.
Bulan Februari lalu syukur Alhamdulillah Allah memberi kesempatan saya melanjutkan usia, yang keempat puluh satu tepatnya. Saya juga berterima kasih atas doa sobat zakat semua, semoga tidak ada yang bertambah pada diri saya selain keshalehan dan rezeki yang berkah dan melimpah. Sejak kecil saya selalu suka membaca kisah atau profil tokoh-tokoh besar peradaban, dan rasanya setiap kesuksesan mereka yang tergores indah dalam catatan sejarah setiap kemuliaannya selalu ada dalam pribadi Rasulullah Muhammad SAW. Dengan kata lain jika kita mau mempelajari dan mampu berlatih untuk meneladani kepribadian Nabi pada dasarnya telah merangkum seluruh keluarbiasaan sifat, sikap, dan seluruh hal baik dari semua tokoh besar di dunia. Lalu apa hubungannya dengan usia saya?

Sebuah ayat memonumenkan kemuliaan Rasulullah SAW, \\\"Wa innaka la\\\'ala khuluqin \\\'azhim” (QS. Al-Qalam : 4), banyak penerjemah yang mengartikan ayat ini sebagai , \\\"Dan engkau itu wahai Muhammad, benar-benar memiliki budi pekerti yang agung. Padahal sebenarnya kandungannya sungguh lebih dahsyat dari ini, menjadi \\\"Dan engkau itu wahai Muhammad, sungguh berada di atas seluruh akhlak/budi pekerti yang agung”. Maknanya apa? Jadi seluruh dan segala macam akhlak mulia lagi agung semua ‘tunduk’ pada kemuliaan Rasul Muhammad SAW. Semua akhlak mulia tak hanya terkumpul dalam pribadinya namun bahkan jika ‘dipersonifikasi’ menjadi makhluk, akhlak-akhlak tadi hormat karena begitu agungnya beliau. Posisi Nabi berada di atas semua sifat kebaikan.

Lalu apa manfaatnya jika kita meneladani Rasulullah SAW?

Untuk mempelajari dan meneladani Rasul sebenarnya bisa dilakukan oleh siapa saja, kita bisa temukan begitu banyak yang menulis sejarah Muhammad adalah non muslim. Dan tidak dipungkiri mereka yang mempelajari dan meneladani akan juga mendapat buah kemuliaan dari pribadinya. Menjadi sukses dalam berbisnis misalnya, sukses menjadi pemimpin negara, sukses mengelola emosi dan relasi dan buah manfaat lainnya. Dalam konteks ini mereka mendapatkan “Fadhilah” atau buah manfaat dari berilmu pengetahuan. Dan sungguh kita berharap mereka yang sudah begitu mencintai Muhammad tak sekedar berhenti sebagai Mohammedian tapi secara kaaffah menggenapkannya sebagai muslim. Disinilah peran penting iman sebagai penyempurna peneladanan (ittiba’) kita kepada Rasulullah Muhammad SAW. Sebagaimana memang salah satu rukun iman adalah iman kepada para Rasul.

Kembali ke pertanyaan di atas, apa saja manfaat kita meneladani Rasulullah? Yang jelas kita akan mendapatkan 2 manfaat kebaikan; kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat.

Edisi kali ini mari kita cermati apa saja yang akan kita raih di dunia.

1. Kecintaan Allah SWT

Karena pada dasarnya Allah akan mencintai orang yang mencintai siapa saja yang dicintai-Nya mulai para Rasul, para Anbiyya, para ulama, hamba-hamba Allah yang jujur, para syuhada dan hamba-hamba Allah yang shaleh.

Sama halnya ketika kita berbisnis, saat kita mencintai karyawan kita, memberikan penghargaan terbaik pada mereka tentu keluarganyapun akan juga memberikan kecintaannya dan penghormatannya kepada kita.

2. Rahmat Allah SWT

Anda bisa menerjemahkan dengan banyak makna tapi yang pasti mendapat rahmat pasti sesuatu yang menyenangkan dan membahagiakan. Jika ditanya, apa sih hadiah terbesar yang paling Anda inginkan? Rumah tipe 21 (dua hektar satu rumah)? Mercy S-Class, saham terbesar di Burj Al Dubai….atau Surga? Jika yang terakhir..mungkin inilah definisi rahmat terbesar.. “Seorang masuk surga bukan karena amalnya tetapi karena rahmat Allah Ta\\\\\\\'ala. Karena itu bertindaklah yang lurus (baik dan benar).” (HR. Muslim)

3. Hidayah Allah SWT

Hidayah atau petunjuk datang berjenjang. Ada yang merasa sedih jika sudah azan masih ‘terjebak’ pada rapat atau jadwal pejabat tapi ada yang biasa saja…Ada yang menyesal kecapekan sehingga tak mampu bangun sholat malam, ada yang bisa bangun sholat shubuh tepat waktu saja sudah bahagia. Karenanya mari kita minta hidayah agar terus ditambahkan kepada kita. Tidak hanya hidayah untuk ‘benar’ secara spiritual namun juga hidayah dalam makna petunjuk untuk dapat sukses di dunia, dalam berkarier, berbisnis, membangun keluarga, timwork dan sebagainya. Dengan mencintai Rasulullah SAW sebenarnya kita sedang membaca petunjuk atau kiat sukses menuju target cita-cita yang kita inginkan.

4. Harga Diri (Izzah)

Mari kita pelajari kepribadian Nabi, apakah pernah merasa pesimis, berkompromi pada kepengecutan dan hal-hal lain yang merendahkan harga diri? Tentu tidak! Seperti riwayat di awal tadi dalam jumlah sedikit saja beliau berani lantang menaklukkan Parsi dan Romawi, dua imperium terbesar saat itu. Buah itulah yang akan kita dapatkan dengan meneladani akhlak Rasul. Apa puncak harga diri yang bisa kita contohkan saat ini : Menolak agresi Israel di sidang PBB, istiqomah menolak korupsi, disiplin tepat waktu, bangga dengan produk Indonesia……silakan Anda isi sendiri.

5. Kemenangan

Untuk menang pasti ada pertarungan, ada perlombaan. Saat ini apakah kita sedang ‘bersantai’ untuk perlombaan kelas teri atau sedang berjibaku dalam perjuangan panjang, keras dan saling mengalahkan? Kiasan ini untuk mengingatkan apakah kita sadar bahwa sejatinya kita sedang berperang? Melawan kondisi umat Islam tak kunjung ‘cerdas’, melawan agresi pikiran negatif yang mengajak pada hura-hura atau sebaliknya menikmati kemelaratan? Melawan ideologi yang menjauhkan kita pada Dien Islam kita…Karenanya untuk meraih kemenangan sejati kita harus terus bersemangat melakukan produktivitas..Jika kondisi saat ini kita merasa biasa saja, aman-aman saja..wah sepertinya semangat menjadi pemenang itu tidak ada. Kalau begitu tutup buku saja..dan yang pasti Rasulullah SAW tidak akan tersenyum puas kepada kita!

Mari semakin kita cintai Rasul! Semua teknik, taktik dan strategi kemenangan dan kemuliaan ada semua pada pribadinya. Maka sering-seringlah kita bergaul dengan orang-orang yang selalu mencintainya! : sumber : rumahzakat.org

24 July, 2009

Laa Takhof wa Laa Tahzan, Jangan Sedih dan Janganlah Bimbang

Kami berfirman: “Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. [QS. Al-Baqarah: 38]

Allah telah mengirim Nabi Adam ke bumi untuk menjadi khalifah-Nya. Namun Allah berjanji akan memberi petunjuk melalui malikat-Nya agar Adam dan keturunannya dapat menjalankan tugas mereka sebagai hamba dan khalifah Allah dengan sukses dan meraih kemenangan.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. [QS. Al-Baqarah: 277]
Kebahagiaan
Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. [QS. Ali Imran: 170]


Mario Teguh, seorang motivator terkenal, merumuskan kebahagiaan sebagai tidak adanya ketidak-bahagiaan. Apa yang beliau maksud dengan ketidak-bahagiaan? Ketidak-bahagiaan yang beliau maksud adalah keadaan di mana hadir rasa khawatir dan atau rasa takut.

Al-Khauf, ketakutan dan kekhawatiran, merupakan penghalang bagi seseorang dari mengambil tindakan. Ketakutan yang berlebihan akan mengalahkan keyaqinan seseorang untuk sukses. Bahkan al-khauf yang tidak pada tempatnya dapat membuat seseorang lupa kepada janji-janji Allah. Bahkan boleh dikatakan meragukan janji-janji Allah.

Misalnya seseorang enggan berbagi dengan sesama karena takut menjadi miskin. Maka Allah berfirman dalam hal ini:

Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. [QS. Al-Baqarah: 268]

Setan sering membisikkan ke dalam hati orang-orang yang ingin bersedekah dengan berkata, “Janganlah kau sedekahkan hartamu, nanti kau akan menjadi miskin!” Tetapi Allah menguatkan kita dan berfirman, “Sedekahkanlah, maka Aku mengampunimu dan memberimu karunia yang luas.”

Begitulah sikap orang-orang beriman. Mereka selalu melihat segala hal dari sisi positif. Mereka menjadikan bantahan terhadap mereka sebagai penguat pendirian mereka. Semakin mereka dibantah, semakin kuat pendirian mereka.

(Yaitu) orang-orang (yang menta`ati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Al-Wakil.” [QS. Ali Imran: 173]

Orang beriman yang penuh keyaqinan kepada Allah tidak akan takut atau pun gentar menghadapi perang-kejiwaan yang dilontarkan kepada mereka. Justeru mereka bertambah yaqin kepada Allah dan semakin menyerahkan diri mereka untuk diatur oleh Allah, Rasul-Nya dan pemimpin mereka yang sah.

Menggapai Kebahagiaan

Setiap hari kita mendengarkan adzan setidaknya sebanyak lima kali. Dalam adzan ada lafazh “Hayya ‘alal falah”. Al-Falah dapat berarti kemenangan, kesuksesan, kebahagiaan, kejayaan, keberhasilan, dsb. Bagaimana menggapainya?

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. [QS. Al-'Ashr]

Merugilah manusia yang telah diberikan waktu dan kehidupan, namun tidak memanfaatkannya di jalan kebaikan dan kebenaran. Hanya orang-orang yang mengisi kehidupannya dalam optimisme, beramal shalih, bekerja dan berusaha dengan baik dan benar, kemudian saling menguatkan, saling memotivasi kepada jalan kebenaran serta memotivasi untuk tetap sabar dan setia pada kebaikan, itulah yang menggapai kebahagiaan haqiqi. Kebahagiaan yang lebih besar dari sekedar materi dunia dan seisinya. Karena orang yang tetap sabar dalam kebaikan akan memperoleh tidak hanya materi atau pun dunia dan segala isinya, tetapi juga nilai-nilai, hal-hal immateril, segala apa yang terkandung dalam jiwa yang luhur, serta menjadi dekat dengan Allah. Orang yang setia kepada kebaikan haqiqi akan menjadi kekasih Allah SubhanaHu wa Ta’ala. Inilah kebahagian seajti yang abadi.

Tauladan

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. [QS. Al-Fatihah: 7]

Di dunia ini begitu banyak manusia dengan segala macam sifat dan keadaannya. Di antara mereka ada yang sukses dan disukai banyak orang, namun juga ada yang rusak, menjadi sampah masyarakat, dan dibenci banyak orang. Lihatlah kedua type itu!

Jika Anda bertemu dengan orang sukses, katakanlah, “Dia orang sukses, dan saya akan menjadi seperti dia jika saya mengikuti langkah-langkah yang ditempuhnya.”

Jika Anda bertemu dengan orang gagal, katakanlah pada diri Anda, “Dia orang yang gagal, dan saya akan menjadi seperti dia jika saya mengikuti langkah-langkah yang ditempuhnya.”

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. [QS. Yunus: 62]

Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. [QS. An-Nisa`: 69]

Petunjuk Itu

Alif Laam Miim. Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung. [QS. Al-Baqarah: 1-5]

Al-Qur’an adalah kitab yang lebih hebat dari Science of Getting Rich, Seven Habits, dan buku-buku yang sejenis. Al-Qur’an tidak hanya mengajarkan kesuksesan dunia, tetapi kesuksesan dunia dan akhirat. Tinggal Anda mau mengikutinya atau tidak.

Ikuti Petunjuk Itu!

Dan tidaklah Kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan. Barangsiapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. [QS. Al-An'am: 48]

Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, maka barangsiapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. [QS. Al-A'raf: 35]

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS. Ali Imran: 31]

Semakin kita mengikuti langkah-langkah mereka, semakin kebiasaan mereka juga menjadi kebiasaan kita, maka semakin kita menjadi dekat dengan Allah. Juga semakin keputusan dan perbuatan kita menjadi tepat sesuai yang disukai serta diridhoi Allah. Pada saat itu, apa yang kita fikirkan, kita ucapkan, dan kita perbuat akan semakin memancarkan citra Ilahi.

Dari Abu Hurairah ra katanya: Rasulullah SAW telah bersabda yang maksudnya: “Sesungguhnya Allah SWT telah berfirman : “Barangsiapa yang memusuhi wali-wali-Ku, sesungguhnya Aku menyatakan perang ke atasnya. Dan tidaklah seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Ku cintai melainkan dengan apa yang telah Aku fardhukan kepadanya. Berterusanlah hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan mengerjakan (amalan-amalan) nawafil (sunnah) hinggalah Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Aku adalah penglihatannya yang dengannya ia melihat dan tangannya yang dengannya ia memegang dan kakinya yang dengannya ia berjalan. Dan jika ia meminta kepada-Ku, Aku akan mengurniakannya dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku, Aku akan melindunginya.” (HQR. Imam Al-Bukhari)

Wakilkan Kepada Allah

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. [QS. Al-Baqarah: 286]

(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. [QS. Al-Baqarah: 112]

Jika Anda khawatir tidak dapat menyelesaikan tugas yang diberikan kepada Anda, atau Anda khawatir akan gagal dalam suatu hal, maka hilangkan kekhawatiran itu. Kerjakan saja apa yang mampu Anda kerjakan, lalu serahkan apa yang tidak mampu Anda kerjakan kepada Allah. Berusaha itu urusan kita, sedangkan hasil itu urusan Allah. Kerjakan urusan kita, dan biarkan Allah mengurus urusan-Nya. Jika kita berusaha dan menyerahkan diri kepada Allah, maka tidak ada kekhawatiran dalam diri kita dan tidak pula kesedihan. Karena kita yaqin bahwa kita telah berusaha sebaik mungkin yang kita mampu. Dan kita akan siap menerima segala ketentuan dari Allah Yang Mahakuasa. Dan Allah akan memberi kita balasan atas usaha baik kita, apakah di dunia ini maupun di akhirat kelak.

Kelak kamu akan ingat kepada apa yang kukatakan kepada kamu. Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya”. [QS. Al-Mu`min: 44]

Istiqomah

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. [QS. Al-Ahqaf: 3]

Sesungguhnya Al-Qur`an itu mengajarkan banyak kebaikan dan memastikan pengikutnya yang istiqomah untuk sukses dunia dan akhirat. Mario Teguh sering menggunakan istilah ’setia kepada kebaikan’ sebagai ganti istilah ‘istiqomah’. Karena istiqomah dalam Islam tentu saja bukan teguh di dalam kesesatan, tetapi teguh dalam mengikuti kebaikan-kebaikan yang diajarkan Al-Qur`an. Teguh dalam mengikuti langkah-langkah para Nabi, para wali, para shiddiqiin (orang-orang benar), shalihin (orang-orang shalih), dan syuhada (orang-orang yang mati dalam membela dan mempertahankan ajaran kebaikan, yaitu Islam).

Mari Pelajari dan Amalkan!

Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, [QS. Fathir: 29]

Marilah kita mengkaji Al-Qur`an dan Al-Hadits! Yaqinlah bahwa Al-Islam adalah ajaran yang sempurna! Selamatlah manusia yang mengamalkannya dengan keimanan kepada Allah; selamat di dunia, juga di akhirat. Tidak ada alasan yang masuk aqal untuk meninggalkan ajaran ini.

Marilah kita berpegang teguh kepada Al-Qur`an dan Sunnah Rasul! Sungguh, Rasulullah telah menyuruh kita untuk memegang Al-Qur`an dengan erat melalui perkataannya, “Gigitlah Al-Qur`an dengan gigi gerahammu.” Dan bersabarlah dalam berjalan menuju Allah. Barangsiapa bersungguh-sungguh dalam menuju Allah, maka Allah tunjukkan jalan-Nya yang lurus. Maka janganlah kita berputus asa.

(Ya’qub berkata: ) “Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. [QS. Yusuf: 87]

sumber : swaramuslim.net

Etika Yang diajarkan dalam Islam

Assalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh


Bissmillahirrohmaan irrohiim’


“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. QS. Al-Imran (3) ayat 110


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. QS.An-Nisa (4) ayat 29.



"Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam."QS.Al-Maidah ( 5) ayat 28.


“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”. QS. An-Nisaa (4) ayat 93.


“Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya)”, QS.Al-Furqon (25) ayat 68.


Saudaraku, ketika saya menerima pesan singkat yang isinya pada intinya menghalalkan terjadinya peledakan Hotel Marriott dan Ritz Carlton, sungguh saya sangat sedih, dan bertanya tanya, betulkah yang mengirim pesan singkat pada saya adalah seorang muslim.


Setahu saya (maaf Ilmu Agama saya masih sangat minim, karena saya belajar Islam setelah saya berumah tangga dan sudah memiliki dua orang anak) dan tidak satupun agama yang mengajarkan pada pemeluknya untuk mengajarkan perbuatan tercela, terlebih ajaran Islam, justru ajaran Islamlah yang paling menentang perbuatan tercela tersebut, seperti membunuh, merusak dan bahkan bunuh diri, tidak satupun ayat dalam Al-Qur’an yang membenarkan kita melakukan perbuatan tercela yang mencelakakan orang lain, atau mencelakan diri sendiri, bahkan Islam mengajarkan kita agar berakhlaq mulia, sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah SAW, sebagaimana tertuang dalam QS dan Ayat ayat tersebut diatas, bahkan kita seluruh kaum muslimin diajarkan :



Agar umat Islam memiliki sifat Kritis dan teliti.

QS. Al-Hujurat (49) ayat 6. yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.

“Suatu hari Rasullah berkata kepada Asyaj Abdul Qais:”Sesungguhnya ada dua perkara di dalam dirimu yang disukai Allah, yaitu kritis dan ketelitian”
(HR. Muslim).



Agar umat Islam bersikap Lembut dan Pemaaf.


QS. Al-Imran (3) ayat 159. “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya”.


“Rasulullah bersabda:”Barangsiapa meninggalkan sikap lembut, maka ia telah meninggalkan kebaikan semuanya”. (HR. Muslim).




Agar umat Islam berlaku Jujur


“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”. QS.Al-Muthafifin (83) ayat 1-3


”sesunggunya kejujuran membawa kepada kebaikan, kebaikan mengantarkan kepasa surga, dan seorang akan berbuat jujur sehingga ia dijuluki orang jujur”. (HR. Bukhari Muslim).



Agar umat Islam bersikap Sabar.


“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. QS. Al-Baqarah (2) ayat 153.



“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”, QS. Al-Baqarah (2) ayat 155


“Barangsiapa bersabar maka Allah akan bersabar untuknya, tidak ada pemberian Allah yang lebih kepada hambaNya kecuali kesabaran” (HR. Bukhari Muslim).



Agar Umat Islam Tawadlu’ atau rendah hati


QS.Lukman (31) ayat 18. “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”.


”Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar aku bertawadlu’,
sehingga tidak ada orang merasa sombong dan lebih tinggi dari lainnya dan tidak ada orang menghianati lainnya” (HR. Muslim).


“Tidak ada orang yang bertawadlu kepada Allah, kecuali Allah akan
mengangkatnya” (HR. Muslim).




Agar umat Islam Amanah


QS.Al-Anfal (8) ayat 27. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”.


”Tanda-tanda orang munafik ada tiga, ketika bicara bohong, ketika
janji mengingkari dan ketika dipercayai menghianati”. (HR. Bukhari
Muslim).


Agar Umat Islam Memiliki rasa Malu yang tinggi


”Rasa malu itu selalu mendatangkan kebaikan” (HR. Bukhari Muslim)

“Malu itu bagian dari iman” (HR. Bukhari Muslim).



Agar umat Islam berkata manis dan muka yang ramah


”Takutkan kalian dari neraka walaupun dengan sebutir kurma, kalau
tidak bisa maka bisa dengan perkataan yang manis” (HR. Bukhari
Muslim).


”Kalimat yang baik merupakan sedekah” (HR. Bukhari Muslim).


Agar umat Islam Berbakti kepada kedua orang tua dan handai taulan


QS.An-Nisa (4) ayat 36. "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan- Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri",


Ibnu Mas’ud bertanya kepada Rasulullah s.a.w.;” Apa perbuatan yang paling disukai Allah?


Jawab Rasulullah:”Sholat di waktunya”,


Ibnu Mas’ud:”Lalu apa?”

Jawab Rasulullah:”Berbuat baik kepada kedua orang tua” (HR. Bukhari Muslim).


Agar Umat Islam Memperbanyak hubungan Silaturrahim atau berhubungan dengan halayak luas


“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. QS. An-Nisa (4) ayat 1.


“Barangsiapa ingin diluaskan rizqinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia bersilaturrahmi”. (HR. Bukhari).


Dasar baik ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits diatas jelaslah bahwa agama Islam, agama yang Rahmatan Lil’alamiin, serta masih banyak lagi ajaran ajaran Agama Islam yang mangarahkan serta membuat pemeluk agama Islam yang mengajarkan umatnya agar berbudi luhur, bukan mengajarkan untuk berprilaku yang menyimpang serta pengrusakan baik Akhlak, mental serta prilaku penyimpangan lainya.





Wallahualam Bisawab , Hanya Allah yang Tahu







Waassalam

penulis : Mujiarto Karuk ( kotasantri.com )

Tidak Diperkenankan Haji Bagi Lansia dan Anak-anak Tahun Ini


Para Menteri Kesehatan Bangsa Arab: “Tidak Diperkenankan Haji Bagi Lansia dan Anak-anak Tahun Ini”
Jumat, 24 Juli 09

Kairo- Para Menteri kesehatan Arab sepakat atas pelarangan orang tua “Lansia” dan anak-anak yang berusia kurang dari 12 tahun serta para pasien yang menderita penyakit menahun (kronis) untuk menunaikan ibadah haji tahun ini dengan alasan kekhawatiran dengan keberadaan Virus Flu “H1 N1” yang populer dengan sebutan “Flu Babi”.

Menteri Kesehatan Saudi Abdullah ar-Rabi’ah setelah usai dari konferensi Menteri-menteri kesehatan Arab dan para aktivis WHO di Kairo pada hari Rabu 22/7/2009 menyatakan, “Bahwasanya Kerajaan Saudi tidak membatasi Jumlah Maksimal bagi para peserta Haji dan Umroh tahun ini, hanya saja kerajaan menenetapkan ketentuan-ketentuan (UU) baru”.

Dr. Ar-Rabi’ah menambahkan, “Kita tidak akan merubah prosentase (jumlah peserta haji) setiap Negara, hanya saja kita merubah beberapa syarat tertentu, yang sudah pasti akan berkurangnya jumlah peserta haji tahun ini disebabkan ketentuan-ketentuan/ kebijakan-kebijakan ini”.

Juru Bicara WHO Ibrahim al-Kardani mengatakan kepada Reuterz, “Beberapa golongan akan dihindarkan untuk tidak menunaikan haji, khususnya orang-orang yang berusia di atas 65 tahun dan anak-anak yang berumur kurang dari 12 tahun, serta orang-orang yang menderita penyakit yang menahun (kronis).
Adapun sakit-sakit yang tergolong menahun (kronis) meliputi: Depresi, diabetes, jantung, hati, ginjal, obesitas (kegemukan) yang berpotensi penyebab penyakit-penyakit lainnya.

Beliau menambahkan, bahwa keputusan tersebut harus disetujui oleh Pemerintah-pemerintah dan menteri-menteri kesehatan, termasuk pemerintah Saudi, namun Direktur Regional WHO Husein al-Jaza’iry berkata, "Bahwasanya yang lebih utama adalah adanya kesepakatan atas keputusan tersebut terlebih dahulu”.

Al-Jaza’iry menerangkan bahwa pemerintah Arab Saudi memiliki Peralatan yang memadai untuk menangani penyakit menular di antara para peserta haji yang begitu banyaknya setiap tahun”, dan berkata, "Pemerintah Arab Saudi sekarang ini memiliki sangat banyak pengalaman. Karena Arab Saudi terbiasa menghadapi setiap tahun antara 25 dan 30 kasus kolera dan al-Hamdulillah tidak pernah terjadi wabah apa pun”.

Dan Arab Saudi pada bulan juni lalu telah menghimbau para orang tua “Lansia”, pasien penderita penyakit kronis, dan kaum muslimin lainnya yang tidak memiliki kondisi yang fit dan sehat untuk menangguhkan pemberangkatan haji pada tahun ini.

Dan sekitar lebih dari 3000 juta kaum Muslimin dari 160 negara mendatangi Mekkah al-Mukarromah guna menunaikan syiar-syiar suci setiap tahunnya. (IOL/A.NBL)

sumber : syiar-alsofwah

21 May, 2009

BERSIKAP ADIL

Adil atau keadilan adalah sebuah kata yang tidak asing lagi bagi kita semua.
Imam al-Mawardi (salah seorang ulama pengikut madzhab Imam asy-Syafi'i) berkata, dalam kitab beliau yang berjudul Adab ad-Dunya wa ad-Diin, "Sesungguhnya di antara perkara yang dapat membuat baik keadaan dunia ini adalah keadilan yang menyeluruh dan mencakup semua sisi kehidupan. Keadilan akan mengajak manusia untuk berbuat baik terhadap sesama, membangkitkan semangat untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta'ala. Dengan keadilan, dunia akan dipenuhi dengan kemakmuran, harta benda akan berkembang dan bertambah banyak, penguasa akan merasa aman dan pemerintahannya akan berumur panjang. Tidak ada sesuatu yang lebih cepat menghancurkan dunia dan merusak serta mengotori hati-hati manusia daripada kezhaliman yang merupakan lawan dari keadilan."


Adil adalah memutuskan perkara sesuai dengan ketentuan Allah Ta'ala dalam al-Quran dan ketentuan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam as-Sunnah, bukan hanya sekedar bergantung kepada akal manusia semata. Dengan pengertian ini dapat kita katakan bahwa hukum Allah memberikan kepada anak laki-laki sebanyak dua bagian anak perempuan dalam masalah pembagian harta warisan adalah hukum yang adil. Begitu pula hukum Allah membolehkan poligami dan mengharamkan poliandri dalam masalah pernikahan adalah hukum yang adil.


Adil juga didefinisikan sebagai sikap pertengahan antara meremehkan dan berlebih-lebihan dalam suatu perkara.


Adil merupakan salah satu sifat dari sifat Allah Ta'ala, sebagaimana adil juga merupakan salah satu sifat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda, "Maka siapakah yang dapat berbuat adil jika Allah dan rasulNya (dianggap) tidak berbuat adil?" (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


Seorang muslim memandang keadilan secara umum adalah termasuk kewajiban yang paling utama dan pasti, sebab Allah Ta'ala memerintahkan setiap muslim untuk berlaku adil di dalam firmanNya, "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat." (QS. an-Nahl: 90)


Allah Ta'ala mengabarkan bahwa Dia mencintai orang-orang yang senantiasa berbuat adil dalam firmanNya, "Dan berlaku adillah; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil." (QS. al-Hujurat: 9)


Allah Ta'ala memerintahkan kita untuk berbuat adil di dalam perkataan dan di dalam menetapkan hukum. Allah Ta'ala berfirman, "Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu)" (QS. al-An'am: 152)


"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil." (QS.an-Nisa': 58)


Oleh karena itu, seorang muslim yang baik akan selalu berusaha untuk dapat berbuat adil dalam perkataan maupun dalam perkara hukum. Ia akan senantiasa berbuat adil dalam segala urusannya sampai keadilan menjadi akhlak yang tidak terpisahkan darinya. Ia akan menjauhi segala macam bentuk ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kezhaliman dan penyelewengan. Ia menjadi orang yang adil yang tidak condong kepada hawa nafsu, syahwat dan fitnah dunia.


Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan ridha dan kecintaan Allah Ta'ala serta kemuliaan dan kenikmatan dariNya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda, "Sesungguhnya orang-orang yang adil di sisi Allah disediakan bagi mereka mimbar-mimbar dari cahaya di sisi kanan (Allah) Yang Maha Pemurah, Maha Agung lagi Maha Tinggi -dan kedua tanganNya adalah kanan-. Mereka adalah orang yang adil dalam menetapkan hukum, adil terhadap keluarga dan adil dalam kekuasaan." (HR. Muslim [1827])


Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda, "Tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah dalam naunganNya pada (hari kiamat), hari yang tidak ada naungan kecuali naunganNya: imam yang adil, pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah, ." (HR. al-Al-Bukhari [660])


Keadilan memiliki banyak aspek yang dapat ditunjukkan, antara lain:



a.. Adil terhadap Allah Ta'ala, yaitu dengan tidak berbuat syirik dalam beribadah kepadaNya, mengimani nama-namaNya dan sifat-sifat-Nya, menaatiNya dan tidak bermaksiat kepadaNya, senantiasa berdzikir dan tidak melupakanNya serta mensyukuri nikmat-nikmatNya dan tidak mengingkarinya.


b.. Adil terhadap sesama manusia, yaitu dengan memberikan hak-hak mereka dengan sempurna tanpa menzhaliminya, sesuai dengan apa yang menjadi haknya.


c.. Adil terhadap keluarga (anak dan istri), yaitu dengan tidak melebihkan dan mengutamakan salah seorang di antara mereka atas yang lainnya atau kepada sebagian atas sebagian yang lainnya.


d.. Adil dalam perkataan, yaitu dengan berkata baik dan jujur tidak berdusta, berkata kasar, bersumpah palsu, mengghibah saudara seiman dan lain-lain.


e.. Adil dalam berkeyakinan, yaitu dengan meyakini perkara-perkara yang disebutkan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah yang shahih dengan keyakinan yang pasti tanpa keraguan sedikitpun dan tidak meyakini hal-hal yang tidak benar yang menyelisihi keduanya.


f.. Adil dalam menetapkan hukum dan memutuskan perselisihan yang terjadi antara sesama manusia, yaitu dengan menjadikan al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai sumber hukum dan pemutus perkara tersebut.


Di antara Buah Keadilan :



a.. Orang yang adil akan mendapatkan keamanan di dunia dan akhirat.


b.. Apabila orang yang adil berkuasa, maka keadilannya akan memelihara kekuasaannya.


c.. Keridhaan dari Allah Ta'ala terhadap orang yang adil.


d.. Orang yang adil tidak akan mengganggu dan menyakiti orang lain ataupun makhluk lainnya.


e.. Pemilik sifat adil berhak untuk mendapatkan kekuasaan, kemuliaan dan kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat.


f.. Keadilan akan membawa pemiliknya untuk berpegang teguh dengan kebenaran dan meninggalkan kebatilan tanpa ada basa-basi.


g.. Keadilan dalam Islam mencakup segala sisi kehidupan.


h.. Keadilan merupakan jalan menuju surga.


Abu Hurairah radhiallahu 'anhu meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau pernah bersabda, "Pernah ada seorang lelaki yang membeli sebidang tanah dari seseorang. Kemudian sang pembeli menemukan dalam tanah tersebut sebuah bejana berisi emas. Ia pun berkata kepada sang penjual tanah, "Ambillah emasmu ini dariku karena sesungguhnya aku hanya membeli tanah darimu dan tidak membeli emas ini!" Sang penjual berkata, "Sesungguhnya yang aku jual kepadamu adalah tanah dan apa yang ada di dalamnya." Kedua orang itu pun pergi menemui seorang hakim untuk memutuskan perselisihann yang terjadi di antara mereka. Sang hakim bertanya kepada keduanya, "Apakah kalian berdua memiliki anak?" Salah seorang dari keduanya menjawab, "Saya memiliki seorang anak laki-laki." Adapun yang lainnya menjawab, "Saya memiliki seorang anak perempuan." Sang hakim pun berkata, "Kalau begitu, nikahkanlah anak-anak kalian! Kemudian manfaatkanlah emas ini untuk memenuhi kebutuhan kalian berdua dan bersedekahlah darinya!" (HR. al-Bukhari dan Muslim)



Oleh : Herman Abul Hasan
Sumber: 1. Minhajul Muslim. 2. Mausu'ah Nadhratin Na'im